- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 23 (END)

0

Dalam gelap, aku masih terbayang-bayang dengan sosok yang berada didepanku. Sosok perempuan dengan wajah yang cemas, sedang menatapku. Sementara suara riuh menggema disetiap tempat tanpa aku bisa menyadari dari mana suara itu berasal. Perempuan itu terus menatapku dan dia sepertinya melakukan sesuatu dengan wajahku sampai kusadari bahwa dia kini sedang menepuk-nepuk pipiku, pelan dengan satu tangannya.

Aku mulai bisa melihat sedikit cahaya dan kusadari perempuan itu adalah adikku, Emi, sedang menangis didepan diatasku. Dia terus menampar-nampar pipiku dan baru berhenti ketika aku mulai merintih kecil yang disambut dengan keriuhan beberapa orang disekelilingku. Aku mulai bisa membuka mata, kusadari bahwa kini aku berada dipangkuan Emi dan aku sendiri berada ditempat yang kuyakini adalah ruang terkunci dirumah gantung dengan ruang bawah tanah tepat berada disampingku. Tapi aku tidak sendiri karena beberapa orang telah ramai disekelilingku, termasuk yang kulihat dua orang polisi yang berusaha menyinariku dengan senter dan seorang lagi mulai menyodorkan minuman kearahku.

Aku minum sedikit dari air yang dia beri, dan aku mencoba untuk bangkit. Tap tak bisa kulaksanakan karena kurasakan leherku sangat kaku dan cukup sakit untuk kubuat menoleh. Masih sedikit tersedu Emi memarahiku dengan keras dan ini pertama kali aku melihatnya semarah ini denganku. Beberapa orang disekitarku juga mulai berceramah ini itu seolah aku terlihat salah didepan mereka semua. Aku hanya terdiam dengan ocehan mereka semua, sampai Emi langsung memelukku erat dan sebuah tandu mulai datang dan membawaku. Sebuah penopang leher dipasang membuat kepalaku terasa seperti patung yang hanya bisa menggerakkan bola mataku untuk melihat sekitar.

Tak lama, aku dibawa keluar rumah gantung dan sebuah ambulance terparkir didepan halaman bersiap menyambutku. Tapi sebelum aku mulai masuk kedalam mobil ambulance itu, aku mendengar sebuah suara memanggil-manggil namaku, suara perempuan dan aku mengenalinya.

“hey, bagaimana kabarmu?”

Aku melirik keasal suara yang mulai mendekat dan terlihat Siska sekarang berdiri disampingku, ikut mengiringiku kemobil ambulance.

“ya, aku baik-baik saja. Tapi apa yang terjadi denganku?” tanyaku lirih menahan sakit

Aku sampai dipintu ambulance dan aku dipindahkan keatas ranjang.

“boleh aku bicara sebentar?” sahut Siska ke salah seorang pemandu

“mau ikut kedalam mobil?” jawab pemandu sambil mulai melipat tandu

“tidak-tidak sebentar saja…” Siska langsung menghampiriku dan mendekatkan kepalanya ketelingaku

“kurasa mereka semua tidak ada yang paham dengan situasi ini, aku akan menjelaskan kepada mereka dan kurasa ini akan menyelamatkanmu” ucap Siska sambil menunjukkan sebuah benda didepanku, sebuah boneka beruang dengan pita dilehernya dan memakai sweater biru mungil, ditambah dengan sebuah jahitan nama ditengahnya.

“Roy? Maksudnya apa?” tanyaku

Siska megelus-elus jahitan nama yang bertuliskan ‘ROY’ ditengah boneka “aku akan menjelaskan semuanya nanti dirumah sakit. Sekarang aku akan memeberitahu mereka semua yang ada didlam, kurasa polisi akan sedikit mempercayaiku karena mereka sering menangani kasus dirumah ini” ucap Siska cepat sambil menepuk pundakku dan langsung meninggalkanku.

“tunggu.. apa yang kau maksud? Ada apa dengan Roy?” aku berteriak

Tak ada sahutan dari Siska, dan selanjutnya Emi datang menghampiriku dan aku mulai diangkat ke mobil ambulance.

“Dion, dia masih didalam mobilnya” aku setengah berteriak ke Emi yang berjalan kearahku

“tadi dia sudah dilarikan kerumah sakit” ujar Emi sambil ikut naik ke dalam ambulance

===================================

Entah berapa lama aku tertidur diatas ranjang rumah sakit, kini aku terbangun ketika semua orang berkumpul didekat tempatku. Emi, Siska, Edy, ibu bahkan ayahku yang sudah bisa berdiri kini ikut bergabung. Terlihat pula ayah dan ibu Dion yang berada tak jauh beberapa ranjang dari tempatku, dan sedang menghadap ke ranjang lain sementara seorang pasien sedang diperban dan masih tidak sadar berada diatasnya, Dion. Aku memegangi leherku yang kini dipasang penopang dan ibuku menjelaskan bahwa leherku mengalami luka yang cukup dalam diantaranya bahkan mengalami sedikit keretakan.

“kakak jangan lagi kerumah gantung, awas ya” sahut Emi

“hush.. jangan begitu, kasihan kakakmu baru sadar” ayahku membalas sahutan Emi

“mau gimana lagi bu, untung saja saat itu aku berpapasan dengan polisi dijalan, kalau tidak…” kata Emi menyangkal ibunya

“sebenarnya apa yang terjadi” kataku lirih memandang kesemua orang
 Semua terdiam, dan hanya Siska yang terlihat menoleh ke ayahku yang kemudian oleh ayahku dibalas dengan anggukan pelan kearahnya. Siska mulai mendekatiku dan berjongkok disamping ranjangku sehingga kepalanya kini dekat denganku.

“kamu, hampir saja menjadi korban rumah gantung. Aku sudah menjelaskan kesemua keluargamu” kata Siska menjelaskan

“korban?”

“baiklah, aku saat itu tidur dirumah ketika kau bersama Dion kerumah gantung pada malam itu. Aku bermimpi tentangmu, kau meminta tolong kepadaku. Aku terbangun ketika ayahku mengabari kalau Fendi gantung diri diruangannya dirumah sakit jiwa. Tak lama setelah kepergian kita”

Aku terdiam “Fendi, dia benar gantung diri?” tanyaku

Siska mengangguk “malam itu aku langsung berangkat kerumah sakit jiwa untuk benar-benar memastikan. Dan benar, rumah sakit jiwa sudah ramai polisi dan petugas medis mengangkat sebuah mayat yang kemudian mereka angkut ke mobil ambulance”

“mengapa dia bunuh diri?” tanyaku

“tidak tahu, tapi aku yakin ada hubungannya dengan sosok hitam yang mengejarmu dan mengejarnya juga. Karena saat aku disana, aku dihampiri oleh petugas yang memandu kita kemarin dan dia memberiku sebuah amplop surat” ujar Siska “ini amplopnya, kepada yang terakhir mengunjungiku” sambung Siska sambil membaca judul sampul amplop yang dia keluarkan dari sakunya

“kepada kita?” tanyaku lagi

“sebelumnya aku tidak yakin sampai petugas itu bilang bahwa kitalah yang terakhir menemuinya sebelum dia mulai kambuh lagi”

Aku terdiam dan memandang keorang tuaku yang kini terlihat sibuk berbicara dengan seorang dokter yang tak jauh dari ranjangku, sementara Emi dan Edy terdiam mendengarkan penuturan Siska.

“tenang, aku tidak menjelaskan kunjungan kita kerumah sakit jiwa kepada orang tuamu”bisik Siska tersenyum

“lalu?” sahutku lirih

“aku membaca isi amplop itu” Siska mulai membuka amplop dan mengeluarkan lipatan kertas persegi yang kemudian menunjukkannya didepan wajahku. Aku meraih kertas itu dan mulai membacanya

--Entah kapan aku bisa bertemu dengan kalian lagi, tapi melalui surat ini aku akan menjelaskan apa yang belum kalian ketahui dirumah gantung. Mungkin surat juga ini sebagai peringatan terakhirku untuk menghindarkan semua orang dari rumah terkutuk itu setelah semua usahaku dengan kertas koran dan lakban-lakban itu sia-sia. Aku ingin menjelaskan kepada kalian kalau kalian akan selamat jika kalian benar-benar memahami sejarah rumah gantung. Aku mendapatkan kesimpulan ini setelah semua yang kulalui dan semua sumber-sumber menjurus kehal ini. Kalian tahu kisah Robert bukan? Kalian pasti tahu, karena kalian sepertinya paham dengan situasi dirumah gantung. Robert menghabisi keluarganya dan mengganti masing-masing dengan sebuah boneka. Sementara itu, teman kalian yang mati disana sebenarnya sudah menjadi milik Sosok hantu Robert sampai kalian merebutnya kembali. Sosok itu marah dan yang pasti akan mengejar kalian dan berniat memiliki kalian juga sebagai gantinya. Untuk menghentikannya, ikuti apa yang dilakukan Robert dimasa lalunya. Taruh boneka disana untuk menggantikan teman kalian yang menjadi korban disana. Kalian lakukan secepatnya sebelum kalian menjadi yang selanjutnya. Aku melakukan ini karena aku juga ingin kalian menolongku untuk menaruh boneka lain juga untuk menyelamatkanku. Aku tidak bisa keluar dari rumah sakit jiwa ini. Fendi --

Aku terdiam sejenak, dan tiba-tiba aku teringat dengan pesan terakhir Roy dalam mimpiku setelah kematiannya. Pesan terakhir darinya yang sama persis dengan apa yang Fendi bicarakan ‘ingatlah sejarah rumah gantung atau kau akan selamat’ .Aku melipat lagi kertas itu dan Emi langsung menyambarnya. Dia membuka kertas dan membacanya, Edy ikut bergabung dan membaca disampingnya.

“jadi….” pikiranku malayang sedikit melamun, pandanganku mengarah keatas langit-langit ruangan

“seorang polisi menjelaskan kepadaku. Kau terlihat menggantung lehermu sendiri diruang bawah tanah sebelum mereka memotong tali dan membuatmu terjatuh keruangan itu. Jadi intinya saat itu kau sedang melakukan percobaan bunuh diri dirumah gantung. Untung kau masih selamat” Siska menjelaskan

“aku? Gantung diri?” kataku kaget dan kemudian tertawa keras, membuat Emi dan Edy menghentikan membacanya dan memandangiku

“tidak lucu kak” sahut Emi

“tapi kabar baiknya, aku sudah menjelaskan kepada polisi saat itu, dan sebagian mempercayai apa yang kumaskud, walaupun beberapa yang lain masih menganggapmu ada ….”ujar Siska sambil memutar ujung jari telunjuknya kesamping kepalanya

“sudah gila?” aku meneruskan pembicaraannya yang disahut dengan tawa kecil dari Siska

“ya, tapi aku sudah menaruh sebuah boneka untuk Roy” sahut Siska

“kau sudah menunjukkannya, lalu bonekanya Fendi?” tanyaku

“percuma, dia tidak selamat. Jadi buat apa?” sahut Siska

Aku mengangguk lirih.

Ayah dan ibu menghampiriku dan mengabarkan bahwa aku akan menginap selama beberapa hari dirumah sakit ini sampai semuanya pulih. Tak lama, terdengar suara gaduh disampingku ketika kedua orangtua Dion mulai menyadari bahwa anaknya mulai sadar. Kini semua orang yang ada didekatku mulai bearnjak dari tempatku dan beralih ketempat ranjang Dion. Sementara aku hanya bisa berkaca-kaca dan memandangi langit-langit ruangan dengan pikiranku yang mulai menerawang menembusnya. Kini semua sudah selesai, tak ada lagi ketakutan dan untuk saat ini aku sudah aman bersama keluarga dan teman-temanku.

=================

Enam bulan berlalu, aku sudah pulih total dan memang benar apa yang dimaksud Fendi dan Siska. Sosok itu kini tak lagi menggangguku. Untuk saat ini aku merasa kembali lagi kekehidupanku dulu, sebelum aku berurusan dengan rumah gantung.

Dan kini aku sedang terduduk didepan komputer kamarku dan mengamati blogku yang mulai ramai dengan beragam komentar dan pertanyaan dari para netizen. Hal ini mulai terjadi ketika beberapa hari lalu aku memposting ceritaku kedalam blog dan membagikan semua foto-foto yang kuperolah dirumah gantung selama penelusuranku, bahkan aku menyalin surat dari Fendi dan ikut mempostingnya. Aku melakukan ini dengan tujuan yang sama dengan Fendi, agar semua orang bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dirumah gantung dan menghindarinya.

Setelah postinganku menyebar kedunia maya, semua blog dan situs berita mulai ramai mengkopi apa yang aku ceritakan. Dalam dua hari, blogku penuh dengan ribuan viewer dan beragam komentar yang terus menerus memenuhi pemberitahuanku.

Tapi semua pertanyaan bisa aku jawab kecuali sebuah pertanyaan yang membuatku terbelalak.Dia tidak memiliki foto profil dan hanya sebuah email yang itupun memiliki nama yang aneh untuk sebuah username. Dia tidak mengajukan pertanyaan kepadaku, tapi justru sebaliknya, dia meminta sebuah pertolongan. Dia meminta tolong kepadaku apa yang harus dilakukannya, karena dia mengalami kasus yang sama denganku. Dia menemukan adiknya yang gantung diri rumah gantung dan sosok hitam kini mengejarnya. Aku mulai bergidik ngeri memabyangkan apa yang aku dan Fendi lakukan selama ini masih belum sempurna, toh ternyata ada korban lagi dirumah itu. Dengan sedikit berat, aku membalas komentarnya.

‘lakukan seperti yang kulakukan, taruh boneka disana sebagai gantinya’

Beberapa saat kemudian, dia membalas lagi ‘tapi bagaimana caranya? Boneka sudah ada, tapi aku tidak tahu harus menaruh dimana’

‘taruh saja bersama boneka-boneka lain didalam rumah gantung’ balasku

Dia membalas lagi, dan kini membuatku sangat tercengang ‘bagaimana bisa? Rumah itu kini sudah tidak ada, kakak tidak tahu beritanya? Rumah gantung sudah terbakar habis’

Aku langsung membuka tab baru dari browserku dan mulai mengetik pada kolom berita dengan keyword rumah gantung. Benar, berita terbaru dari rumah gantung.

Tagline berita dua hari lalu, menceritakan sebuah pengalaman dari seorang gadis yang menemukan adik perempuannya gantung diri dirumah gantung, sementara berita yang masih hangat, baru ditulis kemarin.

RUMAH GANTUNG TERBAKAR HABIS, POLISI MASIH MENCARI PENYEBABNYA.

Aku mengamati foto-foto puing-puing rumah yang hampir sepenuhnya hangus menjadi abu. Tak ada yang tersisa kecuali bentuk-bentuk yang kukenali masih belum hancur seperti kulkas dan televisi usang yang kini sudah menghitam penuh kerak hasil pembakaran. Aku menelan ludahku dalam-dalam dan aku membuka lagi blogku, menuliskan beberapa kata dikolom komentar.

‘aku tidak bisa membantumu, maaf’

#### END ####

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 22

0

Kulepas tali pengaman yang melilit tubuhku dan tubuh Dion, setelah itu kuguncang-guncang tubuhnya berharap agar cepat sadar. Semua percuma, aku meraih tangan kirinya dan aku merasakan masih ada denyut jantung yang terasa lemah dibawah kulitnya. Aku memegang tangan Dion dan mengguncang-guncangnya walaupun sepertinya makim sia-sia karena aku justru mengotori mobil Dion dengan percikan-percikan darah yang terciprat dari dahinya.

Putus asa, aku merogoh ponsel disakuku dan langsung menelepon Siska. Bertambah lagi ujian kesabaranku karena tak ada sahutan dari ponsel Siska. Tak hilang akal, aku langsung menelepon adikku Emi dan memina bantuannya untuk menghubungi ambulance di rumah sakit tempat ayah dirawat.

Sedikit rasa bersyukur karena Emi langsung bertindak dengan tugasnya. Dan sekarang tinggal diriku sendiri didalam mobil yang harus terdiam ditengah kegelapan tanpa tahu apa yang bisa kuperbuat. Aku menghela napas panjang, dan pikiranku mulai terbayang lagi dengan berita yang kudengar tadi diradio.

‘Fendi ditemukan gantung diri diruangannya di rumah sakit jiwa’

Kabar yang seolah melengkapi kutukan panjang dari rumah gantung. Semua yang dari awal kukira Fendi bisa selamat dari sosok hitam yang mengejarnya, semua berakhir dengan kabar buruk tentang kematiannya. Jika Fendi tidak bisa selamat, mungkin suatu saat akan tiba waktuku untuk mengikutinya.Aku akan meninggalkan teman-temanku dengan misteri yang masih menyelimuti rumah gantung. Aku akan meninggalkan Emi dan kedua orang tuaku tanpa mereka tahu apa yang aku alami. Dan suatu saat akan terjadi kasus lagi dirumah itu karena banyak orang yang tak tahu tragedi didalamnya. Tidak.... kalau aku bisa menghentikannya.

Sebuah semangat mulai hinggap dikepalaku. Aku langsung meraih kantong plastik merah dikursi belakang dan beranjak keluar mobil. Aku menyalakan layar ponselku yang penuh dengan noda darah yang kemudian aku menggunakannya sebagai senter darurat. Aku berdiri disamping mobil memandang sekitar. Aku mengamati mobil Dion yang masih sedikit berasap di mesinnya, sementara kedua roda depannya tenggelam ke dalam parit penuh lumpur yang hampir tertutup oleh rimbun semak belukar. Lampu mobil masih menyala menyinari rerumputan didepan mobil dan memantul hingga beberapa ratus meter jauhnya. Aku mengamati jalur sorot lampu dan kusadari lokasiku sudah sangat dekat dengan rumah gantung. Bisa kulihat samar-samar bayangan teras rumah gantung dibalik ujung-ujung semak. Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan tertatih menuju jalan dengan menelusuri jalur kecelakaan yang kualami. Sekitar seratus meter aku berjalan diatas semak –yang roboh karena roda, aku bisa menemukan jalur aspal rusak yang menjadi titik awal kecelakaan. Kakiku terus melanjutkan berjalan sekitar dua rumah lagi sampai akhirnya aku berdiri didepan pelataran rumah gantung.

Sekilas aku bisa merasakan suasana yang sama ketika menginjakkan kaki ditempat ini. Suasana dimalamku bersama ‘arwah’ Roy dan Mia ditempat ini. Sebuah perasaan yang mendebarkan dan suasana suram yang akan aku lalui sendiri. Sedikit perasaan menyesal dan seperti ada yang kurang, karena kini aku mulai berharap ada mereka berdua lagi disini yang menemaniku seperti malam-malam yang lalu.

Aku berjalan pelan dan kini langkahku tak seberat sebelumnya karena kakiku mulai terbiasa dengan rasa nyeri akibat kecelakaan tadi. Tangan kananku memegang dan menahan layar ponsel kedepan sebagai penerangan, sementara tangan kiriku membawa beban sekantung berisi boneka-boneka dan peralatan-peralatanku. Aku berhenti sejenak didepan pintu dan langsung membuat simpul kecil dari tali untuk memasang kertas peringatan digagang pintu. Setelah semua terpasang, aku langsung bergegas keruang tempat boneka-boneka itu berasal.

Aku mengeluarkan ketiga boneka itu dan meletakkannya diatas laci. Selanjutnya tanganku disibukkan dengan memasang lakban ketubuh boneka-boneka itu dan mengaitkannya ke laci dan tembok dengan erat, membuat semua gaunnya kini berwarna hitam tertutup jerat lakban. Aku berjalan tertatih kepintu kamar dan berniat melakban juga semua pintunya. Belum aku memulai yang kukerjakan, baru kusadari bahwa ada yang kurang diruangan ini.

Aku langsung masuk lagi kedalam dan menyorotkan ponselku keatas langit-langit. Sebuah lubang menganga terbentuk jelas diatasku tanpa tali yang menjadi ‘ciri khas’ ruangan ini.

“aku harus memasang talinya lagi, sial” gumamku

Aku segera bergegas keluar ruangan dan berpindah keruangan lain, sebuah ruangan kecil yang terbuka tak jauh dari tempatku. Diujungnya terdapat tali yang terikat erat menjulur kedalam ruangan, dan turun kedasar ruang bawah tanah yang berada didalamnya.

Aku mengambil sebuah cutter kecil didalam plastik, dan mendekati ujung tali yang terikat. Kulepas kantong plastik dan menjatuhkannya keatas lantai sementara kini kedua tanganku masing-masing memegang ikatan tali dan pisau cutter. Tapi belum sampai aku mengiriskan ujung cutter diatas tali, ada sesuatu yang aneh yang kurasakan diruangan ini. Aku memegang erat tali dan kurasakan tali seolah bergetar. Aku langsung berdiri, menyaksikan tali yang semakin bergerak-gerak dan menelusuri ujungnya sampai kusadari ada yang menggerakkannya dari ruang bawah tanah.

“ada orang dibawah sana?” aku berteriak

Tak ada sahutan, tali kini diam tanpa ada gerakan. Tapi semuanya menjadi menyeramkan dari sebelumnya. Sebuah tangis halus terdengar lirih dari dalam ruangan. Suara tangis dengan nada yang halus yang bisa kukenal sebagai tangis khas dari teman lamaku, teman yang ikut menjadi korban dirumah ini.

Aku berjalan pelan sambil menengok kedalam ruang bawah tanah dan menyorotkan ponselku kedalamnya.

“Mia?” ucapku lirih

Tangisan masih tetap terdengar sementara yang kulihat didalam hanya ruangan yang kosong tanpa ada seorangpun. Tanpa sadar tangan kiriku mulai meraba leherku yang mulai meremang, ditambah dengan hawa dingin yang membuat kerongkonganku mulai menelan dalam-dalam air ludahku. Aku mundur beberapa langkah menjauh dari ruangan yang masih terdengar tangisannya, dan berniat mengurungkan niatku dan keluar dari rumah ini sampai kusadari sosok hitam telah berdiri dibelakangku dan mengagetkanku saat aku berbalik. Aku sontak berteriak ketakutan dan beberapa langkahku mulai mundur tanpa sadar satu kakiku mulai terperosok kedalam ruang bawah tanah. Aku berpikir akan terjatuh terjerembab kedalam ruangan gelap, sampai kusadari bahwa aku masih bertahan diatas tanah. Tidak, aku melayang. Sosok itu berdiri diatas ruangan sementara tatapan mata merahnya yang menyeramkan menatapku dengan tajam seolah membuatku melayang tanpa bisa kukendalikan. Aku memandang kebawah dan merasakan kakiku hanya berjarak satu jengkal dari atas tanah. Terlihat ponselku yang terjatuh menyinari dibawah kakiku, membuat ruangan kecil ini sedikit terang.

Makhluk itu terus menatapku dan menggeram pelan sementara kini aku tak bisa berteriak karena makhluk itu seolah mencengkeram leherku agar tidak bisa bicara, atau mungkin tidak bisa bernapas. Ya, karena kini kurasakan napasku mulai sesak dan rasa sakit luar biasa menyerang leherku. Aku hanya bisa memekik lirih sementara tangan dan kakiku mulai berayun tak tenang. Dadaku mulai berat karena cengkeramannya yang kini terasa semakin erat mencekikku. Tanganku mencoba meraih tali yang menggantung diatasku tapi semua itu percuma karena itu justru membuat sosok itu makin mempererat cengkeramannya dan membuat kepalaku semakin ngilu. Kakiku mulai berayun-ayun tak tenang, pandanganku mulai tertutup air mataku yang mulai menggenang dikelopak mataku, menyadari bahwa kini giliranku untuk mati dan melengkapi kutukan rumah ini.

Pandanganku mulai gelap, kurasakan paru-paruku sudah kesakitan tanpa udara didalamnya. Kaki dan tanganku mulai lemas. Dan saat ini aku mendengar ada keramaian yang mendekatiku, suara yang samar, halus bercampur dengan suara-suara yang kukenal seperti suara Roy dan Mia, Siska, Dion, Emi, bahkan Fendi. Suara-suara itu bercampur aduk dikepalaku, sampai akhirnya kurasakan sesak dileherku mulai tak terasa lagi. Kudengar makhluk itu tak menggeram dan sepertinya cengkeramannya mulai longgar di leherku . Aku tetap tak bisa melihat apapun untuk memastikan karena pandanganku yang gelap, tapi aku bisa merasakan tubuhku mulai bebas lalu sesaat kemudian aku terjatuh keras diatas lantai.

(bersambung)

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 21

0

Puas setelah dimarahi habis-habisan oleh petugas, kami bertiga langsung bergegas meninggalkan rumah sakit jiwa.

“kita kerumahku saja” kataku sambil masuk ke dalam mobil

Siska dan Dion masuk dan duduk ditempatnya masing-masing.

“baiklah, hari ini kacau” Dion mengeluh lemas

“maaf aku tidak bisa ikut, tadi ayah meneleponku agar cepat pulang” sahut Siska

“oke, tidak apa-apa”kataku sedikit menengok ke Siska

Dion menyalakan mobilnya, dan mobil mulai bergerak perlahan.

“lalu, apa yang Fendi katakan?” tanya Siska

Aku dan Dion terdiam, aku masih terbayang ekspresi Fendi yang tiba-tiba berubah drastis dari yang terlihat tenang menjadi beringas semenjak kutunjukkan boneka itu. Dan entah mengapa dia seolah melihat makhluk hitam ketika Siska mulai memasuki ruangan. Tapi pikiranku mulai mengganjal ketika teringat penjelasan terakhirnya bahwa masih ada rahasia lagi yang bisa menyelamatkanku. Dan sialnya, semua itu akan tetap menjadi misteri karena aku tidak mungkin bisa menemui Fendi setelah kejadian tadi.

“halo? Kalian mendengarku?” ketus Siska

Aku menoleh ke arah Siska “kita harus mengembalikan semua boneka-boneka itu kerumah gantung” jawabku

“apa? Dikembalikan?” Siska kaget, begitu juga dengan Dion yang langsung melirik kearahku

“kenapa harus dikembalikan? Itu bisa menjadi bukti kita” sambung Siska

“aku tidak yakin, kurasa kita akan dalam bahaya jika menyimpannya”

Siska terdiam, “apa yang Fendi ceritakan?” sahutnya sambil menatap kearahku dan Dion

“benar, kita harus mengembalikannya ketempat semula” sahut Dion

“Fendi bilang kalau dialah yang menutup semua atap disana”

Siska langsung mengernyitkan dahinya mendengar pernyataanku “pasti ada sesuatu yang mendasarinya”

Aku mengangguk pelan “ya, dia menempatkannya lagi diruangan boneka itu berasal, menutup semua cela disana dengan tujuan agar boneka itu tidak lagi bisa kelua mengikutinya”

“lalu? Apa itu berhasil?” ucap Siska

“entahlah, tapi tapi aku bisa melihat perubahan ekspresi Fendi saat kutunjukkan boneka yang kubawa. Dia ketakutan”

“mungkin saja dia ketakutan karena memang dia trauma dengan boneka itu, atau mungkin juga boneka itu mengingatkannya pada kematian saudaranya” sergah Siska

“disamping itu, ingat bahwa boneka-boneka itu memiliki sihir didalamnya” Dion menyahut

Siska hanya terdiam, terdapat raut wajah kecewa terpancar dari ekpresinya.

“baiklah, tapi aku tidak bisa ikut kalian, maaf ya” ucap Siska lirih

“tidak apa-apa”

Belasan menit kemudian, mobil berhenti tepat didepan rumah Siska. Dion langsung bergegas melanjutkan perjalanan setelah Siska turun dari mobil.

“hey, sepertinya ada yang disembunyikan Siska dari kita” ucapku

Dion melirik kearahku sambil tetap fokus menyetir “disembunyikan?” katanya heran

“kau melihat luka dikaki Siska?” tanyaku

“ya, kurasa akan segera sembuh karena hanya memar dan luka gores, itupun sepertinya tidak parah” sahut Dion

“tidak, itu bukan luka memar”

“maksudnya?” tanya Dion heran “lalu? Apa yang kau lihat?” sambung Dion sambil tertawa

“ada bercak tangan menyeramkan dikakinya, dan dia menutupinya sambil pura-pura memijit” aku menjelaskan

Dion tiba-tiba menepikan mobilnya

“aku tidak mengerti”

“sepertinya makhluk itu berusaha melukai Siska, dia yang menarik kaki Siska saat akan naik. Tapi Siska justru cerita kalau dia sendiri yang terjatuh. Itu tidak bisa menjelaskan bercak dikakinya“ aku menjelaskan

Dion merogoh sakunya dan mengambil ponselnya.

“kau harus percaya, pokoknya kita harus menjauhkan boneka-boneka itu dari Siska. Karena itu bisa membahayakannya. Kalau bisa kita jauhkan dia dari urusan-urusan kita tentang rumah gantung.”

Dion tertawa dan dia menunjukkan layar ponselnya didepanku.

“dia mengupload lukanya di media sosial” sahutnya

Aku mengambil ponsel dari tangan Dion, dan mengamati dengan seksama foto didalamnya. Foto kaki yang memang kulihat kaki Siska karena terlihat celana jeans yang dia pakai saat itu dirumah gantung. Terlihat bayak luka gores dan sedikit darah menghiasi sekitar tumitnya, ditambah memar –memar kecil yang tak beraturan tepat dimata kakinya. Tidak ada memar yang berbentuk seperti tangan yang kulihat hari itu.

“ini asli?” tanyaku heran

“iya asli, dia bahkan menguploadnya dalam tiga foto yang berbeda” jawab Dion sambil menggeser kekanan kursor ponselnya yang masih ditanganku. Menunjukkanku foto-foto lain yang ada dialamnya. Foto yang sama tapi masing-masing dipotret dari sudut yang berbeda-beda.
 Aku mengembalikan ponsel ke Dion tanpa berkata apapun, dan Dion langsung menancap gas mobilnya.

***********************

Jam sudah mnunjukkan pukul empat sore ketika kami berdua mulai bergegas untuk melanjutkan perjalanan kerumah gantung. Satu kantong besar yang berisikan boneka-boneka, kertas gambar, koran, dan bingkai foto masih tetap terikat didalamnya –kecuali boneka paling besar yang baru kumasukkan dari ranselku.

Mengikuti apa yang diucapkan Fendi, aku membawa satu pak lakban hitam dengan gunting dan tali-tali rafia untuk mengikat boneka-boneka agar tetap berada dirumah gantung. Aku juga membuat sebuah tulisan 'BERBAHAYA' yang kutulis dikertas A3 yang rencananya akan kupasang didepan pintu rumah.

Perjalanan lebih dari setengah jam dan kami mulai memasuki areal dengan rumah-rumah kosong yang menandakan kami sudah dekat dengan rumah gantung. Jalanan sangat sepi dengan pemandangan rumah-rumah yang berantakan, kumuh dengan rerimbunan semak belukar menjalar didinding-dindingnya. Suasana yang makin gelap membuat suasana makin menyeramkan dengan lanskap langit mulai kemerahan. Suara serangga-serangga mulai terdengar, meskipun masih ada lebih dari satu jam lagi bagi matahari untuk bisa terbenam sempurna.

Suara serangga-serangga itu nyaris menjadi musik yang pas melengkapi seramnya rumah-rumah disamping kiri-kanan jalan. Aku terus mengamati samapi akhirnya mataku tidak sengaja menoleh kearah spion didepanku. Aku mengeryitkan dahiku sejenak, sambil mengamati baik-baik sampai kusadari ada sosok lain yang sedang duduk dikursi kemudi. Aku langsung menoleh kebelakang. Mataku terus melotot kesemua sudut kursi dengan deru napas yang cukup cepat. Tidak ada apapun kecuali satu paket barang-barangku yang masih ‘duduk’ tenang diatasnya. Aku langsung beralih lagi memandang kaca spion dan tak ada apapun disana.

“hey, hey… ada apa?” tanya Dion heran

“aku melihat sosok hitam itu disini” jawabku lirih

“dimana?”

“dibelakang”

Terlihat dion langsung menengok ke spion tengah.

“tidak ada apa-apa, mungkin kamu terlalu capek, sudah kubilang tadi agar istirahat dulu. Besok kan masih ada waktu” ucap Dion

“tidak, aku tidak mau lagi menunda demi keselamatan kita” kataku

Aku mulai mengatur napas dan mencoba tenang. Kini aku mulai terbayang lagi dengan ekspresi Fendi yang melihat sosok itu didepannya. Dia langsung histeris dan ketakutan. Dan itu kini bisa kurasakan meskipun saat ini aku masih bisa mengontrol emosiku.

“boleh kunyalakan radio?” ucapku

“ya, putar saja” sahut Dion

Aku memutar tuner radio dan mencari saluran musik. Tapi tak ada saluran yang tertangkap diarea ini, karena hanya terdengar gemerisik sinyal jelek yang muncul di audio.

“hey, lagu tadi enak, jangan dipindah” sahut Dion

“lagu yang mana?” tanyaku heran “tidak ada sinyal radio disini” sambungku

“hahaha, kamu bicara apa sih. Ini kamu malah memutar siaran berita”

“benarkah? Tapi aku tidak mendengar apapun”

“ayo sudahlah jangan bergurau” seru Dion

Aku langsung mematikan radio dan duduk tenang dikursiku. Meskipun kali ini hatiku benar-benar menjadi tidak tenang.

“hey, apa yang sebenarnya terjadi?” Dion menatapku sebentar “ada sesuatu yang aneh? Ceritakan saja”

“apa kita kerumah gantung jam segini berbahaya?” aku bertanya pelan

“lho, katanya ingin secepatnya”

“tapi tiba-tiba aku memliki firasat yang buruk”

Suasana mobil menjadi hening , “jadi, kita kembali saja?” sahut Dion lirih

Aku terdiam, memandang keluar mobil dan menyaksikan bayang-bayang rumah tua yang semakin melebar seiring dengan suasana yang semakin gelap. Aku menganggukkan kepalaku pelan dan ketika kepalaku hendak menoleh kearah Dion, tak sengaja mataku terpaku lagi pada sebuah siluet aneh yang terbias didepan spion. Terlihat boneka besar berada diluar kantong, duduk dengan senyumnya yang kemerahan. Matanya seakan menatap kearahku melalui kaca spion dan kusadari sebuah tali rafia tengah melingkar dilehernya.

Aku langsung beranjak dan menoleh kebelakang dengan napas yang kembali menderu. Tak ada apapun. Tanganku meraih kantong plastik dan merabanya. Kulihat boneka itu masih ada didalamnya, bergumul dengan boneka-boneka yang lain.

“ada apa lagi?” tanya Dion heran

“aku melihatnya” aku menoleh kearah Dion

Bisikan-bisikan halus mulai samar terdengar dikepalaku. Aku memasang telingaku dengan jelas dan kusadari suara berasal dari depan mobil. Dan benar, aku melihat sosok itu berdiri ditengah jalan tak jauh didepan kami, dengan wajahnya yang menyeramkan menyeringai kearahku.

“awas….” Aku berteriak dan tanganku spontan memutar kemudi yang dipegang Dion

Mobil berbelok tajam kekiri dan kurasakan roda melaju tak terkendali kearah rerimbunan semak-semak. Dion berteriak kencang sementara aku yang panik langsung mencari pegangan karena kini kurasakan mobil mulai berguncang hebat. Semuanya terjadi bergitu cepat sampai kurasakan tumbukan yang hebat membuat tubuh kami terdorong dengan keras dan semuanya menjadi gelap.

****************

Entah sampai berapa lama aku pingsan, aku terbangun dengan sakit yang hebat dikepalaku.Bau asap berbaur dengan bau rerumputan liar beradu dihidungku. Suasana sudah gelap, kecuali lampu mobil yang terus menyala memantulkan sebagian sinarnya kedalam kursi kemudi. Aku mengerang kesakitan. Kurasakan darah menetes dari atas dahiku, bibirku penuh dengan luka, dan mataku terus berkunang-kunang.

“Dion” aku memanggil lirih Dion yang tertelungkup disampingku. Suaraku hampir tak terdengar karena serak yang mulai hinggap dikerongkonganku. Aku memandang lemas ke arah Dion yang tertunduk tak berdaya diatas kemudi, tubuhnya juga masih terikat dalam tali pengaman. “Dion” aku mengguncang-guncang tubuhnya.

Srrrkkkk….sssrrkkk……

Sebuah suara statis mengejutkanku. Suara gelombang yang tertangkap radio didepanku.

“Dion” aku tak mempedulikan suara Radio. Aku terus mengguncang tubuh Dion, sementara tanganku yang lain berusaha melepas sabuk pengamanku yang mengikat erat dan melilit tubuhku.

Aku terus mengguncang-guncang tubuh Dion. Suara statis semakin menghilang dan kini berubah saluran yang mulai kudengar seperti saluran siaran berita.

“Tolong….” aku berteriak sambil memandang sekitarku yang gelap “Tolong…” aku mengulangi teriakanku

Aku terus mengguncang-guncang tubuh Dion sambil berteriak sampai siaran radio didepanku kini mengambil semua tenaga dan perhatianku. Siaran itu seolah lebih menakutkan dari semua suara-suara yang dari tadi kudengar. Aku berhenti menguncang-guncang tubuh Dion. Aku diam terpaku dan mulai membenturkan kepalaku kebelakang ke sandaran kursiku berulang-ulang. Emosiku kini memuncak menyadari tak ada kesempatan lagi bagiku untuk selamat. Mataku terus berkaca-kaca dan kurasakan asap makin mengepul didepan mesin. Suara serangga makin nyaring terdengar meskipun dikepalaku hanya ada suara yang terus bergema berulang-ulang. Sebuah pernyataan dari pembawa berita terus mengiang-ngiang ditelingaku.

“aku akan mati seperti Fendi”

(bersambung)

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

HOW TO MAKE A HORROR MOVIE

0


Lisa berjalan kebingungan, pakaiannya compang-camping. Dia menangis, sesekali menengok kebelakang dalam gelap dan deburan ombak pantai yang dingin. Tiba-tiba sosok putih datang menyambar Lisa dari depan. Lisa berteriak.

“Cut”

“kita lanjutkan nanti” Andi memberi aba-aba

Lisa menghela napas dan dengan pelan melepas sebuah mikrofon kecil dari balik bajunya, sementara seorang pemuda didepannya berbaju putih panjang melepas wig dari kepalanya.

“sepertinya film kita gagal” ucap Toni sambil tertawa

“belum, kita harus segera kembali ke tenda, hujan mulai turun” Andi menatap langit sambil mengadahkan tangannya

“tapi... tinggal beberapa adegan lagi selesai, apa tidak langsung diselesaikan saja? Besok film ini harus siap, dan kita harus segera pergi dari pulau ini atau kita akan pulang satu minggu kedepan karena tidak ada kapal yang menjemput” sahut Yoga disamping Andi. Senter kecil dikepalanya menyorot ke lembaran naskah yang dibawanya.

“Tidak, kita lanjutkan nanti” sahut Andi

Gerimis mulai turun.

“Seharusnya Airin ada disini” ucap Yoga mengeluh lirih

“Airin lagi? Ayolah, dia sudah mati. Dan aku bisa kok menggantikan perannya, lihat saja nanti dibagian akhir, kamu pasti terkesima” sahut Lisa. Yoga tidak mereseponnya.

Hujan semain deras, mereka berempat berjalan menuju tenda yang tak jauh dibelakangnya. Mereka mulai berkemas. Semua peralatan dimasukkan ke tanda lain disamping tenda utama.

“um... tunggu. Sepertinya ada yang jatuh” Yoga membongkar isi tasnya. Tak lama dia mengambil sebuah jas hujan dan bergegas memakainya.

“Mikrofonku terjatuh, aku akan mencarinya” ucap Yoga sambil berjalan menjauhi tenda.

“tunggu.. Yoga, tunggu hujannya reda” teriak Andi

Yoga tidak mendengarnya, Andi mengambil sebuah jas hujan dan senter kemudian bergegas mengejarnya.

“Hei...kalian kemana?” Lisa mengeluarkan kepalanya dari tenda utama

Andi berjalan mengejar Yoga. Hujan semakin deras, ombak bergemuruh menghantam karang-karang disepanjang pantai. 

“Yoga!!” Andi berteriak. Diarahkan senter ke segala arah, namun tidak dilihatnya apa-apa selain pasir dan pohon-pohon kelapa yang bergoyang kencang terhembus angin.

Tiba-tiba sebuah teriakan panjang menggema berbaur dengan deburan ombak.

Andi bergegas menuju asal suara. Dia berlari sejauh beberapa ratus meter ketika pandangannya terhenti diatas sebuah jas hujan yang robek dan genangan berwarna merah menyelimutinya.

“Yoga!!!” Andi berteriak

Andi dengan sedikit gemetar mengambil jas yang berbalut warna merah dan menyadari adanya bekas seretan yang ditandai dengan genangan kecil air hujan, terbentang disepanjang pasir didepannya. Andi mengikuti bekas seretan itu dan kian mengarah kedalam hutan ditepi pantai.

“Yoga?” Andi memanggil lirih. Dia merenung sejenak, senternya mengarah ke hutan yang gelap didepannya.

Hujan sedikit reda. Andi terus mengamati hutan dan sebuah siluet dibalik pepohonan membuatnya terkejut. Tanpa aba-aba dia langsung berlari dengan cepat kembali ke tenda. 

“Lisa... Toni!!!” Teriak Andi dengan kencang. Hujan tinggal rintik-rintik dan suara Andi terdengar cukup keras walaupun deburan ombak masih tidak kalah kerasnya.

Lisa keluar dari tenda dengan memakai sweater, “ada apa? Mana Yoga?”

Andi menggelengkan kepalanya panik sambil menggeledah isi di tenda peralatan. Dia mengambil sebuah kamera video.

“kita melanjutkan film?” tanya Lisa

“tidak... lupakan naskah yang kita buat, akan kutunjukkan cara membuat film horor yang seram”

Andi menyerahkan kamera video ke Lisa, “arahkan ke wajahku.”

Lisa menuruti apa kata Andi. Andi yang terengah-engah menatap ke kamera, dengan mantap dia mulai bercerita tentang apa yang dilihatnya tadi.

“Apa?” Lisa kaget dan mematikan kamera, “ha..hantu Airin? Dan Yoga mati?”

“ya, a..aku tadi melihatnya, rambutnya panjang, matanya merah menyala tertutup rambut poninya dan... kepala Yoga ada ditangannya, sudah putus”

Lisa menyerahkan kamera ke Andi, “dan kamu ingin membuat film tentang kematian Yoga?” Lisa marah

“mau bagaimana lagi? Yoga mati dan adegan terakhir tanpanya pasti sangat mustahil” Andi meyakinkan Lisa

“tunggu... Toni?” Lisa mulai panik

Andi terdiam.

“Toni tadi katanya buang air, tapi belum kembali” Lisa berjalan kebelakang tenda, ke arah hutan.

Andi terdiam, dinyalakannya lagi kamera ditangannya sambil mengikuti Lisa dari belakang.

“Toni!!” teriak Lisa

“Lisa!” Andi melempar senter ke arah Lisa dan Lisa menangkapnya.

Lisa mengamati kamera ditangan Andi dengan kesal. 

Sebuah suara terdengar dibalik rimbunan semak dan pepohonan kelapa.

Lisa menyorotkan senter ke asal suara, “Toni?”

Tiba-tiba sebuah benda terlempar dari balik semak dan menggelinding dikaki Lisa. Lisa menyorot benda tersebut dan langsung berteriak ketakutan, melihat kepala Toni dengan matanya melotot penuh darah menatap ka arah Lisa. Lisa mundur beberapa langkah sambil menangis. Andi hanya terdiam sambil terus menyorot Lisa.

“Andi! Matikan!” teriak Lisa

Andi tak bergeming. Tiba-tiba sesosok berbaju putih muncul dari balik semak. Matanya merah menyala.

Lisa berteriak dan langsung berlari, disusul dengan Andi yang juga ikut ketakutan. Mereka berlari disepanjang bibir pantai.

“Lisa!!” teriak Andi

Lisa memperlambat larinya, tak lama dia duduk terkulai sambil menangis.

“Tidak...ini bukan salahku...ini salahmu” Lisa mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke Andi.

“apa salahku?” Andi mematikan kameranya

“kamu yang punya ide untuk membunuh Airin, sekarang lihat akibat ulahmu” Lisa memarahi Andi dengan menangis

“apa? Ini semua kan demi kamu, demi.... arrgghh.... demi peran utama yang kamu idam-idamkan” Andi balik memarahi Lisa

“tapi kan...” belum sempat Lisa menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba sebuah pasak menembus dada Andi. Andi jatuh dengan keras sambil mengerang meregang nyawa. Kamera terjatuh dikaki Lisa.

Lisa berteriak dan tanpa sadar langsung menyalakan kamera dan menyorotkannya ke sosok menyeramkan didepannya. 

“Airin? Jangan lakukan ini, tolonglah” Lisa berjalan mundur

Sosok itu hanya diam. Namun Lisa yang ketakutan tidak tinggal diam. Dia berlari dan kini kamera masih merekam dengan posisi terguncang-guncang.

“tidak... aku kemana lagi? Pulau ini kecil dan aku tak tahu lagi kemana” ucap Lisa ketakutan
Dia menoleh kebelakang dan menyorotkan kameranya. Sosok itu tidak mengikutinya. Dia berhenti sejenak. Dinyalakannya sorot flash kameranya ke segala arah, dan tatapannya terhenti kearah hutan rimbun disisinya. Sebuah cahaya merah menyorot dibalik pohon.

“Airin... maafkan aku!” 

Sorot cahaya itu semakin memudar, dan tak lama hilang. Lisa mengamati sekitarnya, dia mendekat ke arah hutan. Cahaya merah mulai terlihat lagi dibalik pepohonan.
Lisa melebarkan matanya.

“Tidak mungkin..!”

Tiba-tiba sebuah batu menghantam kepalanya. Lisa terjatuh, darah mengalir deras dari tempurung kepalanya. Sosok putih berdiri diatasnya langsung menyahut kamera di tangan Lisa dan mematikannya. Sosok itu mendekati pohon dan mengambil kepala mainan serta sebuah kamera yang terikat di pohon yang terus berkedip merah.

“sial, baterainya habis”

Sosok itu membuka topengnya dan tertawa senang.

“Airin... film ini kupersembahkan untuk kematianmu” Yoga tertawa dengan puas.
Lanjutkan Membaca

0 komentar: