- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 20

0

Aku berdiri didepan rumah sakit, memandang kearah jalanan sambil sesekali melirik jam tanganku yang mulai berdetak melebihi angka sepuluh. Tak lama, sebuah mobil sedan milik Dion berhenti tepat didepanku berdiri. Aku langsung membuka pintu depan dan duduk disamping Dion yang sudah siap didepan kemudi.

“Siska?” aku terkejut melihat Siska yang duduk dikursi belakang

“hehe… maaf aku ingin ikut” rayu Siska

“iya tidak apa-apa. Sudah sembuh?” tanyaku

“sudah lumayan, aku janji tidak akan merepotkan lagi”

“baiklah, aku pegang janjimu” aku tertawa sambil menaruh ranselku disamping Siska

“o iya, kemarin katanya ada yang mau kau bicarakan?” sahut Dion

“tidak, nanti saja”

“tunggu, bagaimana kita bisa menemuinya?” ucap Dion memandang ke Siska

“Fendi? Tenang saja, Edy sudah mengurusnya” ujar Siska

“Edy?” sahutku

“dia punya kenalan teman baik disana”

“kau menceritakannya kepada Edy?” kataku

“hehe, maaf. Kemarin aku dikasih tahu alamatnya dari ayah, ternyata aku baru ingat kalau Edy pernah cerita berkunjung ke tempat kerja temannya ,yang kebetulan disitu juga. Ya sudah langsung kuhubungi dia, sekalian minta bantuan” ucap Siska lirih

“jadi Edy menunggu disana?” tanya Dion sambil menyalakan mobil

“ah, tidak. Dia ada urusan sendiri, kita akan bersama temannya” jawab Siska

Selanjutnya, mobil bergerak dan kami langsung bergegas menuju alamat yang dimaksud. Tujuan kami adalah sebuah rumah sakit jiwa yang sebenarnya tidak terlalu jauh dengan rumah sakit tempat ayahku menginap. Rumah sakit jiwa yang tidak terlalu besar karena hanya berukuran luas beberapa hektar saja yang itupun dikelola oleh swasta. Sesampainya disana, kami langsung memarkirkan mobil ditempat yang tersedia dan langsung bergegas masuk kedalamnya.

Benar saja, seorang petugas langsung mengenali kami dan beruntung kami hanya disuruh melaporkan kunjungan kami saja. Petugas itu menjelaskan bahwa dia teman baik Edy –begitu juga dengan kami. Setelah melapor pada petugas yang ada, kami langsung diantar menuju kedalam rumah sakit. Ya, kesan pertama masuk rumah sakit jiwa, rumah sakit dengan penghuni orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaannya. Disini semua terlihat aneh, lucu, dan bahkan bisa sangat menegangkan. Baru masuk saja, kami disambut oleh seorang tukang sapu yang terus melihat kami dengan tatapannya yang tajam. Kami hampir terganggu olehnya sampai petugas memberitahu kami bahwa dia merupakan salah satu pasien disini.

“pakaian atau celana mereka berwarna biru. Mereka bisa memakai salah satu dari keduanya. Itu ciri khasnya agar kalian bisa membedakan. Tak ada petugas seperti kami yang memakai pakaian seperti itu” seru petugas menjelaskan

Selanjutnya, kami melewati sebuah ruangan yang didalamnya penuh dengan ranjang-ranjang tanpa sekat yang berisikan beberapa orang yang sedang asyik berjoget, tertawa sendiri dan telihat pula seorang pasien yang sedang diperiksa kondisi mentalnya oleh dokter. Beberapa bahkan ada yang terlihat seperti larut dalam kesedihan sambil menunjukkan wajah ketakutannya.

Setelah melewati ruangan itu, kami berjalan melewati sebuah area seperti taman kecil yang dihuni pasien-pasien yang sedang asyik melakukan kegiatan rutinitas. Tapi ada sebagian pasien yang hanya bersantai, atau bermain peran dengan baju seperti tukang parkir, tukang kebun, dan sebagainya.

Setelah melewati taman, barulah petugas berhenti dan menujuk sebuah ruangan dengan pintu tertutup yang berjarak dua kamar dari kami berdiri.

“kalian bisa masuk, tapi ingat jangan sampai membuatnya kambuh lagi” ujar petugas lalu meniggalkan kami

“iya pak” sahut kami bertiga hampir bersamaan

Drrrttt….drrrrttt….

“telepon dari ayah, kalian masuk saja dulu” ucap Siska sambil menunjukkan layar ponselnya didepan kami

“oke” sahutku. Aku dan Dion langsung masuk kedalam ruangan. Ruangan yang hanya seukuran kamar tidur dan disana terbaring seorang pria yang memakai baju biru lengkap beserta celananya. Belum sempat kami berbicara memanggilnya, pria tersebut langsung bangkit dan sepertinya menyadari kehadiran kami.

“siapa kalian?” ucapnya

“Mas Fendi?” tanya Dion gugup

“ya, ada urusan apa? Aku tidak mau diwawancarai lagi” seru pria itu

Kami mengamati sejenak sosok Fendi didepan kami. Fendi dengan sejuta masalah yang bisa dilihat dari ratu wajahnya yang terlihat lemah, dengan pipi yang kopong, matanya sayu dengan cekungan dimasing-masing kelopaknya, rambutnya beruban, bibirnya kering dan beberapa gurat keriput yang mulai terlihat menempel disetiap bagian kulit mukanya. Tubuhnya kurus dengan postur tubuh yang lebih tinggi dariku. Dilihat dari kondisi fisiknya terlihat jauh lebih tua meskipun yang kubaca dari internet bisa kuperkirakan dia berumur tidak sampai tiga puluh tahun atau sekitar lima sampai enam tahun lebih tua dariku. Tapi dari tatapan mata dan ucapannya dia terlihat waras sama seperti kami, hanya saja dia sekarang berada di rumah sakit ini jadi terlihat seperti orang yang sedang sakit.

“sebenarnya kami minta bantuan Mas Fendi sebentar” ucapku lirih dan sedikit gugup

“bantuan apa? Kenapa kalian meminta bantuan kepada orang gila?” Fendi mulai berdiri

“kami ingin tahu apa yang Mas Fendi ketahui tentang rumah gantung” tanyaku

Fendi hanya tertawa, “ternyata kalian sama saja seperti mahasiswa-mahasiswa atau polisi diluar sana” ucap Fendi sambil mulai berbaring lagi “sudah kalian pergi saja” sambungnya

Aku dan Dion saling berpandangan heran. Aku sedikit geram dan langsung kubuka ranselku dan mengeluarkan isi didalamnya. Sebuah boneka besar yang kubawa dari rumah gantung.Aku menghampiri Fendi ditempatnya berbaring dan langsung menunjukkan boneka itu didepannya.

“kau bisa menjelaskan ini?”

Dan kurasa berhasil, Fendi langsung melompat ketakutan dari ranjangnya.

“kenapa kau membawa benda itu?” teriak Fendi sambil menampis-nampiskan tangannya didepan boneka

Aku memasukkannya lagi kedalam ransel “maka dari itu, kami ingin cerita dari Mas Fendi, itu sangat membantu kami”

“tidak, buang benda itu dari sini” seru Fendi

“tidak apa-apa, kami hanya ingin penjelasan”

Fendi terdiam sejenak, tapi dari tatapan matanya terlihat dia sangat gugup setelah melihat boneka tadi.

“apa yang kalian cari disana?” ucap Fendi

“aku memiliki kisah yang sama seperti Mas Fendi” kataku

Fendi mulai tenang, dan kini dia mendekatiku “ada korban lagi?” tanya Fendi

Aku mengangguk “ya, teman baikku. Aku juga yang menemukan mayatnya”

“ada korban lagi, ada korban lagi” ucap Fendi lirih dan dia berbicara sendiri “seharusnya aku menaruh peringatan itu ditempat yang mudah dilihat orang” sambungnya

“peringatan?” tanyaku

“kalau kau pernah masuk kerumah itu, kau pasti tidak asing dengan ruangan paling belakang” ujar Fendi

Aku mengangguk “ya, ruang dengan barang-barang bekas yang tertumpuk”

“ya, aku menaruh setumpuk koran disana. Koran-koran tentang semua kasus dirumah gantung. Aku menaruhnya agar orang-orang yang masuk kerumah itu bisa membacanya dan segera keluar dari tempat itu” kata Fendi dengan tatapan kosong melihat kebawah

“Mas Fendi yang menaruh koran-koran itu?” tanyaku

Fendi hanya terdiam dengan tatapan kosongnya. Tak lama, dia mulai berbisik lirih “kalian harus tahu yang sebenarnya”

Aku dan Dion terdiam. Aku mulai mendekati Fendi dan duduk diatas ranjang disebelahnya “Mas Fendi bisa ceritakan?” tanyaku lirih

Fendi mulai menatapku dengan tatapan yang serius “akan kuceritakan, tapi ingatlah, kamu akan tinggal disini bersamaku” ucapnya

“aku hanya ingin cerita dari Mas Fendi” aku tak mempedulikan ancaman Fendi

Fendi mulai tenang “aku menemukan mayatnya, dan semuanya berubah malapetaka” ucapnya lirih.

Selanjutnya, dia mulai bercerita tentang kejadiannya di rumah gantung. Meskipun kata-katanya terputus-putus saat menjelaskan kepadaku, tapi aku bisa menangkap kejadian-kejadian yang dialaminya. Semuanya cukup mengejutkan karena banyak fakta-fakta yang baru kuketahui.
 Semuanya berawal setelah dia menemukan saudaranya dirumah gantung, dia mengalami teror dari boneka dan sosok hitam seperti yang kualami. Selanjutnya, dia mulai mencari informasi-informasi dan menelusuri misteri seperti yang kulakukan. Dan yan aku kagum dari Fendi adalah dia sudah melangkah jauh dariku. Dia berhasil menemukan salah seorang tetangga yang dulu pernah berdampingan dengan Mr. Robert. Dia adalah sosok orang tua yang masa kecilnya adalah teman dari anak-anaknya Robert. Sebuah fakta yang mengejutkan karena Mr. Robert gantung diri diruang bawah tanah di rumahnya. Dia gantung diri setelah terjebak oleh amuk masa dari masyarakat yang mulai mengetahui kelakuan Mr. Robert dan ilmu hitamnya. Tapi, setelah kematiannya konon arwah Mr.Robert menghantui para masyarakat dalam wujud sosok hitam yang menyeramkan. Hingga suatu hari para tetangganya mulai mengunci pintu yang ada diruang bawah tanah karena mereka semua yakin bahwa sumber ilmu hitam adalah dari ruang tersebut. Tapi semua itu tetap tidak mengatasi masalah karena teror makin menjadi yang mengakibatkan semua tetangganya pindah ketempat lain dan kini areal rumah gantung mulai ditinggalkan penghuninya.

Fakta lain, Fendi lah yang memasang lakban pada langit-langit dirumah gantung. Hal itu bermula di hari keempat dia diteror oleh boneka-boneka rumah gantung.

“kenapa kau melakban dua kamar itu?” tanyaku

“aku ingin mengunci boneka itu, aku menutup semua lubang dan pintu agar dia tidak bisa keluar” jawabnya

Sebuah jawaban yang tak masuk akal bagiku, karena yang kutahu boneka itu bahkan bisa masuk ke sebuah ruangan yang terkunci sekalipun.

“kenapa harus dua ruangan itu?”

“satu ruangan itu terdapat boneka besar, sedang ruangan satunya adalah tempat boneka-boneka yang lebih kecil. ” ucap Fendi lirih

“tapi aku melihat boneka-boneka itu terkumpul disatu ruangan”

Fendi melotot kearahku “berarti boneka-boneka itu lebih pandai dariku” ucapnya dengan nada yang semakin keras dan sedikit tertawa

Aku terdiam “jadi kau juga yang memasang tali-tali itu diatas kamar?” tanyaku

“ya…ya…. tidak ada yang mengusik tali-tali itu kan?”seru Fendi

“aku menariknya hingga putus” jawabku lirih

“kenapa kau putus? Itu semua kupasang agar semua orang bisa tahu sejarah menakutkan rumah itu dan segera keluar dari sana”ucap Fendi setengah marah

“kapan kau memasangnya? Bukankah Mas Fendi mengunci pintu-pintu dan langit-langit ruangan itu?”

Fendi mulai tenang kembali “aku tahu usahaku sia-sia. Setelah aku mengunci semua pintu dan melakban atapnya, ternyata boneka-boneka dan sosok itu terus mengejarku” Fendi menatapku tajam “aku kembali kesana, dan hari itu juga aku memasang tali-tali dan koran ditempatnya. Dan pada hari itu juga….” Fendi mulai terlihat sedih

Aku terheran dan sesekali menatap kearah Dion yang dengan seksama mendengarkan pembicaraan kami berdua.

“hari itu, aku membunuh orang tuaku” ucapnya lirih

Aku bernapas panjang, dan menghembuskannya pelan “aku tahu kau tidak membunuhnya. Aku juga hampir membunuh ayahku setelah kukira dia sosok hitam yang mengejarku”

Fendi mulai berkaca-kaca “aku juga, tapi polisi-polisi itu tidak mempercayaiku” Fendi mulai panik “kau harus hati-hati”

Fendi mulai mengambil sebuah botol kecil diatas meja disamping ranjangnya “obat-obatan ini berguna bagimu, kau bisa melupakan sosok itu dengan cepat” Fendi menyerahkan beberapa butir obat ketanganku

“apa ini?” tanyaku

“halusinogen, obat untuk halusinasi. Ya, semacam obat penenang” sahut Dion tiba-tiba

“tidak, aku tidak mau minum obat-obat ini” sahutku. Dalam hati aku benar-benar tidak ingin meminum obat-obat itu atau aku akan dianggap gila juga.

Terlihat raut muka kecewa dari wajah Fendi dan dia menaruh kembali botol obat itu pada tempatnya.

“tapi, setelah aku disini, aku mulai mendapatkan sebuah petunjuk baru” bisik Fendi didepanku

“petunjuk baru?” tanyaku lirih

“petunjuk yang bisa menyelamatkanmu. Sebuah petunjuk yang hanya diketahui oleh orang yang tahu sejarah awal rumah gantung” sambung Fendi mendekatkan mulutnya ketelingaku

“hei, maaf menungu lama” potong Siska yang tiba-tiba masuk kedalam ruangan

Kami bertiga langsung menoleh kearah Siska. Aku dan Dion terlihat antusias dengan kehadiran Siska, tapi tidak dengan Fendi. Fendi langsung bengkit dan panik. Dia berteriak kearah Siska sambil berlindung dibelakangku.

“kenapa kalian membawa sosok itu kemari?” teriak Fendi

“sosok apa?” tanyaku ikut panik

“sosok hitam itu, kalian mengundangnya kemari” seru Fendi menunjuk kearah Siska

“tidak, dia teman kami. Siska” aku menyahut

Siska telihat ketakutan dan kebingungan

“tidak, pergi dari sini, pergi” Fendi mulai melemparkan semua barang-barang didekatnya kearah Dion dan Siska. Mereka berdua langsung berlari keluar ruangan dan selanjutnya beberapa petugas dan dokter mulai berdatangan mengamankan Fendi yang histeris ketakutan. Dokter yang kewalahan terpaksa menyuntiknya dengan penenang sampai obat itu benar-benar membuat Fendi tertidur pulas diranjangnya. Dengan sedikit gugup, aku bergerak perlahan keluar kamar dan sesekali aku menengok lagi kearah petugas dan dokter yang mengamankan Fendi. Salah seorang petugas menatapku dengan tajam seolah aku telah melanggar kesepakatannya untuk tidak membuat Fendi kambuh lagi.

(Bersambung)

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: