- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 13

0


"Emi sudah cerita ke ibu"

Aku hanya menunduk lemas, merasa bersalah.

"kamu istirahat saja dulu di rumah" sambung ibuku

"iya bu" ucapku lirih, aku mendongak kecil, memandang ayahku yang masih belum sadar didalam ruangan. Beberapa jam lalu, ayahku harus dioperasi untuk menjahit luka akibat tusukanku. Beberapa bagian ususnya robek, dan hampir saja mengenai ginjalnya. Sebuah infus menancap dilengannya dan dia harus bernafas melalui tabung oksigen yang diletakkan disamping ranjangnya. Sementara Emi terlihat tertidur dengan posisi duduk, disamping ranjangnya.

"pulang saja dulu, biar ibu dan adikmu yang jaga disini" ucap ibu menepuk bahuku

==============

Perjalanan dari rumah sakit adalah ibarat perjalanan narapidana. Beberapa tetanggaku mulai mendengar kabar-kabar yang kurang baik tentang diriku. Beberapa dari mereka memandangku seolah pembunuh, bahkan beberapa kali aku mendengar samar-samar mereka mengataiku gila. Entah benar apa tidak, perkataan mereka terus membekas dipikiranku. Apa benar aku gila? Aku akan menjadi seperti Fendi? Tidak, aku tidak akan gila.

Sampai di rumah, aku langsung mengunci pintu. Kusandarkan tubuhku dibalik pintu, dan aku terduduk dibawahnya. Aku menghela napas panjang, mengingat apa yang kualami beberapa jam lalu. Aku menusuk ayahku, ibuku berteriak, Emi yang terbangun dan langsung histeris. Selanjutnya, ibu mendekatiku, menampar wajahku. Aku dimarahi habis-habisan sebelum Emi menjelaskan apa yang kualami dengan Roy, Mia dan rumah gantung. Satu jam kemudian, rumahku ramai dengan kerumunan orang dan ambulance. Ibuku tak melaporkanku ke polisi - aku bersyukur untuk hal itu. Mungkin keputusan ibu untuk menyuruhku di rumah adalah ide yang paling baik. Aku telah melukai ayahku, dan hampir melukai Emi. Aku tidak ingin ada yang terluka lagi karenaku. Tidak, bukan karenaku, tapi karena sosok hitam itu. Aku harus menyingkirkannya dari pikiranku, sebelum aku benar-benar dianggap gila.

Aku langsung bangkit dari lamunanku, merogoh ponsel disakuku lalu mengetik sebuah pesan didalamnya.

================

Tok....tok.....tok.....

"hai....."

"Siska?" kataku heran, "kau mengajak Siska?" sambungku

"iya maaf, tadi kebetulan aku bersamanya" jawab Dion tertawa kecil

"tidak masalah kan?" ucap Siska

"tidak... ayo masuk saja"

Mereka berdua masuk dan langsung duduk berdampingan diatas sofa ruang tamu. Sementara aku masuk kekamarku, mengambil beberapa lembar kertas yang tertata rapi diatas meja, lalu kembali lagi menemui Dion dan Siska.

"aku menemukan ini di internet" kataku sambil memeberikan kertas-kertas yang kubawa ke Dion

Dion memebetulkan sedikit kacamatanya dan mulai membaca, sementara Siska ikut membaca dari sampingnya.

"ini kasus-kasus yang ada di rumah gantung?" tanya Dion

"ya, semuanya lengkap" kataku

"tunggu, disini terungkap kalau Hani seolah mengalami depresi dan bunuh diri. Fendi bahkan dianggap gila sampai tega membunuh orang tuanya. Dan yang sama dari mereka berdua adalah mereka sama-sama menemukan mayat di rumah gantung" ucap Dion menjelaskan, tatapan matanya tetap mengarah pada kertas bacaan ditangannya.

"jadi yang kau lakukan pada ayahmu?" tanya Siska lirih

"baiklah, ada sesuatu yang aneh setelah aku menemukan Roy" aku menjelaskan "kalian ingat dengan sosok hitam menyeramkan yang kuceritakan kapan hari?" sambungku

"ya, kami masih ingat" jawab Siska, disambung anggukan kecil dari Dion

"sepertinya dia mengikutiku, dirumah ini" ucapku

Dion dan Siska saling berpandangan, "dia ada disini?" sahut Siska

"sepertinya begitu" jawabku ,"sosok itu seolah menjelma menjadi apa saja. Aku hampir saja membunuh ayahku karena sosok itu" sambungku lemas

"mungkin kamu kurang istirahat" sahut Dion

"tidak, sosok itu seolah terus memburuku. Dia ingin aku seperti Hani dan Fendi"

Dion dan Siska terdiam, "ibumu tahu?" sahut Siska

Aku menggeleng "justru aku sekarang dianggapnya trauma karena kejadian Roy dan Mia" ucapku

"lalu, apa yang bisa kubantu?" tanya Dion

"kamu paling suka dengan sesuatu yang berhubungan dengan misteri dan detektif bukan?" tanyaku

"ya, ya. Lalu? Kamu ingin menjadikanku pemburu hantu dirumahmu?" celetuk Dion, disambung dengan tawa kecil tertahan dari Siska

"tidak, aku ingin mengajakmu besok pagi menelusuri rumah gantung"

Dion dan Siska langsung berpandangan satu sama lain.

"kenapa kamu ingin kesana lagi?" tanya Dion

"sepertinya ada rahasia lain yang aku lewatkan yang tidak kuketahui disana"

"kenapa kamu yakin ada rahasia lain? bukankah mayat Roy sudah ditemukan?" sahut Siska

"ya, masuk lagi ke TKP kurasa ide yang buruk, kami khawatir itu malah membuatmu makin depresi" sambung Dion

"tidak...aku yakin ada rahasia yang aku lewatkan. Roy sendiri yang memeberitahuku" ucapku lirih

"Roy? kau bertemu dengan hantu Roy?" ucap Siska

"tidak, aku tadi baru ingat kalau dia pernah masuk ke mimpiku, sehari setelah pemakamannya. Dia memberitahuku untuk mengingat rahasia di rumah itu, agar aku bisa selamat" kataku meyakinkan "dia sepertinya tahu kalau aku dalam bahaya" sambungku

Siska dan Dion terdiam, seolah ada yang dipikirkan.

"oke, besok pagi aku akan menjemputmu" ucap Dion lirih

"aku ikut, boleh?" sahut Siska

"boleh, tapi ingat... harus hati-hati, aku tidak ingin ada tragedi lagi dirumah itu" kataku

Dion dan Siska mengangguk mantap. Dion meletakkan kertas dari tangannya diatas meja, dan aku langsung mengambil kertas itu. Mengamati sejenak sebuah artikel berita yang cukup panjang. Sebuah foto manis tercetak ditengahnya, foto remaja laki-laki dan perempuan yang digabung dalam satu foto. Mereka berdua tersenyum seolah mereka masih hidup. Tapi tak ada yang menyangka, kalau mereka justru mati diusia muda. Roy dan Mia. Roy, kau memang penyelenggara taruhan yang paling baik yang pernah kumainkan. Aku masih belum bisa menemukan rahasia di rumah itu. Kau menang lagi.

(bersambung)

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: