- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 15

0

Aku membuka pintu penumpang, dan membukanya lebar.

“disini?” kataku sedikit teriak

“ya, aku hanya sekilas seperti melihatnya” ucap Dion “sudahlah, mungkin hanya pikiranku saja” sambungnya

Aku tak memperdulikan perkataan Dion. Tanpa aba-aba aku langsung masuk ke kursi penumpang. Memeriksa baik-baik setiap sudut dan celah didalamnya, bahkan aku juga memeriksa kursi kemudi. Tak ada apapun, kecuali sepasang sepatu olahraga milik Dion yang berada dibawah sela-sela kursi. Sementara diatas kursi penumpang hanya ada sebotol air mineral ukuran sedang yang disandarkan disamping tas kecil milik Siska. Aku langsung meraih air mineral, lalu beranjak keluar dari mobil.

“sudah kau temukan?” ucap Siska

Aku menutup kembali pintunya sambil menggelengkan kepala ke arah Siska.

“ayo kita lanjutkan” seruku sambil mulai meneguk air dari botol

Kami bertiga kembali berjalan ke rumah gantung. Kini matahari mulai merambat naik, membuat suasana pekarangan sedikit terik.Ditambah tanpa adanya pepohonan, sesekali kami harus menyipitkan mata dan menempelkan ujung telapak tangan diatas dahi saat memandang lurus kedepan.

“aku akan menangkap boneka itu, jika aku melihatnya lagi” ucap Dion dibelakangku

“pastikan kau tidak mengalihkan pandangan darinya” sahutku “boneka itu bahkan bisa berpindah tempat dalam sekejap” sambungku

“akan aku usahakan” ucap Dion “boleh minta airnya?” sambungnya sambil tertawa kecil

“nih” aku berhenti sejenak menyerahkan botol ke tangan Dion. Dion langsung meminumnya, lalu memasukkan botol air yang tinggal setengah kedalam kantong plastik, bersama dua boneka seram didalamnya.

Kami berjalan memasuki rumah dan kali ini kami masuk ke ruang satunya. Ruangan ini juga sama gelapnya dengan ruang bertali, dan sama-sama memiliki jendela yang dipaku dari luar. Tanpa pikir panjang aku segera berjalan mendekati jendela, dan dalam sekejap aku meremukkan kayu-kayu yang menutup jendela seperti yang dilakukan Dion. Seketika cahaya matahari langsung menyinari semua sudut ruangan. Hal yang sama lainnya, atap ruangan ini juga dilapisi dengan lakban yang cukup tebal.

“astaga” sahut Siska

Ya, aku mengerti apa yang dimaskud Siska. Dari luar, kau bisa melihat kalau ruangan ini hanya terdapat ranjang kosong yang sudah lapuk. Ranjang kayu bergurat coklat kehitaman yang dipenuhi sarang halus laba-laba. Dua kaki kayunya sudah remuk, membuatnya roboh kesamping. Beberapa bagian ranjang bahkan seolah telah menjadi serbuk kayu karena dimakan usia. Tapi ranjang ini benar-benar tak menarik perhatian kami. Karena apa yang kami lihat seolah menjadi clue besar dari misteri yang kami cari. Sebuah benda kecil kotor yang tergantung disamping pintu, menghadap ke arah jendela. Posisinya lebih tinggi tiga puluh sentimeter dari kepala kami. Bentuknya kecil, jika dilihat sekilas dimensinya hanya seukuran ponsel layar empat inci. Walaupun begitu, benda itu tetap saja memiliki makna yang besar didepan kami.

“bingkai foto? Bagaimana bisa?” ucapku lirih

Kami bertiga segera mendekatinya. Beberapa saat kami saling berpandangan satu sama lain, menunggu sebuah aba-aba untuk memeriksanya. Siska langsung mengambil foto itu dari dinding. Foto dengan bingkai plastik hitam yang sangat kotor, berdebu dan berkerak pada lapisan kaca depannya. Siska meniup lapisan kaca dengan keras, menyebarkan serbuk-serbuk debu halus didepan wajahku dan Dion.

“hmppphmmh” Dion dan Siska mengibaskan tangan didepan wajahnya disertai batuk kecil. Sementara aku hanya menutup hidung dan mulutku dengan kerah bajuku.

Butuh beberapa kibasan tangan untuk menghilangkan debu-debu dari wajah kami. Siska mencoba menggosok-gosok lapisan kaca yang sudah berwarna kecoklatan.

“tidak bisa, apa aku harus memecahnya?” ucap Siska

“tunggu…” Dion merebut bingkai dari tangan Siska, mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam kantong plastik dan menuangkannya sedikit keatas kaca. Lalu dia mengambil sebuah sapu tangan kecil dari dalam saku celananya, lalu menggosokkannya pada lapisan kaca yang basah.

“sudah lumayan…masih bisa dilihat sedikit daripada memecahkannya”seru Dion “dipecahkan juga percuma, malah akan merusak foto. Foto ini terlalu lama didalam bingkai, yang kulihat disini foto ini bahkan menempel pada lapisan kaca didalamnya. Dan juga bingkai ini tidak bisa dibuka karena saking lamanya” sambungnya sambil menarik-narik lapisan belakang bingkai foto

“ya, dibuka pasti akan membuat fotonya robek” sahutku

“hey… ini foto keluarga” gumam Siska

“benarkah?” sahutku

“sebentar, kita ke ruang utama, lebih banyak cahaya disana” ujar Dion sambil membetulkan kacamatanya

Kami bertiga berjalan keruang utama dan mengamati baik-baik gambar yang ada didalam foto. Benar, ini adalah foto keluarga. Foto hitam putih yang memotret seorang pria kurus dengan baju jas hitam, bersanding dengan seorang perempuan cantik dengan gaun khas abad sembilan belas dengan hiasan bunga diatas kepalanya. Sementara dua anak perempuan kembar yang berdiri didepannya sangat cantik. Gaun keduanya sama, dengan riasan wajah yang terlihat sedikit berlebihan untuk anak berumur sekitar sepuluh tahunan. Kedua rambutnya berponi dan masing-masing memegang sebuah boneka ditangannya. Kami bertiga langsung berpandangan.

“keluarga Robert?” sahutku

“mungkin saja” jawab Siska

“tapi aku lebih tertarik dengan satu ini” ucap Dion sambil menunjuk objek didalam foto. Dua boneka yang sedang dibawa kedua anak perempuan
 Aku dan Siska menundukkan kepala, mengamati dengan seksama boneka didalam foto

“boneka ini….” Siska menoleh ke arah Dion

“ya” seru Dion sambil menenteng kantong plastiknya keatas “boneka ini milik anak-anak Robert” sambungnya

“lalu? Boneka besar itu….” Siska kini berbalik menoleh kearahku

“boneka yang Robert beli dari toko sihir?” sahutku

“kurasa benar” ujar Dion “biar kusimpan ini juga” sambungnya sambil memasukkan foto kedalam kantong plastik ditangannya

“baiklah, kita cari lagi boneka besar itu” sahutku

Siska hanya mengangguk, sementara Dion masih sibuk mengikat kantong plastiknya

“sekarang kita kebelakang” aku menarik tangan Dion dan Siska

“jangan pakai menarik tangan, aku bisa jalan sendiri tahu” gerutu Siska sambil melepaskan tangannya dari ganggamanku

Aku hanya tertawa, sementara Dion juga terlihat sedikit kesal yang akhirnya membuatku melepas tangannya juga.

“maaf, terlalu bersemangat” ucapku sambil tertawa lirih

Selanjutnya, kami memasuki ruangan yang cukup ‘bersejarah’ bagiku. Ruangan penuh barang rongsokan, semuanya tertumpuk tak beraturan dalam ruangan yang cukup luas, menyisakan sebuah jalan sempit ditengah ruangan. Beruntung, atap disini juga penuh lubang, meskipun hanya lubang-lubang kecil tapi masih bisa membuat cahaya matahari bisa menyinari sebagian ruangan. Kulihat beberapa barang seperti alat-alat memasak, peleg-peleg roda dan sebagian barang elektronik mengalami karat yang bisa aku umpamakan karat stadium akhir. Barang-barang yang sudah terkurung sangat lama, ditambah debu dan lubang-lubang diatapnya, membuat air hujan dengan mudah meresap masuk kedalam ruanngan -mempercepat proses pengkaratan. Sementara lantai juga sedikit lembab dengan banyaknya noda bekas genangan air yang lama mengering dan kini tertutup debu-debu tipis musim kemarau. Sementara Dion dan Siska memusatkan perhatian mereka pada barang-barang yang tersebar diruangan, mataku tetap fokus melihat jalur lurus didepanku. Pandanganku mengarah ke sebuah pintu beberapa meter didepanku. Pintu itu tetap terbuka, dengan beberapa paku payung masih tersebar disekitar bekas hitam diatas lantai. Bekas noda-noda oli bercampur dengan noda-noda darah dari seseorang yang pernah meregang nyawa diruangan ini.

(bersambung)

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: