- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 21

0

Puas setelah dimarahi habis-habisan oleh petugas, kami bertiga langsung bergegas meninggalkan rumah sakit jiwa.

“kita kerumahku saja” kataku sambil masuk ke dalam mobil

Siska dan Dion masuk dan duduk ditempatnya masing-masing.

“baiklah, hari ini kacau” Dion mengeluh lemas

“maaf aku tidak bisa ikut, tadi ayah meneleponku agar cepat pulang” sahut Siska

“oke, tidak apa-apa”kataku sedikit menengok ke Siska

Dion menyalakan mobilnya, dan mobil mulai bergerak perlahan.

“lalu, apa yang Fendi katakan?” tanya Siska

Aku dan Dion terdiam, aku masih terbayang ekspresi Fendi yang tiba-tiba berubah drastis dari yang terlihat tenang menjadi beringas semenjak kutunjukkan boneka itu. Dan entah mengapa dia seolah melihat makhluk hitam ketika Siska mulai memasuki ruangan. Tapi pikiranku mulai mengganjal ketika teringat penjelasan terakhirnya bahwa masih ada rahasia lagi yang bisa menyelamatkanku. Dan sialnya, semua itu akan tetap menjadi misteri karena aku tidak mungkin bisa menemui Fendi setelah kejadian tadi.

“halo? Kalian mendengarku?” ketus Siska

Aku menoleh ke arah Siska “kita harus mengembalikan semua boneka-boneka itu kerumah gantung” jawabku

“apa? Dikembalikan?” Siska kaget, begitu juga dengan Dion yang langsung melirik kearahku

“kenapa harus dikembalikan? Itu bisa menjadi bukti kita” sambung Siska

“aku tidak yakin, kurasa kita akan dalam bahaya jika menyimpannya”

Siska terdiam, “apa yang Fendi ceritakan?” sahutnya sambil menatap kearahku dan Dion

“benar, kita harus mengembalikannya ketempat semula” sahut Dion

“Fendi bilang kalau dialah yang menutup semua atap disana”

Siska langsung mengernyitkan dahinya mendengar pernyataanku “pasti ada sesuatu yang mendasarinya”

Aku mengangguk pelan “ya, dia menempatkannya lagi diruangan boneka itu berasal, menutup semua cela disana dengan tujuan agar boneka itu tidak lagi bisa kelua mengikutinya”

“lalu? Apa itu berhasil?” ucap Siska

“entahlah, tapi tapi aku bisa melihat perubahan ekspresi Fendi saat kutunjukkan boneka yang kubawa. Dia ketakutan”

“mungkin saja dia ketakutan karena memang dia trauma dengan boneka itu, atau mungkin juga boneka itu mengingatkannya pada kematian saudaranya” sergah Siska

“disamping itu, ingat bahwa boneka-boneka itu memiliki sihir didalamnya” Dion menyahut

Siska hanya terdiam, terdapat raut wajah kecewa terpancar dari ekpresinya.

“baiklah, tapi aku tidak bisa ikut kalian, maaf ya” ucap Siska lirih

“tidak apa-apa”

Belasan menit kemudian, mobil berhenti tepat didepan rumah Siska. Dion langsung bergegas melanjutkan perjalanan setelah Siska turun dari mobil.

“hey, sepertinya ada yang disembunyikan Siska dari kita” ucapku

Dion melirik kearahku sambil tetap fokus menyetir “disembunyikan?” katanya heran

“kau melihat luka dikaki Siska?” tanyaku

“ya, kurasa akan segera sembuh karena hanya memar dan luka gores, itupun sepertinya tidak parah” sahut Dion

“tidak, itu bukan luka memar”

“maksudnya?” tanya Dion heran “lalu? Apa yang kau lihat?” sambung Dion sambil tertawa

“ada bercak tangan menyeramkan dikakinya, dan dia menutupinya sambil pura-pura memijit” aku menjelaskan

Dion tiba-tiba menepikan mobilnya

“aku tidak mengerti”

“sepertinya makhluk itu berusaha melukai Siska, dia yang menarik kaki Siska saat akan naik. Tapi Siska justru cerita kalau dia sendiri yang terjatuh. Itu tidak bisa menjelaskan bercak dikakinya“ aku menjelaskan

Dion merogoh sakunya dan mengambil ponselnya.

“kau harus percaya, pokoknya kita harus menjauhkan boneka-boneka itu dari Siska. Karena itu bisa membahayakannya. Kalau bisa kita jauhkan dia dari urusan-urusan kita tentang rumah gantung.”

Dion tertawa dan dia menunjukkan layar ponselnya didepanku.

“dia mengupload lukanya di media sosial” sahutnya

Aku mengambil ponsel dari tangan Dion, dan mengamati dengan seksama foto didalamnya. Foto kaki yang memang kulihat kaki Siska karena terlihat celana jeans yang dia pakai saat itu dirumah gantung. Terlihat bayak luka gores dan sedikit darah menghiasi sekitar tumitnya, ditambah memar –memar kecil yang tak beraturan tepat dimata kakinya. Tidak ada memar yang berbentuk seperti tangan yang kulihat hari itu.

“ini asli?” tanyaku heran

“iya asli, dia bahkan menguploadnya dalam tiga foto yang berbeda” jawab Dion sambil menggeser kekanan kursor ponselnya yang masih ditanganku. Menunjukkanku foto-foto lain yang ada dialamnya. Foto yang sama tapi masing-masing dipotret dari sudut yang berbeda-beda.
 Aku mengembalikan ponsel ke Dion tanpa berkata apapun, dan Dion langsung menancap gas mobilnya.

***********************

Jam sudah mnunjukkan pukul empat sore ketika kami berdua mulai bergegas untuk melanjutkan perjalanan kerumah gantung. Satu kantong besar yang berisikan boneka-boneka, kertas gambar, koran, dan bingkai foto masih tetap terikat didalamnya –kecuali boneka paling besar yang baru kumasukkan dari ranselku.

Mengikuti apa yang diucapkan Fendi, aku membawa satu pak lakban hitam dengan gunting dan tali-tali rafia untuk mengikat boneka-boneka agar tetap berada dirumah gantung. Aku juga membuat sebuah tulisan 'BERBAHAYA' yang kutulis dikertas A3 yang rencananya akan kupasang didepan pintu rumah.

Perjalanan lebih dari setengah jam dan kami mulai memasuki areal dengan rumah-rumah kosong yang menandakan kami sudah dekat dengan rumah gantung. Jalanan sangat sepi dengan pemandangan rumah-rumah yang berantakan, kumuh dengan rerimbunan semak belukar menjalar didinding-dindingnya. Suasana yang makin gelap membuat suasana makin menyeramkan dengan lanskap langit mulai kemerahan. Suara serangga-serangga mulai terdengar, meskipun masih ada lebih dari satu jam lagi bagi matahari untuk bisa terbenam sempurna.

Suara serangga-serangga itu nyaris menjadi musik yang pas melengkapi seramnya rumah-rumah disamping kiri-kanan jalan. Aku terus mengamati samapi akhirnya mataku tidak sengaja menoleh kearah spion didepanku. Aku mengeryitkan dahiku sejenak, sambil mengamati baik-baik sampai kusadari ada sosok lain yang sedang duduk dikursi kemudi. Aku langsung menoleh kebelakang. Mataku terus melotot kesemua sudut kursi dengan deru napas yang cukup cepat. Tidak ada apapun kecuali satu paket barang-barangku yang masih ‘duduk’ tenang diatasnya. Aku langsung beralih lagi memandang kaca spion dan tak ada apapun disana.

“hey, hey… ada apa?” tanya Dion heran

“aku melihat sosok hitam itu disini” jawabku lirih

“dimana?”

“dibelakang”

Terlihat dion langsung menengok ke spion tengah.

“tidak ada apa-apa, mungkin kamu terlalu capek, sudah kubilang tadi agar istirahat dulu. Besok kan masih ada waktu” ucap Dion

“tidak, aku tidak mau lagi menunda demi keselamatan kita” kataku

Aku mulai mengatur napas dan mencoba tenang. Kini aku mulai terbayang lagi dengan ekspresi Fendi yang melihat sosok itu didepannya. Dia langsung histeris dan ketakutan. Dan itu kini bisa kurasakan meskipun saat ini aku masih bisa mengontrol emosiku.

“boleh kunyalakan radio?” ucapku

“ya, putar saja” sahut Dion

Aku memutar tuner radio dan mencari saluran musik. Tapi tak ada saluran yang tertangkap diarea ini, karena hanya terdengar gemerisik sinyal jelek yang muncul di audio.

“hey, lagu tadi enak, jangan dipindah” sahut Dion

“lagu yang mana?” tanyaku heran “tidak ada sinyal radio disini” sambungku

“hahaha, kamu bicara apa sih. Ini kamu malah memutar siaran berita”

“benarkah? Tapi aku tidak mendengar apapun”

“ayo sudahlah jangan bergurau” seru Dion

Aku langsung mematikan radio dan duduk tenang dikursiku. Meskipun kali ini hatiku benar-benar menjadi tidak tenang.

“hey, apa yang sebenarnya terjadi?” Dion menatapku sebentar “ada sesuatu yang aneh? Ceritakan saja”

“apa kita kerumah gantung jam segini berbahaya?” aku bertanya pelan

“lho, katanya ingin secepatnya”

“tapi tiba-tiba aku memliki firasat yang buruk”

Suasana mobil menjadi hening , “jadi, kita kembali saja?” sahut Dion lirih

Aku terdiam, memandang keluar mobil dan menyaksikan bayang-bayang rumah tua yang semakin melebar seiring dengan suasana yang semakin gelap. Aku menganggukkan kepalaku pelan dan ketika kepalaku hendak menoleh kearah Dion, tak sengaja mataku terpaku lagi pada sebuah siluet aneh yang terbias didepan spion. Terlihat boneka besar berada diluar kantong, duduk dengan senyumnya yang kemerahan. Matanya seakan menatap kearahku melalui kaca spion dan kusadari sebuah tali rafia tengah melingkar dilehernya.

Aku langsung beranjak dan menoleh kebelakang dengan napas yang kembali menderu. Tak ada apapun. Tanganku meraih kantong plastik dan merabanya. Kulihat boneka itu masih ada didalamnya, bergumul dengan boneka-boneka yang lain.

“ada apa lagi?” tanya Dion heran

“aku melihatnya” aku menoleh kearah Dion

Bisikan-bisikan halus mulai samar terdengar dikepalaku. Aku memasang telingaku dengan jelas dan kusadari suara berasal dari depan mobil. Dan benar, aku melihat sosok itu berdiri ditengah jalan tak jauh didepan kami, dengan wajahnya yang menyeramkan menyeringai kearahku.

“awas….” Aku berteriak dan tanganku spontan memutar kemudi yang dipegang Dion

Mobil berbelok tajam kekiri dan kurasakan roda melaju tak terkendali kearah rerimbunan semak-semak. Dion berteriak kencang sementara aku yang panik langsung mencari pegangan karena kini kurasakan mobil mulai berguncang hebat. Semuanya terjadi bergitu cepat sampai kurasakan tumbukan yang hebat membuat tubuh kami terdorong dengan keras dan semuanya menjadi gelap.

****************

Entah sampai berapa lama aku pingsan, aku terbangun dengan sakit yang hebat dikepalaku.Bau asap berbaur dengan bau rerumputan liar beradu dihidungku. Suasana sudah gelap, kecuali lampu mobil yang terus menyala memantulkan sebagian sinarnya kedalam kursi kemudi. Aku mengerang kesakitan. Kurasakan darah menetes dari atas dahiku, bibirku penuh dengan luka, dan mataku terus berkunang-kunang.

“Dion” aku memanggil lirih Dion yang tertelungkup disampingku. Suaraku hampir tak terdengar karena serak yang mulai hinggap dikerongkonganku. Aku memandang lemas ke arah Dion yang tertunduk tak berdaya diatas kemudi, tubuhnya juga masih terikat dalam tali pengaman. “Dion” aku mengguncang-guncang tubuhnya.

Srrrkkkk….sssrrkkk……

Sebuah suara statis mengejutkanku. Suara gelombang yang tertangkap radio didepanku.

“Dion” aku tak mempedulikan suara Radio. Aku terus mengguncang tubuh Dion, sementara tanganku yang lain berusaha melepas sabuk pengamanku yang mengikat erat dan melilit tubuhku.

Aku terus mengguncang-guncang tubuh Dion. Suara statis semakin menghilang dan kini berubah saluran yang mulai kudengar seperti saluran siaran berita.

“Tolong….” aku berteriak sambil memandang sekitarku yang gelap “Tolong…” aku mengulangi teriakanku

Aku terus mengguncang-guncang tubuh Dion sambil berteriak sampai siaran radio didepanku kini mengambil semua tenaga dan perhatianku. Siaran itu seolah lebih menakutkan dari semua suara-suara yang dari tadi kudengar. Aku berhenti menguncang-guncang tubuh Dion. Aku diam terpaku dan mulai membenturkan kepalaku kebelakang ke sandaran kursiku berulang-ulang. Emosiku kini memuncak menyadari tak ada kesempatan lagi bagiku untuk selamat. Mataku terus berkaca-kaca dan kurasakan asap makin mengepul didepan mesin. Suara serangga makin nyaring terdengar meskipun dikepalaku hanya ada suara yang terus bergema berulang-ulang. Sebuah pernyataan dari pembawa berita terus mengiang-ngiang ditelingaku.

“aku akan mati seperti Fendi”

(bersambung)

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: