- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 22

0

Kulepas tali pengaman yang melilit tubuhku dan tubuh Dion, setelah itu kuguncang-guncang tubuhnya berharap agar cepat sadar. Semua percuma, aku meraih tangan kirinya dan aku merasakan masih ada denyut jantung yang terasa lemah dibawah kulitnya. Aku memegang tangan Dion dan mengguncang-guncangnya walaupun sepertinya makim sia-sia karena aku justru mengotori mobil Dion dengan percikan-percikan darah yang terciprat dari dahinya.

Putus asa, aku merogoh ponsel disakuku dan langsung menelepon Siska. Bertambah lagi ujian kesabaranku karena tak ada sahutan dari ponsel Siska. Tak hilang akal, aku langsung menelepon adikku Emi dan memina bantuannya untuk menghubungi ambulance di rumah sakit tempat ayah dirawat.

Sedikit rasa bersyukur karena Emi langsung bertindak dengan tugasnya. Dan sekarang tinggal diriku sendiri didalam mobil yang harus terdiam ditengah kegelapan tanpa tahu apa yang bisa kuperbuat. Aku menghela napas panjang, dan pikiranku mulai terbayang lagi dengan berita yang kudengar tadi diradio.

‘Fendi ditemukan gantung diri diruangannya di rumah sakit jiwa’

Kabar yang seolah melengkapi kutukan panjang dari rumah gantung. Semua yang dari awal kukira Fendi bisa selamat dari sosok hitam yang mengejarnya, semua berakhir dengan kabar buruk tentang kematiannya. Jika Fendi tidak bisa selamat, mungkin suatu saat akan tiba waktuku untuk mengikutinya.Aku akan meninggalkan teman-temanku dengan misteri yang masih menyelimuti rumah gantung. Aku akan meninggalkan Emi dan kedua orang tuaku tanpa mereka tahu apa yang aku alami. Dan suatu saat akan terjadi kasus lagi dirumah itu karena banyak orang yang tak tahu tragedi didalamnya. Tidak.... kalau aku bisa menghentikannya.

Sebuah semangat mulai hinggap dikepalaku. Aku langsung meraih kantong plastik merah dikursi belakang dan beranjak keluar mobil. Aku menyalakan layar ponselku yang penuh dengan noda darah yang kemudian aku menggunakannya sebagai senter darurat. Aku berdiri disamping mobil memandang sekitar. Aku mengamati mobil Dion yang masih sedikit berasap di mesinnya, sementara kedua roda depannya tenggelam ke dalam parit penuh lumpur yang hampir tertutup oleh rimbun semak belukar. Lampu mobil masih menyala menyinari rerumputan didepan mobil dan memantul hingga beberapa ratus meter jauhnya. Aku mengamati jalur sorot lampu dan kusadari lokasiku sudah sangat dekat dengan rumah gantung. Bisa kulihat samar-samar bayangan teras rumah gantung dibalik ujung-ujung semak. Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan tertatih menuju jalan dengan menelusuri jalur kecelakaan yang kualami. Sekitar seratus meter aku berjalan diatas semak –yang roboh karena roda, aku bisa menemukan jalur aspal rusak yang menjadi titik awal kecelakaan. Kakiku terus melanjutkan berjalan sekitar dua rumah lagi sampai akhirnya aku berdiri didepan pelataran rumah gantung.

Sekilas aku bisa merasakan suasana yang sama ketika menginjakkan kaki ditempat ini. Suasana dimalamku bersama ‘arwah’ Roy dan Mia ditempat ini. Sebuah perasaan yang mendebarkan dan suasana suram yang akan aku lalui sendiri. Sedikit perasaan menyesal dan seperti ada yang kurang, karena kini aku mulai berharap ada mereka berdua lagi disini yang menemaniku seperti malam-malam yang lalu.

Aku berjalan pelan dan kini langkahku tak seberat sebelumnya karena kakiku mulai terbiasa dengan rasa nyeri akibat kecelakaan tadi. Tangan kananku memegang dan menahan layar ponsel kedepan sebagai penerangan, sementara tangan kiriku membawa beban sekantung berisi boneka-boneka dan peralatan-peralatanku. Aku berhenti sejenak didepan pintu dan langsung membuat simpul kecil dari tali untuk memasang kertas peringatan digagang pintu. Setelah semua terpasang, aku langsung bergegas keruang tempat boneka-boneka itu berasal.

Aku mengeluarkan ketiga boneka itu dan meletakkannya diatas laci. Selanjutnya tanganku disibukkan dengan memasang lakban ketubuh boneka-boneka itu dan mengaitkannya ke laci dan tembok dengan erat, membuat semua gaunnya kini berwarna hitam tertutup jerat lakban. Aku berjalan tertatih kepintu kamar dan berniat melakban juga semua pintunya. Belum aku memulai yang kukerjakan, baru kusadari bahwa ada yang kurang diruangan ini.

Aku langsung masuk lagi kedalam dan menyorotkan ponselku keatas langit-langit. Sebuah lubang menganga terbentuk jelas diatasku tanpa tali yang menjadi ‘ciri khas’ ruangan ini.

“aku harus memasang talinya lagi, sial” gumamku

Aku segera bergegas keluar ruangan dan berpindah keruangan lain, sebuah ruangan kecil yang terbuka tak jauh dari tempatku. Diujungnya terdapat tali yang terikat erat menjulur kedalam ruangan, dan turun kedasar ruang bawah tanah yang berada didalamnya.

Aku mengambil sebuah cutter kecil didalam plastik, dan mendekati ujung tali yang terikat. Kulepas kantong plastik dan menjatuhkannya keatas lantai sementara kini kedua tanganku masing-masing memegang ikatan tali dan pisau cutter. Tapi belum sampai aku mengiriskan ujung cutter diatas tali, ada sesuatu yang aneh yang kurasakan diruangan ini. Aku memegang erat tali dan kurasakan tali seolah bergetar. Aku langsung berdiri, menyaksikan tali yang semakin bergerak-gerak dan menelusuri ujungnya sampai kusadari ada yang menggerakkannya dari ruang bawah tanah.

“ada orang dibawah sana?” aku berteriak

Tak ada sahutan, tali kini diam tanpa ada gerakan. Tapi semuanya menjadi menyeramkan dari sebelumnya. Sebuah tangis halus terdengar lirih dari dalam ruangan. Suara tangis dengan nada yang halus yang bisa kukenal sebagai tangis khas dari teman lamaku, teman yang ikut menjadi korban dirumah ini.

Aku berjalan pelan sambil menengok kedalam ruang bawah tanah dan menyorotkan ponselku kedalamnya.

“Mia?” ucapku lirih

Tangisan masih tetap terdengar sementara yang kulihat didalam hanya ruangan yang kosong tanpa ada seorangpun. Tanpa sadar tangan kiriku mulai meraba leherku yang mulai meremang, ditambah dengan hawa dingin yang membuat kerongkonganku mulai menelan dalam-dalam air ludahku. Aku mundur beberapa langkah menjauh dari ruangan yang masih terdengar tangisannya, dan berniat mengurungkan niatku dan keluar dari rumah ini sampai kusadari sosok hitam telah berdiri dibelakangku dan mengagetkanku saat aku berbalik. Aku sontak berteriak ketakutan dan beberapa langkahku mulai mundur tanpa sadar satu kakiku mulai terperosok kedalam ruang bawah tanah. Aku berpikir akan terjatuh terjerembab kedalam ruangan gelap, sampai kusadari bahwa aku masih bertahan diatas tanah. Tidak, aku melayang. Sosok itu berdiri diatas ruangan sementara tatapan mata merahnya yang menyeramkan menatapku dengan tajam seolah membuatku melayang tanpa bisa kukendalikan. Aku memandang kebawah dan merasakan kakiku hanya berjarak satu jengkal dari atas tanah. Terlihat ponselku yang terjatuh menyinari dibawah kakiku, membuat ruangan kecil ini sedikit terang.

Makhluk itu terus menatapku dan menggeram pelan sementara kini aku tak bisa berteriak karena makhluk itu seolah mencengkeram leherku agar tidak bisa bicara, atau mungkin tidak bisa bernapas. Ya, karena kini kurasakan napasku mulai sesak dan rasa sakit luar biasa menyerang leherku. Aku hanya bisa memekik lirih sementara tangan dan kakiku mulai berayun tak tenang. Dadaku mulai berat karena cengkeramannya yang kini terasa semakin erat mencekikku. Tanganku mencoba meraih tali yang menggantung diatasku tapi semua itu percuma karena itu justru membuat sosok itu makin mempererat cengkeramannya dan membuat kepalaku semakin ngilu. Kakiku mulai berayun-ayun tak tenang, pandanganku mulai tertutup air mataku yang mulai menggenang dikelopak mataku, menyadari bahwa kini giliranku untuk mati dan melengkapi kutukan rumah ini.

Pandanganku mulai gelap, kurasakan paru-paruku sudah kesakitan tanpa udara didalamnya. Kaki dan tanganku mulai lemas. Dan saat ini aku mendengar ada keramaian yang mendekatiku, suara yang samar, halus bercampur dengan suara-suara yang kukenal seperti suara Roy dan Mia, Siska, Dion, Emi, bahkan Fendi. Suara-suara itu bercampur aduk dikepalaku, sampai akhirnya kurasakan sesak dileherku mulai tak terasa lagi. Kudengar makhluk itu tak menggeram dan sepertinya cengkeramannya mulai longgar di leherku . Aku tetap tak bisa melihat apapun untuk memastikan karena pandanganku yang gelap, tapi aku bisa merasakan tubuhku mulai bebas lalu sesaat kemudian aku terjatuh keras diatas lantai.

(bersambung)

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: