- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

IBLIS DARI MANNYVILLE

0

Kabut turun menyelimuti jalanan Mannyville. Jam belum menunjukkan pukul sembilan malam, namun kota menampakkan kesunyiannya lebih awal. Jalan-jalan terlihat sepi, tak ada satu pun kendaraan berlalu-lalang di sekitarnya. Malam itu, hanya tampak seorang pria mabuk yang berjalan sendirian menyusuri pertokoan yang gelap. Jalannya tang tak lagi lurus, harus berusaha sekuat tenaga ketika berkali-kali hampir terjatuh dan terbentur dengan dinding ataupun tiang jalan. Sambil meracau tak jelas, pemabuk itu mulai berhenti. Matanya dibuka lebar-lebar dan mendengarkan dengan seksama. Ia menoleh ke samping, tepat di taman kota. Atau jauh dari kesan taman kota yang asri, karena taman itu sudah berbulan -bulan ditelantarkan, membuat rerumputan dan tanaman-tanaman tumbuh liar merambat di tiap patung-patung dan pepohonan. Di antara belasan lampu taman, hanya dua lampu saja yang masih menyala, itu pun sangat redup. Ditambah dengan kabut yang turun, menambah kesan gelap di dalamnya.
Pemabuk itu memasang telinganya baik-baik. Wajahnya berubah girang, pipinya memerah dan tersenyum liar. Seorang perempuan terdengar menangis lirih di balik kabut dan pepohonan taman. Pria itu berjalan bak kuda yang berpacu, meskipun tetap saja dia harus berusaha menjaga tubuhnya ketika terantuk batu-batu di balik rerumputan.
"jangan menangis...apa ada yang bisa aku bantu?" pemabuk itu menoleh di balik rumput dan pepohonan. Menyadari ada yang aneh, dia berhenti tepat dibalik patung air mancur yang sudah hancur. Matanya mendelik, mengamati sumber tangisan yang membuat mukanya merah berkali lipat. Suara itu berasal dari sebuah tape recorder, dan tergeletak begitu saja dibalik semak-semak.
"sialan! Ada yang mengerjaiku" pemabuk itu mendekati tape recorder dan bermaksud menendangnya, ketika tiba-tiba semak bergerak dengan cepat dan besi-besi tajam keluar dari dalam tanah, menghujam kaki kirinya. Belum sempat pemabuk itu berteriak, ketika sosok hitam langsung membungkam mulutnya dari belakang dan membuat tubuhnya terjatuh. Pemabuk itu mengerang, menyadari sebuah perangkap beruang telah meremukkan kakinya, dan kini ia meronta. Dilawannya sosok hitam itu, dan meskipun setengah sadar, ia tahu bahwa seorang berjubah dan  bertopeng kayu mencoba membunuhnya. Digenggamnya lengan sosok itu hingga sebagian terbuka, menyadari sebuah tato ular melingkar di pergelangan orang itu. Pemabuk itu terbelalak, dia mengenalinya. Namun belum sempat dia melawan lebih jauh, orang itu menggenggam lehernya dengan erat dan menimbulkan bunyi patah yang cukup nyaring. Pemabuk itu tewas.
**********
Pagi ini aku masih berjaga di sebuah toko sepatu. Ketika sebuah surat kabar mengabariku akan korban baru yang menghilang dari kota ini. Aku tidak peduli, karena berita itu sudah akrab ditelingaku. Setidaknya selama satu tahun ini dan semua orang menyebutnya kutukan Kabut Iblis Mannyville. Entah apa hubungannya dengan kabut, namun dari beberapa fakta menyebutkan korban baru muncul di saat malam berkabut menyelimuti Mannyville. Mungkin ada benarnya juga. Dan karena kabut itulah, keberadaan Mannyville ini seolah menjadi kutukan. Separuh dari warga kota sudah menghilang. Sebagian besar adalah orang-orang dewasa dan remaja, karena yang terjadi di sini kabut itu tidak sekalipun mengambil anak-anak. Sebagian besar fasilitas kota sudah kacau, dokter dan guru semakin berkurang, polisi yang hanya bisa dihitung dengan jari, tak ada pendatang yang berani menetap di kota ini, sementara orang-orang yang ingin sekali keluar dari kota, harus rela dikucilkan karena menganggap kota ini adalah kutukan dan orang-orangnya bisa menularkan kutukan itu kepada yang lain. Ya, aku menyadari kota ini begitu aneh ketika kabut tiba.
Seorang pelanggan setiaku datang. James. Dia seorang pria tua, kacamatanya direndahkan lebih dekat diatas hidungnya, menampakkan matanya yang menatapku dengan senyum manis yang mengembang di bibirnya. Aku membalas senyumnya, dan dia mendekatiku dengan membawa sebuah sepatu kulit berwarna coklat.
“ada korban baru, kau sudah tahu?”
James menyerahkan sepatu ke arahku
“ya, kurasa penduduk kota ini akan habis dalam waktu dekat” jawabku sambil memeriksa barcode harga sepatu
“7 dollar” aku menyerahkan sepatu ke James
James mengeluarkan uang dari dompetnya, “kurasa kematian tidak segan-segan memilih korbannya”
Aku tertegun.
“tidak seperti ayahmu yang mati terhormat”
“anda kenal ayahku?” aku kaget
“ya, aku mengenalnya. Dia teman seangkatanku saat masih di asrama” James tersenyum, kemudian dia meninggalkan tokoku.
Hari sudah larut ketika kusadari aku terbangun di meja kasir. Sial, pukul sepuluh malam, dan beruntung aku sudah mengunci tokoku empat jam yang lalu. Pulpen dan beberapa nota masih berserakan di sampingku, dan sepertinya aku tidak bisa menghitung keuntunganku hari ini. Aku memeriksa jalanan yang sepi. Sepi. Kata yang pertama terlintas di benakku. Kabut menyelimuti sebagian jalan dan atap-atap bangunan. Tidak, seharusnya kabut tidak turun malam ini.
Aku langsung bergerak, mengambil ransel besarku dan bergegas keluar dari toko. Aku bermaksud pulang ke rumah lebih cepat atau aku akan melewatkan sesuatu yang penting malam ini. Aku berjalan cepat setengah berlari, melewati trotoar yang sunyi. Aneh. Tidak, ini aneh. Aku mendengarnya. Tepat di sebuah lorong gelap, dibalik dua apartemen yang menjulang tinggi. Seekor anjing kecil terdengar melolong, meminta bantuan.
Aneh, tidak ada anjing yang pernah terlihat disini. Dan ini aneh. Lorong itu terlalu gelap, hening. Tapi rintihan anjing itu terdengar dengan jelas. Aku penasaran, kudekatkan tubuhku semakin dekat dengan lorong. Mau tak mau, aku memberanikan diri masuk kedalam lorong, semakin masuk dan sadar lorong itu sedikit berkabut. Jalan sempit yang kulewati tak kurang dari dua meter, hanya dihiasi pipa-pipa air kecil yang menempel di tiap dinding apartemen.
Aku berjalan semakin jauh, suara lolongan menyakitkan itu semakin jelas. Dan saat itulah aku menyadarinya. Sebuah tape recorder? Tidak mungkin, aku bergegas berbalik, ketika dengan cepat kurasakan sesuatu bergerak mendekati kepalaku dari belakang. Leherku terikat sebuah tali, yang oleh seseorang bertopeng tiba-tiba ditarik dari kejauhan dengan tumpu sebatang pipa besi di atasku. Aku mengerang, kaki-kakiku berusaha menggapai tanah. Namun usahaku sia-sia. Aku hampir kehabisan napas ketika orang itu tiba-tiba melepaskan talinya, dan membuatku jatuh di atas tanah.
*******
Aku terikat disebuah dapur yang temaram dengan lampu berwarna kuning. Bau busuk menyelimuti ruangan, anyir, dan sangat pengap. Mataku masih berkaca-kaca, mulutku tertutup rapat karena sumpalan kain yang erat masuk memenuhi rongga mulutku, ditambah dengan leherku yang masih terasa sakit karena tali kekang.
Di mana ini? Bagaimana bisa? Aku terus meronta, mencoba melepaskan ikatan di kaki dan tanganku.
“kau tidak bisa kabur dariku” pria bertopeng itu memasuki ruangan. Aku terbelalak, topeng kayu? Jubah hitam? Pisau? Ya, sebuah pisau ditangannya.
“kau adalah korban istimewaku, jadi biarkan aku memperkenalkan diri” pria bertopeng itu tertawa
Aku diam terpaku memandang pria didepanku. Keringat dingin mulai mengalir disekujur tubuhku ketika jariku sedikit demi sedikit mulai bisa melonggarkan ikatan di lenganku. Lepas! Lepas! Yap! Ikatan tanganku lepas.
“aku adalah Iblis Mannyville, atau orang biasa menyebutnya Kabut Iblis Mannyville” dia menendang dan mendorong tubuhku, pisau ditekan tepat di bawah daguku, “kau kira aku tidak tahu? Huh?”
Iblis itu mendorong tubuhku diatas tanah. Tubuhku di telungkupkan dengan pisau yang diacungkan di leherku, “melawan atau kurobek lehermu” Iblis itu mengancamku. Diambilnya tali yang tergeletak di lantai di bawahku, dan mulai mengikat lagi kedua lenganku. Sial!
“mencoba kabur lagi? Kau akan mati” Iblis itu mengikat terlalu erat lenganku, membuatku sedikit mengerang, “oow oww kau punya tato di pergelanganmu, hmmm... Tato ular. Kau tahu artinya ini, huh?” sambungnya
Aku mengerang.
“artinya kau akan mati dalam lilitanku malam ini” iblis itu tertawa
Aku menggeram dengan keras, mencoba meronta.
“oke, kubilang kau begitu istimewa, kenapa? Karena kaulah korban pertamaku. Hahaha, korban pertama? Ya, kulihat Iblis yang berkeliaran diluar sana, dia...” Iblis itu menaiki punggungku dan mendekatkan mulutnya ke telingaku, “dia benar-benar tidak becus menangani sebuah mayat” Iblis itu bangkit berdiri dan membiarkanku tidur tengkurap di atas lantai.
“aku melihatnya beberapa bulan lalu, ya itu pertama kali aku melihat sosok dari Kabut Iblis Mannyville. Aku melihatnya tepat di balik jendela kamarku, saat Iblis bertopeng itu memasang sebuah kotak yang kemudian kutahu itu sebuah perekam suara, dan memutar sebuah suara rintihan minta tolong seorang anak kecil dari dalamnya. Saat itu tepat ketika seorang remaja perempuan lewat gedung tua itu dan berusaha mencari asal suara, sampai dia tidak menyadari sebuah senar listrik menyambar tepat di lehernya dan itu membuatnya tewas seketika” iblis itu menekankan ceritanya, “Tapi bagian buruknya, dia tidak memanfaatkan hal itu dengan baik. Aku melihatnya, dan aku masih penasaran. Aku mengikuti iblis membawa mayat remaja malang itu, dan melihatnya dibakar hangus dan menimbunnya dalam sebuah gundukan tanah jauh didalam hutan. ” Iblis itu menunjuk luar dapur entah kemana. Nadanya sangat marah. Aku mendengarkan dengan seksama.
“aku masih penasaran, kutunggu lagi iblis itu. Aku mulai menggambar sketsanya, aku mulai mengidolakannya, selalu bertanya-tanya, siapa orang dibalik topeng itu? Ya, karena itulah aku terobsesi membuat topeng ini, jubah ini. Di saat itulah aku selalu berjaga tiap kabut datang. Dan tiap itu pula aku melihat ulah iblis itu, yang dengan lucunya orang-orang kota ini menganggap itu ulah iblis sungguhan” sambungnya tertawa keras, “tapi mau bagaimana? Apa yang bisa kuceritakan? Aku hanya orang terasing dikota ini. Dan sama denganmu, ya, aku tahu kau. Kau penjaga toko sepatu dua blok dari sini. Kau pasti sependapat denganku. Ayahmu mati karena orang-orang di sini. Aku masih ingat itu, tubuhnya yang dibakar ditengah kota, bersama ibu dan kakakmu ketika kau masih kecil. Hanya karena dituduh menyuap seorang pejabat?” Iblis itu tertawa keras, “tapi itu tidak separah keluargaku kawan, aku yang terlahir dari keluarga miskin, memilih memakan semua keluargaku, karena apa? Karena ketamakan semua orang di kota ini” Iblis itu menindihku lagi.
“dan kau tahu apa artinya itu? Aku tidak akan membiarkan korbanku sia-sia. Kebetulan lemariku sudah mulai kosong” terdengar hisapan air liur menetes dibalik topengnya. Aku mengerang. Oh Tuhan, orang ini benar-benar gila. Kugerakkan tubuhku dengan keras dan saat itu pula iblis itu semakin menindihku dengan semakin keras pula. Aku berteriak dibalik mulutku yang tersumpal, saat iblis itu mulai berbicara sendiri di dekat kepalaku.
“terima kasih buat Iblis Mannyville dimanapun berada, maafkan aku mengambil korbanmu di malam kabut hari ini. Aku masih mengidolakanmu” Aku makin meronta, yang kudengar selanjutnya hanyalah tawa dan tawa, hingga tiba-tiba kurasakan sesuatu menembus tenggorokan dan membuatku mengejang seketika. Iblis itu menusukkan pisaunya tepat di leherku.
-END-
Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 10

0

Siska dan Edy mengamati baik-baik, sementara Dion menundukkan wajahnya lebih dekat lagi, sambil menyipitkan mata dibalik kaca matanya.

“lihat apa?” ucap Siska lirih

“Ini, kalian tidak melihatnya?” ujung tanganku menunjuk gambar

“tidak ada apa-apa” jawab Siska

“ya, yang kulihat hanya halaman kosong” sahut Dion

“tidak mungkin” aku langsung meraih koran itu lagi, dan melihat dengan seksama.

“aneh” ucapku lirih. Sekilas tadi aku melihatnya.

“aku tadi melihat sosok itu disini” ucapku menunjuk lagi halaman rumah yang terpotret dikoran.

“tapi aku tidak melihatnya” sahut Edy

Aku terdiam, keringat dingin mulai membasahi keningku.
 “sudahlah, aku tidak mau membahasnya lagi” sahutku kemudian sambil melempar koran keatas meja.

Semua terdiam.

“ada beberapa misteri yang belum dikuetahui semua orang dirumah itu” ucapku membangkitkan suasana

“hanya kau yang mengetahuinya?” tanya Siska lirih, yang aku jawab dengan anggukan

“aku sempat ditertawakan polisi gara-gara boneka” kataku ketus

“boneka? Boneka apa?” tanya Dion

“sebenarnya, aku melihat ada tiga boneka dirumah itu. Satu boneka besar dan dua boneka kecil” jawabku

“astaga, itu boneka yang konon digantung itu?” tanya Siska kaget

“mungkin saja” jawabku

“lalu? Dimana boneka itu?” tanya Edy

“aku juga tidak tahu. Polisi tidak menemukan boneka-boneka itu. Aku pernah sekali menceritakan tentang boneka itu pada seorang polisi, tapi aku hanya ditertawakan, mereka pikir aku berhalusinasi” jawabku “tak ada satupun boneka dirumah itu, yang ada hanya barang-barang usang dan rongsokan yang ditumpuk tak beraturan” sambungku

“seperti apa sih bonekanya? Apa itu yang kamu lihat dikoran ini tadi?” tanya Siska, matanya melirik ke koran diatas meja

“boneka manusia biasa, yang memakai gaun dan memiliki ekspresi wajah yang tersenyum beku, tapi sangat usang. Aku hanya tahu boneka yang besar saja, aku tidak melihat boneka-boneka yang kecil, yang saat itu tertutup boneka besar” ucapku “ tapi yang kulihat di koran tadi bukan boneka, tapi misteri kedua dari rumah itu” sambungku

“ada lagi?” tanya Edy

“ya, ada makhluk mengerikan dirumah itu”

Dion, Siska, dan Edy saling berpandangan

“hantu?” tanya Dion

“hantu yang menyeramkan, tubuhnya tinggi, hitam. Dan ada sesuatu seperti....” aku mengusap-usap halus pipiku “entah mungkin darah atau apa, tapi pipinya memiliki noda kemerahan yang berasal dari matanya yang merah. Dan lidahnya, menjulur panjang”

“itu yang kau lihat tadi?” tanya Siska

“ya, kukira aku melihatnya tadi disitu” aku memandang lagi koran diatas meja

“tunggu, aku pernah menggambarnya” sambungku, aku berjalan menuju kamarku

Kuhampiri sebuah lipatan kertas yang tersembul dibawah bantal diatas ranjang. Aku mengambilnya, dan berjalan keluar kamar sambil membukanya. Belum sempat keluar dari kamar, aku berhenti. Mengamati kertas ditanganku, sebuah gambar sosok menyeramkan, dengan tulisan ‘TOLONG’ dibawahnya yang telah dicoret-doret dengan sesuatu yang sedikit tumpul yang membuat kertas hampir sobek. Lalu sebuah kata baru yang berwarna merah tua tertulis dengan kasar dibawahnya. Sebuah kata yang membuat bulu kudukku langsung berdiri dan kedua tanganku bergetar lirih. Kata ancaman yang menginginkanku untuk ‘MATI’. Aku meremas kertas itu dan langsung membuangnya jauh disudut ruangan.

Aku berjalan pelan keluar ruangan, menghampiri teman-temanku yang duduk diruang tamu.

“ada apa?” tanya Dion, heran melihatku berjalan dengan gugup dan seolah ketakutan

“tidak ada apa-apa” jawabku tanpa menatap teman-temanku. “aku mau mandi sebentar biar segar, kalian mau menungguku?” sambungku panik

“tidak, kami mau kembali dulu” sahut Edy

“ya, kita mau kembali. Oiya, nanti malam kita mau nongkrong ditempat biasa, mau gabung?” tanya Siska sambil berdiri, menata koran yang acak-acakan diatas meja

“akan aku usahakan” jawabku lirih

“oke, aku tunggu” sahut Dion mantap

Setelah itu, ketiganya berpamitan, keluar dari rumahku.

********
 Malam itu, aku iseng-iseng membuka komputerku, berusaha mencari tahu apa saja tentang rumah gantung. Ya, semenjak pandangan anehku dikoran, dan ancaman kertas yang kutemukan tadi membuat pikiranku menjadi tidak tenang.

Dan inilah yang kutemukan, beberapa artikel tentang rumah gantung. Bahkan aku menemukan sebuah cerita lengkap tentangnya.

“KISAH KELUARGA ROBERT DAN RUMAH GANTUNG”

Aku membaca pelan-pelan artikel itu, dan baru kusadari lagi ada beberapa hal baru disini.

Pertama, nama kepala keluarga itu adalah Robert, dan istrinya yang bernama Lidya. Tapi tak disebut nama anak-anaknya disini.

Kedua, Robert yang telah menggantung keluarganya, tidak membeli boneka-boneka itu. Tapi dia mencurinya dari sebuah toko yang khusus menjual peralatan vodoo / sihir. Dan dia tertarik karena boneka itu seolah memanggilnya, ketika dia tidak sengaja melewati toko.

Ketiga, beberapa bulan setelah tewas, makam istri dan anak-anak Robert ditemukan berantakan, dan diketahui bahwa beberapa bagian gigi mayat telah dicuri.

Keempat, tetangga Robert pernah mendengar ada dua suara dari ruangan Robert. Dan ketika dia mendekat, dia mendengar bahwa suara perempuan menyuruhnya untuk bunuh diri agar bisa kembali dengan istri dan anak-anaknya. Tapi ketika dia mengintip, tak ada siapapun kecuali Robert dan boneka-boneka yang digantung diatas kamarnya, membuat tetangga itu ketakutan dan langsung berlari kerumahnya.

Aku bergidik ngeri, pencarian berganti kearah kasus-kasus yang dulu terjadi dirumah itu, kasus setelah Robert. Dan benar, ada dua kasus bunuh diri lagi dirumah itu.

---Enam tahun lalu, seorang gadis ditemukan tergantung di sebuah kamar dirumah gantung. Gadis bernama Hani, adalah seorang pelajar yang tinggal tak jauh dari rumah gantung. Menurut kesaksian teman korban, Hani setiap hari suka berpacaran diareal sekitar rumah gantung sepulang sekolah. Tapi pada hari itu, pacar Hani mengalami kecelakaan tragis dan meninggal. Hani yang syok mulai tidak masuk sekolah sampai berhari-hari. Bahkan dia kabur dari rumahnya. Dan barulah seminggu setelah kehilangannya, salah seorang teman sekelasnya mengalami hal aneh. Dia menyatakan bahwa dia mendapati suara-suara aneh ketika melewati rumah gantung. Dan ketika dia mendekat, suara itu mirip suara Hani. Dan ketika itulah dia menemukannya, tergantung didalam ruangan dirumah gantung. Seminggu kemudian, temannya itu justru ditemukan juga mati tergantung di kamarnya. Menurut keluarga korban, dia mulai mengalami sikap yang aneh semenjak menemukan mayat Hani. Dia sering berhalusinasi dan bahkan menjauh dari teman-temannya, lebih memilih menyendiri. Sehari sebelum bunuh diri, tubuhnya terlihat makin kurus dan sangat pucat, seolah ada sesuatu yang menakutinya. Tapi belum sempat keluarganya menanyakannya, dia sudah meregang nyawa dengan mengenaskan---

Aku membacanya dengan tenang, berusaha mengaitkan kejadian pertama itu denganku. Ada beberapa yang mirip, terutama tentang bisikan yang membuatnya menemukan mayat Hani. Hani memanggilnya, sama dengan Roy yang memanggilku untuk menemukan mayatnya. Aku mengamati tanggal yang berada ditaskbar komputer. Satu minggu setelahnya, tapi ini baru dua hari, dan aku benar-benar merasa ketakutan

(bersambung)

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 9

0

Dalam remang-remang, aku bisa menyaksikan tubuh Mia yang tergeletak lemas dibawah lantai. Banyaknya cecerean oli dan paku serta keadaan Mia yang mengenaskan membuatku tidak berani mendekatinya. Aku hanya bisa menyaksikannya didepan pintu sambil menutup mulutku dengan ekspresi tak percaya.

“Mia…. Roy…” ucapku lirih, kebingungan.

Aku menoleh sejenak kebelakang, seolah tak percaya, tapi memang malam ini aku mengalaminya, aku menyaksikan Roy yang kaku jauh dibelakangku masih tergantung, sementara didepanku Mia dengan tubuh penuh paku. Tubuhku mulai lemas, menahan air mata yang seolah ingin menjebol permukaan mataku.

Tak ada waktu lagi, aku mengambil lagi senterku yang jatuh dihalaman, dan menyorotkannya mendekat kearah Mia. Kakiku berjalan awas sambil menyibakkan paku-paku yang berada disekeliling tubuhnya dengan kakiku. Kuraih tangan Mia, kulihat sebuah paku menancap di tengah lengan bawahnya. Tak ada denyut nadi. Tak ada detak jantung.

Aku menundukkan kepala sebentar, melepaskan sedikit air mata yang berhasil keluar dari mataku. Dengan napas yang panjang, tangan kananku menutup kedua mata Mia yang sedikit terbuka. Sementara tangan kiriku yang masih menggenggam tangan Mia mulai gemetaran. “Mia, maafkan aku” kataku lirih,

************

Beberapa menit kemudian, rumah gantung dipenuhi dengan wartawan dan belasan anggota polisi beserta petugas medis, yang mulai mengevakuasi mayat Roy yang mulai menggembung dan tubuh Mia yang masih bersimbah darah. Sementara aku hanya mengawasi dari tepi jalan, mengamati dari kejauhan ketika para medis melewati semak-semak halaman samping sambil memandu dua mayat beriringan.

“aku turut berduka kak” Ucapan Emi mengagetkanku dari belakang “aku hampir tak percaya dengan semua ini” sambungnya

Aku terdiam sejenak “ya, kenapa Mia harus ikut jadi korban?” ucapku lirih

“kasihan kak Mia” sahut Emi

Aku memandang wajah Emi

“Kak Mia sudah sangat sedih dengan kepergian kak Roy, tapi kini dia juga ikut pergi untuk selamanya” sambung Emi

“Em, Mia belum tahu nasib Roy”

“Maksud kakak?” tanya Emi

“Mia belum melihat Roy mati disana” ucapku sambil memandang kearah rumah gantung

“kak Mia belum melihat mayat kak Roy?” tanya Emi dan kubalas dengan sedikit anggukan.

Tak lama, sebuah mobil datang dan dua orang tua turun dari dalamnya. Mereka langsung menghampiri mayat-mayat yang berada di dalam ambulance dengan berurai air mata. Orang tua Roy. Mereka membuka penutup kain yang menutup tubuh mayat yang sudah menghitam. Terlihat tante Roy yang terkulai lemas dalam pundak suaminya, memandang mayat anaknya sambil berurai tangisan. Menyaksikan para medis yang menutup kembali kain penutup dan membawa mereka semua pergi menuju rumah sakit.

********

Aku berdiri dalam ruangan yang gelap, kulihat siluet seseorang berdiri tak jauh dariku. Roy. Dia tersenyum kearahku, kupanggil namanya. Tapi dia mulai berjalan menjauhiku. Aku mencoba mengejarnya, tapi dia semakin jauh, jauh dan semakin lama semakin menghilang. Tak lama, suara lirih menggema dalam kepalaku “ingatlah rahasianya, kau akan selamat”.

Aku terbangun ketika sebuah ketukan pintu depan rumah membuatku membuka mata. Kulihat jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku seharian tertidur karena kelelahan. Ya, setelah malam itu, esoknya aku disibukkan dengan interogasi dari kepolisian dan aku juga harus datang melayat ke rumah Roy dan Mia.
 Setelah itu semua, barulah aku bisa melampiaskan rasa kantukku dengan tidur seharian, walaupun terlihat cukup aneh dengan baju tidurku -yang masih berupa pakaian untuk melayat.

(Tok…tok…tok…)

Aku berjalan terhuyung-huyung menuju ruang tamu. Kuraih kenop pintu dan aku langsung membukanya.

“Kalian… ayo masuk…”

Tiga remaja masuk ke ruang tamu. Mereka adalah teman-teman kampusku -teman Roy dan teman Mia juga. Dion, seorang laki-laki bertubuh kurus dengan setelan kemeja yang kancingnya dibiarkan terbuka, menampakkan sebuah kaos biru bergambar penyanyi pop terkenal, yang pas dengan celana jeans yang dipakainya. Rambutnya lurus cepak, bermata sipit dengan kacamata minus terpasang didepannya. Seorang lagi, Edy, memiliki tubuh sedikit atletis dengan kaos hitam lengan panjang -dengan lengannya yang ditekuk sampai sikunya. Rambutnya yang sedikit botak tertutup topi merah yang dipakainya terbalik. Sedangkan Siska, merupakan sahabat dekat Mia. Postur dan tinggi badannya hampir sama dengan Mia, dengan setelan jaket dan celana jeans coklat ketat. Rambutnya yang berombak dibiarkan terurai dibelakang punggungnya.

“aku tadi meneleponmu” kata Dion mengawali pembicaraan

“maaf, aku hampir seharian tidak bisa bangun” ucapku lirih, masih lemas

“oke, aku tadi menemukan sesuatu” ucap Siska “kau sudah membaca koran pagi tadi?” sambungnya, aku melihat kedua tangan dibelakang pungungnya, dengan gulungan koran yang terlihat menyembul dibaliknya.

“apa kalian kira aku sempat membaca koran dengan pakaian seperti ini?” jawabku sambil tertawa lirih, yang disambut tawa juga oleh ketiganya.

“kau harus membacanya bung” kata Edy, mengambil koran dari balik punggung Siska.
 Dia membukanya, menunjukkanku sebuah headline berita yang dari judulnya sangat tak asing bagiku.

RUMAH GANTUNG MEMAKAN KORBAN LAGI

Aku menarik koran dari tangan Edy, dan mendekatkannya ke arah mataku. Kubaca paragraf per paragraf berita itu, berita yang bernarasumber dari cerita orang tua Roy, para kepolisian, dan yang pastinya dari saksi sepertiku. Semua cerita yang kualami dua malam berturut-turut terangkum dalam satu kolom besar berita yang terlihat memenuhi halaman pertama. Semua seolah terperinci, dari sejarah rumah, lalu kisah penemuan mayat olehku, hingga detail evakuasi mayat Roy dan Mia. Tapi ini tidaklah terperinci. Berita ini tidak membongkar satupun misteri dari boneka-boneka misterius yang bisa melayang, sosok gelap yang menghuni rumah itu, dan mimpi-mimpi yang berkeliaran dikepalaku -yang memang secara eksklusif tidak aku ceritakan kepada mereka.

Aku membacanya pelan, dan barulah kusadari sebuah penemuan hebat yang baru kutemui di berita ini. Tepatnya di dua paragraf terakhir.

“kasus ini menambah deretan kasus mengerikan dirumah itu. Beberapa tahun yang lalu publik sempat heboh dengan dua kasus penemuan mayat tergantung dilokasi yang sama. Kasus pertama menimpa seorang gadis belia, yang harus mengakhiri hidupnya dengan tragis. Tubuhnya ditemukan oleh temannya sendiri, tergantung disebuah kamar didalam rumah gantung. Tapi, justru kasus paling aneh terjadi beberapa minggu setelahnya. Ketika teman yang menemukannya tersebut juga ditemukan tewas dengan cara yang sama tergantung dikamarnya.” Aku berhenti sejenak membacanya, memandang sejenak kearah teman-teman yang terlihat serius mengamatiku.

“begitu juga dengan kasus kedua, seorang remaja pria yang depresi ditemukan oleh saudaranya sendiri tergantung dihalaman rumah gantung. Sama dengan kasus sebelumnya, kasus aneh juga menimpa saudara korban. Dia dianggap tidak waras setelah membunuh kedua orang tuanya. Sementara kasus pembunuhannya sampai sekarang menjadi perdebatan dikalangan hukum dan jurnalis, karena pelaku yang menyangkal atas perbuatannya.”

Aku berhenti membaca.

“apa maksudnya?” tanyaku lirih

“itulah yang kami ingin cari tahu” jawab Dion

“kami ingin menunjukkan fakta rumah itu kepadamu” sahut Siska

Aku melamun sejenak, membayangkan rumah gantung, mengaitkannya dengan mimpiku tadi dan berita-berita di koran. Tapi apa ada sesuatu yang terlewatkan? Apa rumah itu benar-benar terkutuk bagi siapapun yang berhubungan dengannya?

“ada yang bisa kau ceritakan kepada kami? Ayo cerita saja” kata Edy membuyarkan lamunanku

“Ed, kau tidak akan percaya dengan apa yang kualami”
 Edy tertawa kecil “tidak ada salahnya untuk bercerita” sahutnya

Aku menghela napas panjang, memandang wajah teman-teman yang serius menatapku, menungguku berbicara. Hingga seseorang memasuki ruang tamu, membuyarkan keseriusan mereka.

“kak, ini minumannya” Emi memasuki ruangan, membawa nampan berisi empat gelas minuman.

“terima kasih” sahut Siska, diiringi dengan senyum kecil dari Emi, setelah itu menjauh dari ruangan.

Dion mengambil segelas air diatas nampan, dan meminumnya. “aku berharap sesuatu yang buruk tidak menimpamu teman... “ ucapnya sambil menaruh kembali gelas keatas nampan.

“tidak, aku akan baik-baik saja” jawabku lemah, “tapi kurasa memang kalian juga penasaran dengan misteri rumah itu, ayolah mengaku saja” sahutku ketus, disertai tawa kecil yang serempak dari mulut teman-temanku

“sebenarnya, ada beberapa misteri yang tidak termuat disini” ucapku sambil memandang koran diatas meja

“benarkah?” sahut Siska

“ya, kalian hanya tahu cerita bahwa Roy menghampiriku, mengajak taruhan, dan berakhir di rumah gantung. Setelah itu, aku memberitahu Mia, dan kalian sendiri tahu kejadian setelahnya” aku menjelaskan

Siska hanya mengangguk pelan, sementara Dion dan Edy terlihat masih serius mendengarkanku. Aku memandang koran diatas meja, memandang potret rumah gantung yang difoto dimalam kejadian itu. Mataku memandang jeli setiap detail rumah, dan sebuah siluet dalam foto itu membuat mataku terbelalak.

“tunggu” aku meraih koran dan mendekatkan kearahku. Bulu kudukku mulai berdiri, aku mengamatinya dengan seksama, dan memang benar. Dion, Siska, dan Edy hanya berpandangan satu sama lain, dengan raut wajah heran.

“kalian lihat ini?” aku menyodorkan foto rumah gantung ditengah meja. Menunjuk sesuatu disamping rumah, sosok hitam, tinggi, bermata merah. Lidahnya menjulur panjang, namun sedikit buram karena kualitas cetak foto koran yang tak terlalu bagus. Tapi aku masih bisa melihat sorot matanya yang seolah menatap tajam kepada siapapun yang melihatnya. Aku tersenyum kecil, ya, akhirnya kau menampakkan wujud aslimu ke semua orang.

(bersambung)

 

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 8

0


(Beberapa saat sebelumnya)

Mia melangkah memasuki ruangan kosong yang cukup luas. Ruang tamu tanpa perabotan, dan hanya meninggalkan debu-debu dan sarang laba-laba ditiap sudut-sudut ruangan.

“tempat apa ini” gumam Mia sambil menyorotkan senternya ke penjuru ruangan, mencari sesuatu yang berhubungan dengan Roy.

“Roy….” teriak Mia. Tak ada sahutan, hanya ada suara gema teriakan Mia diseluruh ruangan.

Mia terus berjalan, masuk ke sebuah koridor dengan kamar-kamar disampingnya. Kamar pertama hanya berisi sebuah ranjang kayu yang lapuk dan gelap. Sementara kamar kedua adalah ruang dengan tali-tali yang tergantung diatapnya, dengan sebuah laci berdiri diujung tengah ruangan. Perhatian Mia tertuju pada dua buah objek diatas laci, dua boneka kecil, saling menunduk satu sama lain dengan posisi seolah-olah mereka saling berpelukan satu sama lain. Kedua wajahnya tertutup rambut-rambutnya yang berwarna kelabu mirip sumbu kompor yang kotor dan berdebu.

Mia tersenyum kecil melihat boneka-boneka lucu yang seolah ketakutan darinya.

“apa yang kau takutkan dariku” ucap Mia lirih.

Dia menghampiri boneka-boneka itu, dan memungutnya. Tangannya melepas tangan-tangan kotor boneka yang saling berpagutan dan menyibakkan rambut keduanya. Mengamatinya sesaat dan kemudian boneka-boneka itu terlepas dari tangan Mia. Kedua boneka itu terjatuh diatas lantai, membuat debu-debu dibawahnya beterbangan.

Mia mundur sejenak, bergidik ngeri menyaksikan wajah-wajah boneka dibawahnya. Boneka-boneka bermata biru muda, sementara bekas menghitam dibawah kepalanya menggambarkan gurat tali yang pernah mengekang erat dilehernya. Mulutnya sobek, tapi didalamnya terdapat gigi-gigi kecil yang seperti menempel terjahit didalamnya. Gigi-gigi keras kecoklatan, dan mirip dengan gigi-gigi taring dan geraham yang dimiliki anak-anak.

“boneka apa ini” Mia ketakutan, dia berjalan keluar dari pintu sampai sebuah suara lirih terdengar dari dalam ruangan boneka tadi. Suara halus memanggil namanya.

“Roy” Mia yang berdiri tepat didepan pintu langsung berbalik arah. Matanya berbinar cerah, melihat sosok yang tersorot senter diujung ruangan.

“Roy... kaukah itu?”

Mia mendekati sosok yang berdiri lemas, kedua tangannya mendekap didadanya. Kepalanya menunduk ketakutan, memperlihatkan debu dirambut-rambutnya. Kulitnya pucat, sepucat kulit mati yang terlalu lama berada dalam air. Badannya hanya terbungkus kaos coklat yang terlihat kusam dan berdebu.
 “Roy... ayo kita pulang” kini Mia berdiri didepan Roy, mengamatinya dengan iba, “kau kedinginan?” sambungnya sambil sambil melepas jaket dari tubuhnya dan langsung dipasangkannya diatas punggung Roy.

“Roy... ayo kita pulang, semua mengkhawatirkanmu”

Tak ada sahutan, Roy hanya menunduk. Tak ada suara yang terdengar, kecuali suara angin yang berhembus cukup kencang yang menerpa dedaunan diluar rumah.

“Roy...” Mia sedikit menyentak, tangannya memegang dagu Roy dan langsung mendongakkan kepalanya ke atas.

“Astaga... Roy” Mia terkejut, menjatuhkan senternya keatas lantai.

Wajahnya terpaku menyaksikan apa yang ada dihadapannya. Wajah Roy tampak sangat pucat, raut wajahnya ketakutan, membuat guratan kantung dibawah matanya. Bibirnya berwarna putih setengah abu-abu dan sangat kering. Sementara matanyalah yang membuat Mia ketakutan. Kepucatan wajahnya tergambar lengkap dengan mata yang juga hanya berwarna putih, mirip mata orang tua yang menderita katarak, tapi ini bukan katarak, karena tak ada satupun kehidupan terpancar dimatanya.

“Roy....apa yang terjadi?” Mia mulai ketakutan, matanya berkaca-kaca.

“cepat pergi” tiba-tiba terdengar suara lirih dari Roy, suara samar yang muncul dari mulutnya yang terkunci rapat. Mia diam ketakutan.

“apa maksudmu? Kalau aku pergi kamu juga harus pergi denganku” gertak Mia

“pergilah” suara itu terdengar lagi, tapi kini lebih keras, membuat Mia terkejut.

“Roy... maafkan aku, aku hanya...”

“PERGILAH...” suara sentakan keras membuat Mia ketakutan, diambilnya senter yang berada dikakinya. Dan saat itulah Mia baru menyadari sosok didepannya.

“Roy...” Mia menunduk lemas, memegang senter dilantai. Tapi matanya tertuju pada kaki Roy, yang tidak menapak dilantai. Roy melayang.

Mia langsung berdiri dan mundur perlahan, menyaksikan sosok Roy didepannya, tubuhnya masih lemas dengan jaket yang masih tersampir dipunggungnya.

“PERGI...” suara semakin keras

Mia berbalik. Telihat air mata mengalir dipipinya. Dia berhenti sejenak tepat didepan pintu, dan kepalanya reflek menoleh sekali lagi kearah Roy didalam ruangan. Tapi kini bukan Roy yang dilihatnya. Sosok itu tinggi dan berwarna hitam. Matanya merah menyala, dengan darah yang menetes dikelopak matanya. Lidah panjangnya menampakkan gigi-gigi taring menyeringai dimulutnya.

Mia berteriak kencang, menjatuhkan senter didepan pintu. Mia langsung berlari ke ruang tamu dan berteriak meminta pertolongan. Baru menginjakkan kaki di ruang tamu, Mia terdiam, matanya yang awas menangkap sebuah siluet yang berdiri didepan pintu ruang tamu. Siluet gelap dengan mata merah menyala, lengkap dengan geramannya yang menakutkan. Mia kembali berteriak dan berbalik arah. Dia terus berlari menuju ruangan dengan segudang barang rongsokan didalamnya. Pintu diujungnya terbuka, memperlihatkan halaman rumput temaram dengan cahaya senter kecil yang tergeletak diatas tanah. Sementara Mia samar-samar menyadari diriku yang berdiri diluar sedang menutup telinga didepan pepohonan, tak jauh dari cahaya senter.

Mia berteriak memanggil-manggil namaku, sementara dia berlari sesekali menengok ke belakang, berharap sosok hitam itu tak mengejarnya. Walaupun dia melihat tak ada apapun dibelakangnya kecuali ruangan-ruangan yang gelap tanpa cahaya. Dia terus berlari mendekati pintu, tak menyadari sesuatu yang berada disekitar ruangan.

Pelariannya terhenti ketika sebuah paku payung yang cukup besar menembus sepatu tipisnya yang membuatnya melompat kesakitan. Tapi belum sempat menyadari apa yang diinjaknya, kaki lainnya menjejak diatas luberan oli dan membuat badannya oleng kebelakang.

Tubuhnya jatuh tepat diatas luberan oli dan paku-paku payung yang berserakan dibawahnya. Belasan paku berhasil menembus tangan, kaki dan punggungnya. Beberapa diantaranya bahkan berhasil menancap dileher dan tengkorak kepalanya. Sementara beberapa lagi paku yang sedikit berkarat yang tak berhasil menembus terlihat bengkok tertindih dibawah kulit-kulitnya yang kehitaman karena oli yang bercampur dengan darah.

Mia mengerang, tak kuat menahan rasa nyeri hebat disekujur tubuhnya. Kepalanya hanya bisa memandang keatas langit-langit yang gelap. Kedua tangannya mencoba memegang kepalanya, tapi yang dia rasakan justru rasa nyeri yang semakin bertambah menjalar disekujur lengan dan perutnya. Pandangan matanya mulai kabur, tak ada yang bisa dilakukan. Mulut dan hidungnya mulai mengeluarkan darah, disertai dengan erangan lirih yang semakin lama semakin tak terdengar. Sementara sepasang mata berwarna biru hanya melihatnya kesakitan dari atas tumpukan koran bekas yang tak jauh darinya. Mulutnya yang merah menampakkan senyuman, seakan puas dengan kejadian malam ini.

(bersambung)

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 7

0

 Tangan kiriku menggenggam erat boneka kotor berlumpur sementara tangan kananku mengayunkan senter ke rumput-berbatu di depanku. Rumput-rumput yang roboh membentuk sebuah jalan mengarah ke halaman belakang –yang kuciptakan kemarin malam. Terlihat banyak pula kayu-kayu lapuk berceceran dibalik rerumputan, sebagian seolah tertimbun di dalam tanah.

Baru kusadari pula bahwa halaman samping ini dulunya terdapat pagar kayu berkawat yang kini hanya tersisa patokan-patokan kayunya saja,dan itupun semuanya sudah lapuk. Beberapa patokan masih terlihat sedikit kawat-kawat berkarat yang menempel di ujungnya. Tapi sebagian besar bagian kawat sudah hilang, kemungkinan besar pasti dijarah.

Sementara dinding-dinding samping rumah terlihat sangat tua. Beberapa bagian bahkan hanya tersisa bata dengan retakan-retakan disana-sini. Semua jendela kayu yang terlihat lapuk dipalang dari luar menggunakan beberapa balok kayu yang dipaku disekelilingnya. Meskipun dipatok,kayu-kayu itu seperti lebih mudah dihancurkan. Setiap bagian jendela memiliki retakan yang bervariasi, bahkan sebuah jendela memiliki retakan dengan lubang yang cukup lebar. Aku bisa melihat sedikit cahaya bergerak-gerak dari lubang itu, cahaya senter yang berasal dari dalam rumah.

Sekitar delapan meter berjalan, aku telah sampai di halaman belakang rumah. Suhu dingin meresap melalui kulit-kulitku, menyaksikan beberapa baris pohon mangga yang hidup liar diantara rerumputan dan semak yang lebat. Kini kurasakan angin menghempas daun-daun pepohonan. Bunyi dahan-dahan saling bergesekan beriringan dengan suara serangga-serangga malam yang bersembunyi dibalik semak-semak.

Kuarahkan senterku kearah baris pohon mangga dari kejauhan. Suasana dan pemandangan yang sama dengan malam sebelumnya. Bukan sebuah ilusi, dan bukan sebuah bayangan. Aku mengucek kedua mataku berkali-kali, menyaksikan objek menggantung yang tak jauh dariku. Objek itu nyata.

Rasa penasaran masih berkecamuk dengan ketakutanku. Aku masih mematung, seolah menunggu sesuatu muncul dari balik pepohonan. Berharap tidak ada sosok menyeramkan yang tiba-tiba muncul menakutiku. Tapi tubuh yang tergantung iu seolah memanggilku. Aku menelan ludah secara perlahan, berusaha menelan rasa takut yang kurasakan. Jantungku berdegup kencang diiringi dengan tiap langkah mendekati objek tersebut. Senter terus terus kufokuskan, sementara mataku dengan waspada melirik kesemua sudut pepohonan.

Sekitar satu meter dari objek, sebuah angin cukup kencang menghempasku, menghempas dahan dan dedaunan, menghempas objek yang menggantung tak jauh dariku, membuatnya berayun-ayun dan berputar seratus delapan puluh derajat mengarah kearahku. Degup jantungku serasa meledak menyaksikan sosok yang tergantung. Roy.

Aku langsung berlutut menyaksikan apa yang kulihat, menjatuhkan boneka yang ada ditanganku. Aku mendongak keatas, berusaha meyakinkan diri bahwa sosok itu bukan Roy. Tapi aku tak bisa menyangkalnya. Sosok itu lebih mirip Roy, Roy yang menghilang beberapa hari. Tubuhnya tergantung sekitar satu meter dari atas tanah, kulitnya menghitam, membengkak, yang dari belakang hampir tak bisa dikenali. Lehernya merenggang akibat tali kekang yang mencekik dibawah dagunya. Matanya yang kosong melotot keatas, mendongak, sementara lidahnya menjulur keluar dan mulai menghitam. Membuatku tak kuasa melihatnya.

“inikah rahasia yang kau maksud?”

Pikiranku mulai bercampur aduk, rasa takutku kini mulai hilang seketika. Tapi itu tidak berlangsung lama, sampai sebuah suara tawa kecil menggema dikepalaku, mengembalikan rasa takut kembali merasuk tubuhku. Suara kecil, berasal dari boneka dibawahku. Aku langsung berdiri, memandang boneka dibawahku yang mulai menggeliat-geliat. Aku mundur perlahan, menyaksikan boneka itu mulai melayang, dengan tawa kecilnya yang khas. Boneka itu melayang mendekat kearah mayat Roy, sementara aku berjalan mundur menghindarinya.

“apa maumu?” kataku berteriak

Boneka itu terus tertawa

“hentikan” suaraku kian lantang

Tiba-tiba boneka itu berhenti tertawa.

“PERGI DARI SINI” suara yang cukup kencang ditelingaku dan tiba-tiba boneka itu terjatuh di atas rerumputan, disertai sebuah hembusan angin yang sangat kencang. Membuat mayat Roy mulai bergoyang hebat, berayun-ayun, dan disanalah aku melihatnya. Sosok itu mulai tampak dari balik mayat Roy, melayang diantara dahan-dahan yang bergesakan. Matanya yang merah penuh kebencian menatap kearahku, lidahnya yang panjang kini menampakkan taring dan suara menggeramnya.

Hembusan angin yang kedua sangat kencang menghampasku, disertai suara tangisan yang bercampur aduk dengan suara samar “pergilah pergilah pergilah” yang diucapkan berkali-kali dikepalaku. Membuatku harus menutup kedua mata dan telingaku, dan menjatuhkan senterku diatas tanah. Suara itu kian menggema, membuatku ketakutan. Ingin rasanya berteriak, tapi entah mengapa mulutku terasa terkunci.

Selanjutnya, sebuah suara teriakan mulai tedengar dikepalaku. Suara wanita, suara yang memaggil-manggil namaku. Suara itu seolah mendekat kearahku, yang dengan cepat berhenti seiring bunyi jatuh benda keras disertai erangan yang menyakitkan. Setelah itu, semua suara itu hilang, kubuka perlahan kedua mataku dan kedua telingaku. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhku, Kuambil senter dibawah kakiku, yang langsung kusorotkan kesekelilingku. Kulihat tubuh Roy masih bergoyang-goyang diatas dahan, sementara sosok dibelakangnya telah hilang. Kusorot pula tempat boneka menyeramkan tadi terjatuh,

“hilang” gumamku ketakutan, memandang rerumputan kosong-yang sebelumnya terdapat boneka diatasnya.

Suasana menjadi hening, tak ada angin, tak ada suara serangga malam dan suara yang terdengar hanya suara detak jantungku. Tidak, masih ada suara erangan lirih dikepalaku. Erangan yang semakin pelan dan baru kusadari bahwa suara itu berasal dari belakangku. Aku berbalik badan, menyorot sosok mengerang yang tak jauh didepanku. Erangan menyakitkan yang semakin lama semakin menghilang.

“Mia….” Teriakku. Spontan kujatuhkan senter diatas tanah dan dengan cepat kuhampiri sosok tak berdaya didepanku. Bertambah satu lagi temanku yang meregang nyawa di tempat terkutuk ini.

(bersambung)

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 6

0


 (tok…..tok…..tok…..)

Seorang gadis muda berdiri di depan pintu. Tubuh tingginya sangat pas dengan celana jeans yang dipakainya. Rambut panjangnya yang diikat menampakkan kulit dahinya yang kekuningan, sementara ujung rambutnya yang terikat terurai ke dalam tudung jaket yang ia kenakan.

“Mia, masuklah”

Mia masuk ke dalam ruang tamu, duduk berhadapan denganku. Emi masuk dan membawa dua gelas teh yang ditaruhnya disamping sebuah boneka kotor diatas meja.

“Aku tidak tahu kalau adikmu menyimpan boneka seperti ini” celatuk Mia

“itu milik kakak, tanyakan saja padanya” sahut Emi sambil menjauh dari ruangan

Mia menatapku sambil tertawa kecil.

“Oke, kau mencari Roy kan?” aku memulai pembicaraan

Mia mengangguk kecil. Diambilnya segelas teh didepannya lalu meminumnya sedikit.

“Aku merasa boneka ini ada hubungannya dengan Roy” kataku

“tunggu… apa maksudnya?” tanya Mia

Aku menarik napas panjang, “baiklah… aku akan menjelaskan semuanya”

Selanjutnya, aku menceritakan apa yang aku alami kepada Mia. Tentang Roy yang datang menemuiku, taruhan di rumah gantung, boneka-boneka dan sosok yang menyeramkan, hilangnya Roy dan sebuah kertas yang terdapat pesan minta tolong. Aku juga menceritakan mimpi yang kualami tadi pagi dan menunjukkan kertas lusuh yang bertuliskan kata “TOLONG” dibawahnya.

Mia hanya terdiam mendengar ceritaku.

“kau tahu apa artinya?” tanyaku

“sebuah pesan dari Roy?” jawab Mia lirih

Aku mengangguk meyakinkan Mia, “sepertinya Roy ingin kita mengungkap rahasia di rumah gantung itu. Mungkin juga berhubungan dengan menghilangnya dia” sambungku

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Mia khawatir

“kita harus mencari jawabannya di rumah gantung” jawabku mantap

Mia terdiam, diambilnya boneka dari atas meja. Matanya memandang lekat-lekat setiap detail wajah menyeramkan yang terjahit di wajah boneka .
 “ini dari rumah itu?” tanya Mia

“ya, bahkan benda itu mengejarku sampai sini” jawabku mantap, meskipun masih ada sedikit rasa ngeri memandang boneka itu, tapi perlahan-lahan mulai pudar seiring dengan semangat mencari keberadaan Roy.

Mia termenung, ditaruhnya lagi boneka itu diatas meja. Dia mengambil gelasnya dan meminum tehnya yang tinggal separuh.

“Baiklah… ayo kesana” jawab Mia mantap, dia berdiri dari tempat duduknya.

“tunggu…sekarang?” ucapku terkejut

“ya…sekarang. Aku tidak ingin menunda lagi. Aku ingin semua masalahku dengan Roy cepat selesai. Aku ingin minta maaf dan ingin kembali bersama. Aku yakin dia salah paham terhadapku, tapi aku ingin membawanya pulang malam ini juga” ucap Mia, raut mukanya penuh keyakinan, meskipun ada rasa kelam dalam tatapan matanya. “kau yakin Roy ada disana kan?” sambungnya

“mungkin saja, tapi…..” aku terdiam sejenak, perkataan Mia tadi membuat pikiranku ikut larut dengan perasaannya, “sudahlah… aku akan berkemas. Kau membawa senter?” sambungku.

“tidak” jawab Mia

“baiklah, akan aku pinjami” ujarku sambil meninggalkan ruangan.

Malam itu, aku bersama Mia berangkat menuju rumah gantung, rumah yang sebelumnya kusebut sebagai rumah terkutuk. Rumah terkutuk yang penuh misteri, yang membuatku seperti seorang detektif yang kecanduan untuk menyingkap misteri didalamnya. Misteri tentang Roy dan suasana misterius yang terdapat disetiap sudut ruang dan halamannya.

Tiga puluh menit berlalu, aku memarkirkan motorku tepat didepan pekarangan rumah gantung. Rumah itu tetap terlihat suram. Pekarangan rimbunnya menampakkan rerumputan liar yang sebagian besar roboh karena injakan. Ya, baru kemarin malam aku menginjak-injak 'kalian', dan aku akan menginjak 'kalian' lagi malam ini.

“inikah rumah gantung yang kau maksud?” tanya Mia membuyarkan pandanganku.

“yup… benar” jawabku. Aku memandang ke seluruh pekarangan, dan melihat jalur berlariku kemarin malam yang berada disamping rumah. Hawa dingin mulai merasuk, seiring dengan bayang-bayang sosok menyeramkan yang kemarin berada di halaman belakang rumah. Sekarang perasaanku mulai bertabrakan, perasaan antara rasa penasaran dan takut yang amat sangat.

“kita harus berpencar” ucapan Mia seolah melengkapi rasa takutku

“berpencar?” tanyaku

“ya…. Itu akan mempercepat pencarian” jawab Mia mantap, seolah dia tidak pernah merasa takut. Semangatnya yang tinggi berhasil mengalahkan rasa takutnya, sangat bertolak belakang denganku.

Aku menelan ludah pelan dikerongkonganku, “baiklah… tapi kurasa kau harus ke bagian dalamnya, lebih aman bagimu” ucapku lirih

“setuju… ayo bergerak” Mia menyalakan senternya lalu melangkah menuju pelataran rumah.

“hati-hati saat didalam, kau tahu sejarah rumah ini kan?” teriakku pelan, aku berjalan dibelakangnya.

“aku tak peduli dengan sejarah rumah ini, oke… kita berpisah disini” Mia berjalan lebih cepat dariku, dan dia telah sampai di teras rumah gantung. Sementara aku berbelok dari teras dan berjalan menuju halaman samping rumah.

Mia sudah menginjakkan kakinya diatas lantai teras yang berderit, dan tanpa takut langsung masuk kedalamnya.

“Mia… semoga kau benar-benar tahu sejarah rumah ini” gumamku lirih

(bersambung)

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

TIME KILLER

0

 

 


Tak pernah terbayang bagaimana aku bisa melintasi waktu. Ya kira-kira seperti itulah yang aku alami sekarang. Semuanya berawal ketika aku menemukan sebuah cermin kecil dipinggir jalan beberapa hari yang lalu ketika aku pulang kerumah. Aku pungut cermin itu. Dan malam ini kebetulan aku membawanya. Tapi tak kusangka, aku bertemu dengannya, pria bertopeng dengan ukiran angka 1985 didepannya, pria itu berdiri menatapku di depan jendela diatas apartemen yang aku lewati. Aku mengenalnya, dia adalah pembunuh yang membunuh kakakku beberapa tahun yang lalu didepanku, dan aku berani bertaruh, apartemen ini adalah rumahnya. Sial, padahal waktu itu ingin sekali aku membunuhnya, kebetulan saat itu aku membawa pisau, tapi kenapa aku tidak melakukannya? Firasatku buruk, aku segera mempercepat langkahku.

Dorrr...

 Arhggg... Sial, sebuah peluru melesat di kakiku, aku menoleh ke belakang. Pria itu menghampiriku, dengan pistol di tangannya. Aku tidak bisa berlari, aku bisa mati disini dan tak ada yg tahu kalau aku dibunuh pria ini. Aku kehabisan akal, sampai sebuah cermin memberiku ide. Aku keluarkan cermin yg aku simpan, dan aku tulis dengan darahku diatasnya angka "1985" sebagai bukti jika aku terbunuh. Pria itu berdiri di depanku dan menodongkan pistolnya, aku ketakutan.

 "kita impas..." Katanya

 ..dorrr... pria itu menembakku...

 Pelurunya mengenai dadaku, tapi aku masih hidup, tidak, peluru itu tidak mengenaiku, ada apa ini? Pria itu hilang, tak ada luka dikakiku, dan kupungut cermin yang aku tulis tadi, anehnya cermin itu menujukkan angka "1985" dengan model terbalik. Aku lihat jam tanganku, jarumnya berhenti, dan suasana di sekitarku berubah, kecuali apartemen yang masih berdiri kokoh, dan sedikit lebih klasik.

Aku berdiri, dan betapa terkejutnya ketika aku lihat bocah kecil bertopeng melihatku dari atas apartemen. Aku mengenal topeng itu, topeng berangka 1985. Dari mana bocah itu mendapat topeng itu? Aku penasaran. Aku masuk ke apartemen itu, dan betapa terkejutnya ketika melihat kalender yang tergantung didinding apartemen. Aku berada ditahun 1985. Dan kini aku sadar, bocah tadi adalah orang yang suatu saat akan membunuhku, dan juga kakakku. Emosiku mulai naik. Aku harus menghabisi bocah itu lebih dulu. Perasaan ingin membunuh yang aku rasakan sebelumnya muncul lagi. Aku segera menuju ke kamar bocah tadi, dan kulihat pintunya sedikit terbuka.segera aku masuk, mengambil pisau silet yang berada diatas sebuah meja, dan menghampiri seorang bocah yang tertidur pulas diatas ranjang. Dia masih mengenakan topeng. Tak tinggal diam, langsung aku tusukkan pisau silet itu ke lehernya. Darah keluar deras disamping bocah yang meregang nyawa.

 "kita impas..." Kataku

 Brakk.. Pintu terbuka. Aku menoleh dan betapa terkejutnya aku melihat seorang bocah berdiri di depan pintu. Dia ketakutan.

 "apa yang kau lakukan dengan kakakku?" katanya berteriak

 Aku langsung berlari kerahnya dan membekap mulut dan hidungnya, kulihat matanya yang biru melotot tajam. Dia meronta. Kudengar suara langkah menaiki tangga... Bocah itu langsung menggigit tanganku hingga tanganku terlepas dan langsung berlari menuruni tangga dengan tangisannya yang keras. Sial, aku bisa ketahuan, aku harus kembali, dendamku sudah selesai, aku harap kakakku masih hidup ketika aku kembali.

Kuambil cermin yang kubawa tadi, "bagaimana cara kembali?" Aku kebingungan, kudengar beberapa langkah menuju kamar ini. Sial, kulihat angka yang terbalik di cermin. Kuhapus angka itu...

 Dorrrr...

 Arghh... Prangg...Sesuatu menembus kakiku, dan cermin yang kubawa jatuh pecah.

Kulihat sekitar, aku dipinggir jalan, suasana yang sama ketika aku berhadapan dengan pria itu. Aku berhasil kembali. Tapi tunggu. Kulihat kakiku, peluru? Siapa yang menembakku? Langkah kaki mendekatiku. Pria bertopeng 1985. Tidak mungkin.

 Dia berdiri di depanku.

 "sial. Bukankah aku sudah membunuhmu?"

 Dia tertawa, dan melepas topengnya. Kulihat matanya yang biru penuh amarah.

 "ya. Kau hampir membunuhku. Sekarang kita impas"

 Dorr..

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 5

0

 

Sebuah langkah cepat mendekati kamarku, dan kulihat Emi berdiri didepan pintu kamar, membawa sebuah benda yang langsung membuatku terlonjak dari dudukku.

“Kakak menaruh ini dilemariku?” tanya Emi kesal

Aku menggeleng kecil. Mataku memandang benda kotor yang dibawa Emi ditangannya. Gaunnya yang kuning berlumpur kini dengan cahaya normal terlihat lebih coklat, matanya yang biru seolah menembus pandanganku, lengkap dengan senyum khas menyeramkannya.

“Nih, boneka ini untuk kakak saja” Emi melemparkannya kepadaku. Tapi aku tidak menangkapnya, membuat boneka itu terjatuh tertelungkup dilantai.

Tanganku terus bergetar, keringat dingin mulai merasuk lagi ketubuhku, ke leherku, dan ketangan-tanganku, membuat kertas yang kupegang sedikit basah oleh keringat. Aku meremas kertas ditanganku, membuangnya ketempat sampah diujung kamarku. Tapi tulisan aneh dibawahnya masih bisa sedikit terlihat jelas dikejauhan. “TOLONG”. Sebuah kertas meminta tolong kepadaku? Tidak… aku mulai mengaitkannya dengan kejadian-kejadian aneh malam ini. Dan semua berawal dari rumah gantung, boneka, Roy, dan kertas.

“Apa yang kau mau dariku?” aku berbicara sendiri, memandang boneka kotor dibawah kakiku.

“Kenapa kau minta tolong kepadaku?” lanjutku lirih. Langsung kupungut boneka itu, kupandangi terus kedua bola matanya.

“aku yakin kau bisa berkedip, ayo… berkediplah…”

Boneka itu tetap diam. Matanya yang biru hanya sedikit terpantul sorot cahaya lampu ruangan.

“Konyol… boneka sialan”

Aku langsung melempar boneka itu keluar kamar, lalu dengan cepat kukunci pintu kamarku.

********
 Aku berlari dalam suasana gelap, senter di tanganku bergoncang kesegala arah. Sosok berlidah dan berleher panjang itu mengejarku. Dia seolah terbang melayang sementara aku yang berlari tidak sadar telah menginjak sesuatu yang cukup lembut dikakiku. Aku menginjak sebuah boneka kotor, dan dengan cepat langsung aku pungut. Boneka itu berbicara pelan kepadaku “kembalilah”. Aku berhenti berlari dan tiba-tiba boneka itu melayang, dan sosok yang mengejarku juga hilang. Suasana sekelilingku semakin lama semakin gelap. Aku mengarahkan senter kesekilingku, dan kulihat sosok manusia memandangkiku dari jauh. Mukanya pucat, matanya cekung dan kelihatan menyedihkan. “Roy…”ucapku lirih. “Roy…” teriakku. Tapi Roy berjalan menjauh dariku. Aku mengejarnya, tapi dia semakin menjauh dan semakin menjauh. Tiba-tiba suara halus terdengar ditelingaku “Tolong”.

Aku langsung terbangun dari tidurku. Keringatku bercucuran membasahi semua tubuhku. Napasku berpacu dengan cepat, beradu dengan degup jantungku. Kulihat jam dindingku menunjukkan pukul 8 pagi. Aku langsung bangun dari ranjangku, dan menyadari ponsel dimejaku mulai bergetar. Mataku terbelalak menyaksikan sebuah panggilan yang masuk ke ponselku. Roy, dia meneleponku.

“Halo…Roy…”

“oh, halo. Aku Mia, kau bersama Roy?”

Aku terdiam sejenak, sedikit ada rasa kecewa.

“Mia. Kau menelepon dari ponsel Roy?”

“Ya, Roy meninggalkan ponselnya. Tante Roy menemukannya dikamar.” Sahut Mia, “Tante menyerahkannya kepadaku, saat kutahu Roy sudah beberapa hari hilang. Karena kurasa aku yang paling bertanggung jawab disini ” sambungnya

“Jadi kau tidak bersama Roy?”

Mia terdiam. “Ya, kukira kau semalam bersamanya, kulihat kemarin kau menelepon ke nomor ini”

“Tunggu Mia, aku kemarin memang bersama Roy. Tapi…” aku mulai kebingungan “ya sudah…. Bisa kah kau kerumahku sekarang?”

“tunggu, aku tidak bisa. Seharian ini aku berencana ke kantor polisi dengan Tante Roy. Dia ingin polisi ikut membantunya” jawab Mia lirih “mungkin sore atau malam baru bisa” sambungnya

“terserah, aku tunggu kau malam ini. Hanya kau Mia”

“tidak masalah” sahut Mia. Telepon terputus.

Aku melempar ponselku keatas ranjang. Dan baru kusadari bahwa sesuatu berhasil menyusup kekamarku. Boneka itu duduk tepat disamping bantalku. Gaunnya yang kuning tertutup sebuah kertas lusuh bergambar sosok menyeramkan dengan tulisan “TOLONG” dibawahnya.
 ************

(bersambung)

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 4

0

 

Aku mengemudikan motorku dengan cepat, bahkan bisa dibilang mengebut. Setelah tiga puluh menit beradu di jalanan, akhirnya aku sampai di rumahku. Kuparkir motorku langsung di dalam rumah, sementara Roy sedang sibuk memandangku, memandang wajahku yang ketakutan.

“ada apa sih?” tanya Roy

“kita ngobrol dikamar saja” kataku sambil melepas sepatu-sepatuku –yang penuh oli. Aku berjalan masuk ke ruang tamu bersama Roy yang mengikuti dibelakangku.

“kamu menginap disini saja… aku masih merasa merinding…” kataku sambil mengelus-elus kulit tanganku

Roy berpikir sejenak…”oke..tak masalah. Memangnya ada apa?”

Aku masuk ke dalam kamar –beserta Roy . Langsung kududukkan diriku diatas ranjang, membuang senter yang ada disaku bajuku tepat diatas bantal, sementara Roy masih berdiri didepan pintu memandangiku. Aku menyeka keringat-keringat dingin yang masih membasahi keningku dengan telapak tangan. Dia memandangiku dengan penasaran, menungguku berbicara.

“aku tidak tahu kalau didalamnya masih ada boneka-boneka itu” kataku pelan, napasku masih berat

“boneka-boneka…… maksudmu boneka yang digantung?” tanya Roy

“ya… satu boneka berukuran besar, dan dua lainnya berukuran kecil.”

“tunggu… satu boneka sebagai sang ibu, dan dua anaknya?” tanya Roy

“astaga…kau melihatnya?” sambungnya

Aku mengangguk kecil, “ kukira itu hanya mitos saja” sahutku

“Kukira juga begitu, lalu? Melihat boneka saja kau takut?” kata Roy sambll tertawa kecil

“Boneka itu seolah bisa berjalan, dia mengikutiku ketika aku berjalan menuju halaman” kataku. Hawa dingin masih merasuk di kulit-kulitku, membayangkan boneka menyeramkan yang kulihat beberapa saat lalu.

“yang benar saja? Apa boneka itu hidup?” tanya Roy tak percaya

“aku tidak tahu… tapi itulah yang kurasakan… dan…” aku berhenti sejenak. Pikiranku membayangkan sesuatu menyeramkan yang kulihat di halaman belakang. Ya, hanya menceritakannya saja membuat diriku merinding.

“dan…” Roy mengulang kata-kataku, menungguku melanjutkannya
 “saat pertama aku sampai dihalaman, aku mendengar bunyi-bunyi seperti dahan yang saling bergesekan. Kuarahkan senterku ke arah pepohonan, dan aku tak percaya dengan apa yang kulihat” aku menghela napas panjang. Roy melotot memandangku, dia mendengarkanku dengan seksama.
 “aku melihat ada sebuah objek yang berayun-ayun,seperti seseorang, tapi tubuhnya seolah terbang diatas dedaunan lebat, sekilas kukira itu seperti mayat yang tergantung. Entahlah, karena aku tidak jelas melihatnya, entah itu setan atau memang mayat aku juga tidak tahu” ucapku tegang

“Tapi ketika aku mendekatinya… ada sesuatu dibawah objek tersebut. Sosok itu berada diatas tanah, berdiri memandangku.” sambungku

“maksudmu ada orang lain yang tinggal dirumah itu?” sahut Roy memotong

“tidak… karena saat senterku menyorot tubuhnya, aku melihat …… “

Aku mengambil sebuah pensil dan sebuah buku diatas mejaku, dan merobek selembar kertas didalamnya. Menggores ujung pensil membentuk sebuah visual mengerikan yang tergambar diotakku.
 “melihat ini” kutunjukkan kertas itu kepada Roy. Roy hanya mengerutkan keningnya melihat gambarku. Memandang sebuah gambar manusia bertubuh hitam, berambut panjang dan memiliki mata yang cukup besar dengan noda-noda hitam di pipi dan sekitar matanya. Mulutnya yang lebar memiliki lidah yang sangat panjang yang menjulur sampai sepuluh sentimeter dibawah bibirnya. Sementara lehernya sangat panjang, mirip leher boneka barbie namun berwarna hitam.

“em…itu mata dan pipinya kenapa?”tanya Roy sambil menunjuk gambar

“matanya merah dan mengeluarkan darah, yang kulihat darah itu sampai menetes dipipinya” kataku menjelaskan

“lalu… lehernya sepanjang ini?” tanya Roy lagi

“ya, sesaat itulah yang kulihat, sebelum akhirnya aku berlari ketakutan”

Roy hanya mengangguk.

“ponselmu kemana?” tanyaku ketus

“astaga… aku lupa memberitahumu, ponselku tertinggal juga dirumah” jawab Roy sambil tertawa kecil

“sialan kau Roy… padahal aku tadi ingin kau membantuku mengecek objek diatas pohon tadi.”

Roy tertawa… “iya maaf… tapi aku lebih tertarik dengan boneka-boneka yang kau maksud tadi, mungkin itu rahasianya”

“huh.. rahasia omong kosong” ucapku kesal

“jadi…apa kita mau kesana lagi? Aku belum melihat boneka-boneka itu” ucap Roy

“kesana saja sendiri….sudahlah… aku mau kekamar mandi dulu… kalau kau mau tidur, tidur saja, atau mau main juga silahkan” ucapku kesal

“ya… aku mau tidur dulu” ucap Roy

Aku bergegas berjalan kekamar mandi, mencuci kaki dan tanganku yang penuh lecet dan gatal karena gigitan serangga. Belum sempat aku melepas baju-bajuku sampai semua yang kulihat berubah gelap dengan tiba-tiba. Listrik mati.
 “sial”

Aku berjalan perlahan keluar dari kamar mandi. Tanganku meraba-raba mencari pegangan dan tepian dinding. Butuh beberapa saat sampai mataku bisa melihat samar-samar cahaya temaram dari cahaya bulan dari sela-sela ventilasi dinding.

Aku berjalan pelan menuju kamarku, berusaha meraih ranjang dan meraba-raba bantal untuk mengambil senter ku yang tadi kubuang diatasnya. Dan sesaat ketika aku menyalakannya, bulu-buluku kembali meremang, karena situasi kali ini hampir mirip dengan apa yang kualami beberapa saat lalu di rumah gantung. Aku menyorotkan senter ke atas dinding, menyinari sebuah detak jam yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

Aku menghampiri sebuah meja didekatku, menyalakan sebuah lampu bertenaga baterai yang berada diatasnya. Kulihat Roy sudah tertidur diatas ranjang, tubuhnya berbalut selimut yang gelap. Aku tidak mau menyorot senter kearahnya, takut dia terbangun. Aku berjalan keluar, mengamati ruang tamu yang kubiarkan gelap tanpa lampu cadangan. Senterku menyorot sudut-sudut tirai dan jendela, memastikan kalau semua sudah terkunci rapat. Tapi belum puas aku mengecek semuanya, ketika senter yang kubawa tiba-tiba padam.

“sial… baterainya habis” ucapku kesal sambil mengetuk-ngetuk senter diatas telapak tanganku. Tapi tetap tak menyala.

Aku berjalan menuju kamar Emi. Kulihat cahaya terang lampu baterai milik Emi terpantul temaram dari bawah celah pintunya.

“Em… kau belum tidur?” kataku beteriak kecil didepan pintu kamarnya

“ada apa?” teriak Emi dari dalam kamar

“aku mau pinjam sentermu” sahutku

“aku taruh dimeja dapur” teriak Emi

Aku berjalan meninggalkan kamar Emi, perlahan-lahan berjalan menuju dapur hanya dengan bantuan cahaya remang-remang bulan dari luar. Aku menghampiri sebuah meja diujung dapur, meraba-raba permukannya, dan mengambil sebuah senter. Aku menyalakannya sampai semua ruangan berubah menjadi terang dan semuanya tak terlihat gelap. Listrik menyala kembali.
 “Syukurlah”

Aku mematikan senter dan langsung menuju kamarku. Kumatikan lampu baterai yang menyala diatas meja. Langsung kubanting tubuhku keatas ranjang, tidur disamping Roy. Namun perasaan dingin tiba-tiba kembali merasuk membuatku harus menarik sebagian selimut yang membungkus Roy. Rasanya lumayan hangat, sampai aku menyadari bahwa ada yang aneh dengan ranjang ini. Sebuah guling berada disampingku, tepat diatas bantal dimana seharusnya Roy tidur.

“Roy?” ucapku heran. Aku terduduk diatas ranjang, Aku menoleh keseluruh ruangan, kebingungan.

(tok…tok…..tok….)

Sebuah ketukan pintu depan membuatku langsung beranjak bangkit dari ranjang, berjalan cepat menuju ruang tamu. Tapi hawa aneh yang semakin terasa dikulitku membuatku takut untuk membuka pintu. Masih segar ingatanku di rumah gantung ketika sosok menyeramkan berhasil membuatku ketakutan sesaat aku membuka pintu halaman belakangnya. Membayangkan sesuatu yang menyeramkan juga berdiri dibalik pintu ini.

(tok… tok… tok…)

“Kak…. kakak sudah tidur?”

Teriakan Emi diluar pintu membuatku semakin mendekati pintu. Aku meraih sebuah tirai, mengintip dari balik sela-selanya. Kulihat Emi berdiri kesal dari balik pintu, dia melihatku.

“kakak hanya memandangiku dan membiarkanku tidur disini?” teriaknya kesal

Aku langsung meraih slot pintu dan membuka kenopnya.Emi yang sedikit kesal langsung masuk kedalam, melepas jaket dan sepatunya. Aku hanya melongo melihatnya.

“kenapa?” tanyanya heran

“tidak….tidak apa-apa. Kau baru saja keluar?” tanyaku lirih

“aku keluar dan mengunci diriku sendiri dari luar? Mana mungkin lah kak…” jawab Emi sedikit tertawa

“Jadi, kau dari tadi diluar?” tanyaku dengan nada menekan

“ya… kakak tadi tidak bilang kalau mau keluar. Ya sudah…. Makanan kakak aku kasihkan ke gelandangan di luar sana, daripada basi..”ucapnya kesal

“iya… maaf” sahutku

“oiya…. tadi kak Mia dan tantenya kak Roy mencari kakak. Mereka menanyakan kak Roy. Dia sudah tiga hari tidak pulang kerumahnya, mungkin kakak tahu dimana dia”

Ucapan Emi membuatkku tiba-tiba teringat dengan Roy, Roy yang lenyap dari kamarku.

“dari sore tadi….dia…..disini……” kataku pelan, suaraku setengah terputus-putus karena kebingungan

“kapan?” tanya Emi protes

“tadi sore…. Dia main game denganku di kamar… tunggu, bukannya kau tahu? Kau membuatkan kopi untukku dan Roy dikamar” kataku meyakinkan

“Roy yang mana?Kulihat kakak hanya main game sendirian melawan CPU…. Mana ada Roy dikamar kakak. Makanya tadi aku minta secangkir kopi, karena aneh saja kakak minum dua cangkir kopi sendirian, mana satu cangkir saja selalu tidak habis” ucap Emi. Dia berjalan kesal menuju kamarnya.

Kata-kata terakhir Emi membuatku merinding. Membayangkan semua yang kulalui hari ini. Roy yang datang, sementara Emi tidak melihatnya. Roy yang mengajakku ke rumah gantung, dan kini tiba-tiba menghilang dikamarku. Juga Emi yang baru datang, sementara Emi lain sedang berbicara denganku beberapa saat lalu dalam gulita.

Hawa semakin dingin, membuatku langsung berlari menuju kamarku.

Aku menutup slot pintu kamarku, dan langsung membanting tubuhku diatas ranjang. Tangan dan kakiku masih gemetar karena hawa dingin yang aneh dan keringat dingin yang mulai membasahi tubuhku. Aku berusaha mencari posisi yang tepat agar bisa terpejam, tapi yang kurasakan justru ada sesuatu yang mengganjal dipunggungku. Kusadari bahwa aku menindih kertas bergambarku. Sebuah gambar menyeramkan yang kulihat dirumah gantung, sosok menyeramkan yang terus terbayang dikepalaku. Tapi ada sebuah goresan lain, bukan goresanku. Sebuah goresan tipis dibawah gambar, bertuliskan sebuah kata yang kubaca pelan, dan setelah itu, sebuah teriakan kecil terdengar dari kamar Emi.

(Bersambung)

 

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 3

0

~~~ Beberapa jam sebelumnya ~~~

(Tok..tok..tok..)

(Tok..tok..tok..)

(cklek…)

Remaja muda bertubuh jangkung, beralis tebal dan rambut lurus berbelah samping berdiri didepan pintu. Matanya yang cekung dan berkantung terlihat kesan masalah diraut mukanya.

“Roy? Ada apa?” kataku menyapanya

“emmm…. Tidak apa-apa, cuma mau main saja” ucapnya lirih

“kebetulan sekali, aku sedang main video game di kamar, mau gabung?”

“dengan senang hati…. Beneran nih?” tanya Roy, terlihat senyum lebar menghiasi mulutnya.

“iyalah… daripada nongkrong diluar, nanggung masih jam enam sore”

Aku dan Roy masuk ke dalam kamarku. Ruangan kecil 2x2 meter, dengan sebuah spring bed, sebuah lemari pakaian, sebuah meja dengan CPU diatasnya, televisi LCD dengan set speaker dan video game PS2, dan poster-poster band lokal menghiasi dinding berwarna biru tua.

Kusuruh Roy untuk menuggu dikamar, sementara aku menuju dapur menghampiri adik perempuanku, Emi, yang berumur lebih muda dua tahun dariku. Dia sibuk memasak makanan untuk kami berdua. Ya, hanya ada aku dan adikku di rumah ini, sementara orang tuaku sedang asyik dengan urusan pekerjaan mereka diluar kota.

“hey… buatkan kopi dua gelas… nanti bawa ke kamar ya” kataku

Emi hanya memandang kecut kearahku, “buat saja sendiri sana, kalau mau menungguku masih lama” sahutnya

“ayolah… aku juga sedang sibuk… terserah masih lama pokoknya nanti buatkan” aku kembali menuju kamar, meninggalkan adikku yang masih menggerutu di dapur.

Di kamar, kulihat Roy hanya memandang televisi yang memperlihatkan ratusan penonton distadion yang membeku. Tak kupedulikan Roy, karena aku langsung menghampiri sebuah stik video game untuk melanjutkan permainan bola ku -yang masih menungguku untuk menekan tombol ‘start’.

“tumben?” tanyaku kepada Roy

Roy hanya terdiam “akhir-akhir ini aku kebingungan, banyak masalah yang menimpaku” ucap Roy menunduk, raut mukanya menciut

“entahlah…aku juga tidak tahu harus kemana” lanjutnya

“kenapa? Masih karena Mia?” tanyaku dengan posisi mata yang fokus memandang layar televisi.

“ya…” ucapnya lirih

“bukankah kalian sudah baikan?” tanyaku lagi

“tidak…aku sudah putus dengannya”

Aku menengok sejenak ke wajah Roy, mengernyitkan dahi seolah ada yang salah “bukankah minggu lalu dia sudah minta maaf padamu? Aku kira itu sudah beres”

“tidak …sampai aku lihat lagi dia bersama Benny berdua di kampus” kata Roy, nadanya sedikit penuh tekanan amarah, ”aku yang memutusnya” sambungnya.

Aku hanya diam memandangnya, memandang wajah Roy yang penuh kebingungan dan emosi.

“lupakan saja… aku mau main” sahut Roy mengalihkan perhatianku yang terpusat padanya.

“nih” ucapku memberikan stik player 2 kepada Roy

Menit-menit selanjutnya, kami bedua asyik bermain bersama. Mencoba menghilangkan rasa bingung dan kekalutan dari sahabatku, Roy. Tapi tidak sampai satu pertandingan berakhir, Roy mengucapkan sebuah kata yang membuatku terpicu.

“mau taruhan?” sahut Roy

Aku tertawa pelan, “masih mau bertaruh?… kau tak pernah menang dariku”

“hah, aku tidak takut” sahut Roy

“okelah… kali ini kau akan mentraktirku lagi” ucapku mantap

“tidak, kali ini kau yang mentraktirku” ucap Roy tertawa lirih, namun langsung berubah murung kembali “tunggu…. Dompetku tertinggal dirumah..” sambungnya

“lalu?” kataku dengan nada protes

Roy melirik ke arah tumpukan kaset game yang tak jauh didepan televisi. Tangannya langsung mengambil sebuah kaset yang tersembul diantara kaset-kaset lainnya. Kaset game horror survival berlatar sebuah rumah seram, dan penampakan-penampakan menyeramkan. Game paling mengerikan yang pernah aku koleksi.

Roy memandangku, seolah menungguku untuk memberi jawaban.

“apa?” tanyaku

“kau tahu rumah gantung?” ucap Roy

“ya, pernah dengar ceritanya… kenapa?”

“bagiamana kalau taruhannya di rumah gantung?”

“apa?” tanyaku lagi, kini nada protesku lebih menekan

“ya… yang kalah harus menguji keberanian di rumah gantung, berani?”

“tidak… kau bahkan tak tahu di mana pastinya rumah itu...keburu larut malam untuk menemukannya” kataku mengelak

“aku tahu tempatnya… beberapa hari lalu aku menemukannya. Ayolah, cuma mengitari saja. ” kata Roy merayu, “Kau akan mengetahui sebuah rahasia dirumah itu yang tidak diketahui orang lain” sambungnya

Aku terdiam sejenak, “rahasia? Rahasia apa?”

“entahlah itulah yang akan kita cari tahu” kata Roy memandang wajahku yang penasaran

“oke… kalau kau tidak lagi murung didepanku.. .aku setuju” sahutku

“setuju… tapi berjanjilah kalau kau kalah, kau akan melakukannya… janji?” Roy hanya tersenyum kecil

“baik… janji” kataku mengiyakan, “ Tapi hanya sampai pintu belakang” tambahku

“terserah,” sahut Roy

Akhirnya kami berdua memulai taruhan. Tapi kini aku sedikit mengalah, Roy memegang stik player 1, agar aku bisa memberinya kebebasan untuk mengatur jalannya permainan. Ya… meskipun itu dulu sudah pernah kulakukan, tapi dia tetap saja selalu kalah.

(cklek…)

“nih kopinya” Emi masuk ke dalam kamar membawa sebuah nampan berisi dua cangkir kopi, menaruhnya di atas meja.

Dia memandangku heran,menatap layar televisi sebentar, kemudian berbalik dan mengambil lagi secangkir kopi diatas nampan.

“mau kau bawa kemana kopi itu?” tanyaku sedikit lantang

“sepertinya kau hanya butuh secangkir” sahut Emi cuek

“taruh saja kembali” kataku sambil tetap fokus ke permainan

Emi dengan sedikit kesal menaruh kembali cangkir kopi ke nampan, langsung berjalan keluar dari kamar.

“huh.. pelit” sahutnya dari luar kamar.

Fokusku kepada Emi membuat kosentrasiku buyar. Aku kemasukan satu gol dari Roy. Selanjutnya, aku berusaha mengimbangi Roy, tapi sampai waktu habis skor tetap sama. 1-0. Aku kalah.

Sesuai kesepakatan, aku dan Roy mulai berkemas. Aku tidak mau terlalu malam berada dirumah gantung, karena waktu sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kami berdua berangkat dengan sebuah motor, dan tanpa beban masih bisa bercanda tawa sementara sebuah rahasia mengerikan sedang menantiku dirumah itu, menungguku untuk menguaknya ke permukaan.

(bersambung)

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 2

0

Mataku memandang keempat tali besar didepanku. Meskipun cukup tinggi, ujung jari telunjukku masih bisa menggapai tali itu, dan sedikit mengayun-ayunkannya. Kuikuti gerakan pelan tali itu, menyaksikan laba-laba yang mulai merayap cepat keatas tali yang lebih tinggi. Laba-laba itu merayap cepat diatas langit-langit dan terus merayap menuju ujung ruangan, tempat dimana senterku menerangi sebuah objek besar bersandar diujung tembok. Baru aku sadar bahwa masih ada sebuah laci dikamar ini. Sorot senterku menerangi tumpukan mainan diatas laci. Sebuah boneka yang cukup besar sementara sebuah miniatur mobil sedan biru usang terparkir dikakinya. Matanya terbuat dari plastik berwarna biru yang kotor, kulit kainnya yang kecoklatan penuh debu, dan gaun kuningnya seperti kain yang terciprat lumpur, yang sangat kusam. Mulutnya menampakkan senyuman dingin yang terbuat dari jahitan benang berwarna merah.

Terlihat pula dua boneka kecil menyembul dari belakangnya, mengintip seolah keduanya bersembunyi ketakutan melihatku, dari balik punggung boneka besar, mirip anak-anak yang berlindung ketakutan di balik punggung ibunya. Kuamati baik-baik mata buatannya yang berwarna biru, rambut-rambutnya yang lebih mirip sumbu kompor, dan terlihat pula disekitar lehernya seperti bekas guratan melingkar, membentuk noda kecoklatan.

(ciiiitttt…)

Sebuah decitan lirih membuatku terkejut. Decitan pintu yang perlahan menutup yang membuatku mengarahkan senter kearah pintu dibelakangku. Pintu itu bergerak pelan, membuat angin dingin merasuk ke leherku. Sebuah tawa mengambang terdengar di seluruh ruangan. Tawa mirip seorang anak, dari belakangku. Sontak aku berbalik dan kuarahkan senterku ke kumpulan boneka tadi sampai kulihat boneka yang paling besar mulai mengedipkan mata plastiknya.

Aku mundur perlahan, memastikan bahwa yang aku lihat tidaklah nyata. Tapi aku tak peduli nyata atau tidak, karena aku ingin segera keluar dari ruangan ini.

Aku berjalan cepat menyusuri ruang demi ruang, menyorotkan senter ke sudut-sudut gelap, mencari pintu tembusan ke halaman belakang. Hingga akhirnya aku tiba di sebuah ruangan yang sangat pengap, penuh dengan barang-barang rongsokan. Ruangan yang sebetulnya luas berukuran sekitar 5x5 meter, tapi banyaknya barang-barang disini membuat sudut-sudut menyempit dan hanya menyisakan bagian tengah ruangan untuk tempat berjalan. Dan dari ruangan seluas ini, hanya ada satu pintu kecil di ujung yang lain dariku. Baru kusadari pula bahwa semua barang dan perabot yang berada dirumah ini sebagian besar ditumpuk menjadi satu dalam ruangan sesak ini. Aku berjalan perlahan, menyorot tumpukan-tumpukan barang-barang yang ada disini. Kursi-kursi saling ditumpang-tindih secara terbalik, sebuah televisi 14” berlayar debu dan sarang laba-laba, roda-roda bekas sepeda yang ditumpuk diatas roda-roda mobil, alat-alat bangunan yang berbaur menjadi satu dengan alat-alat memasak yang sudah berkarat, sebuah lemari es kecil berkerak, CPU tanpa monitor, tumpukan jas usang, mainan –mainan kotor, tumpukan koran bekas, dan…. ada sesuatu diatasnya.

“bagaimana kau ada disini?” ucapku lirih

Barang itu duduk diatas ikatan koran, senyum tipis merahnya tetap terlihat kotor lengkap dengan gaun kuning berlumpurnya. Mata plastiknya menatap kosong kearahku, memantulkan sedikit cahaya dari senterku. Boneka usang itu hanya duduk sendiri, tanpa anak-anak yang ketakutan dibelakangnya. Dan lagi, kulihat matanya berkedip untuk kedua kalinya, disertai dengan alunan tawa halus anak-anak yang entah dari mana terngiang ditelingaku.

Perasaan aneh tiba-tiba merasuk menembus kulit-kulitku, membuat berdiri bulu-bulu halus di tengkuk dan lenganku. Keringat dingin mulai merembes dari pori-pori kulitku.Tak butuh lama, aku langsung berlari menuju pintu –yang kini berjarak dua meter dariku- dan kubuka gagangnya dengan keras.

(Klangg… Srakk…)

“sial”

Sebuah bola sepak dan botol berisi oli yang tak kuketahui keberadaannya dibawah pintu, terguling karena dorongan pintu yang keras, menumpahkan sebagian besar cairan oli yang licin diatas lantai -dan sebagian lagi menghiasi sepatuku. Sementara bola menggelinding cepat menabrak sekotak berisi paku payung yang membuat isinya berhamburan diseluruh lantai ruangan. Tak peduli dengan kondisi ruangan, aku langsung melangkah cepat keluar melewati pintu. Dan rasa lega merasuk ketika kini aku berdiri disebuah halaman yang penuh rimbun rerumputan dan pepohonan buah mangga. Kurasa ini adalah halaman belakangnya, ya… inilah garis finish.

(Srak….Srak…klak….)

Sebuah bunyi dari arah pepohonan mengejutkanku. Pepohonan gelap yang sepintas terlihat seperti bergoyang-goyang, tapi bukan karena angin, karena tak ada angin disini. Kuarahkan senterku kearah pepohonan, dan aku sangat terkejut dengan apa yang kulihat.

Kurogoh ponsel disakuku, mencari kontak bertuliskan ‘Roy’ dan menekan tombol panggil.

“ayo Roy… angkatlah”

Berkali-kali kucoba menelepon Roy, tapi yang terdengar hanya nada ringtone panjang, dan setelahnya hanya ada suara jawaban klasik khas operator "nomer yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar sevice area, cobalah beberapa saat lagi"

Aku terdiam memandangi objek dikejauhan, berharap Roy bisa membantuku disini.

"baiklah....akan kulakukan"

Aku memberanikan diri mendekati pohon itu. Menyaksikan pemandangan mengerikan dihadapanku. Semakin mendekat yang akhirnya kusadari ada sesuatu yang aneh, karena kini yang ada dihadapanku benar-benar mengerikan.

Aku langsung berlari menjauh halaman, berlari menuju samping rumah. Kudengar beberapa suara aneh mulai bergema dikepalaku, suara tawa berbaur dengan suara-suara benda jatuh yang sekilas kudengar dari dalam rumah. Kututup satu telingaku dengan sebelah tangan sementara tanganku yang lain memegang senter –yang menyorot ke tanah secara tak beraturan. Butuh perjuangan keras melewati halaman samping yang penuh rumput-rumput rimbun, semak berduri, dan beberapa balok-balok kayu yang tersembunyi diantara rerumputan. Sesekali kakiku menginjak batu-batu lancip yang bisa langsung kurasakan sakitnya. Dan akhirnya, aku berhasil sampai di perkarangan depan, tempat Roy menugguku, dia pasti akan tertawa melihat keadaanku.

“Roy… sial… aku tidak mau kedalam sana lagi Roy” teriakku sambil membungkuk kelelahan penuh keringat dan napas yang seperti tercekat. Aku menunggu Roy tertawa mendengar kata-kataku, tapi tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara napas beratku, dan degup jantungku yang semakin cepat.

“Roy… aku sudah selesai” lanjutku. Aku mendongak, memandang kesekelilingku, tapi tak ada siapapun disini. Berpikir bahwa Roy meninggalkanku?

“Roy” teriakku

“Roy… ini tak lucu, ini….”

Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, sebuah tepukan ringan mendarat dipundakku. Membuat jantungku kembali berdetak kencang karena kaget.

“apanya yang lucu?” ucap Roy

Tanpa pikir panjang, aku langsung menggandeng tangan Roy “sudah.. akan aku ceritakan di rumahku, yang penting aku mau menjauh dari rumah terkutuk ini” ucapku menyeret lengan Roy yang mulai dingin. Kulihat ekspresinya yang setengah puas, heran dan senang menatapku, seolah dia menang dua skor dariku.

(bersambung)

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

RUMAH GANTUNG : Part 1

0


“inikah rumah gantung yang kau maksud?” tanyaku

“yup…benar” jawab Roy mantap

Aku mengamati sejenak rumah tua kosong -yang disebut rumah gantung- didepanku. Bangunan kokoh tanpa pagar dengan cerobong asap hitam yang menjulang di sisi belakangnya. Tembok-temboknya yang gelap mengelupas menunjukkan lapisan bata didalamnya, pintu dan jendela-jendelanya penuh dengan lapisan kotor debu dan kerak sementara ruangan didalamnya terlihat gelap dan suram. Cukup suram untuk membuatku menelan ludah saat melihatnya.

“oke…sesuai perjanjian kita, kau yang harus maju” ucap Roy “janji adalah janji” lanjutnya sambil menepuk pundakku

“baik-baik, janji adalah janji” sahutku dengan nada sindiran, terlihat senyum puas di bibir Roy.

Kunyalakan senterku dan langsung masuk ke dalam pekarangan yang tak terlihat jalurnya lagi karena rimbunnya rumput-rumput liar. Benar-benar tak terawat. Aku menengok kebelakang dan hanya tampak Roy yang menunjukkan wajah penuh puas, puas akan kemenangannya untuk mengerjaiku. Ya, sesaat lalu, kami berdua asyik bermain game sepak bola. Sampai tiba saat Roy mengajakku untuk bertaruh. Awalnya kami bertaruh untuk saling traktir makanan bagi yang kalah, sampai Roy mengeluh bahwa dompetnya tertinggal di rumahnya. Sebuah kebohongan yang konyol, karena sekilas didepan tadi aku melihat ada sesuatu yang mengganjal dari balik saku celana belakangnya. Hingga taruhan berubah ketika sebuah kaset game rumah hantu menyembul ditengah tumpukan kaset-kaset game yang membuat Roy teringat dengan rumah gantung. Ya, sudah bisa ditebak. Taruhan berganti, dan kini lebih murah karena kau tak akan mengeluarkan uang sepeser pun. Karena taruhannya hanya berjalan menyusuri rumah gantung dari pintu depan sampai halaman belakangnya.

Lantai berdecit kecil ketika kaki kananku pertama menginjak dilantai teras rumah. Cukup kaget mengingat rumah semegah ini ternyata terasnya terbuat dari kayu. Tanganku meraih kenop pintu yang tak terkunci, dan langsung masuk kedalamnya. Bau apek, pengap dan debu beradu didepanku. Sorot senter yang kuarahkan menunjukkan kekosongan rumah ini. Tak ada satupun perabot rumah diruangan ini dan hanya menyisakan sarang laba-laba yang terbentuk indah disetiap dinding dan ujung-ujung langit-langit. Debu-debu beterbangan ringan tiap kali aku menjejak lantai beton dibawah kakiku.

Aku melangkah melewati ruang yang cukup besar –yang mungkin ruang tamu- yang kosong, diujungnya terlihat sekat ruangan yang lebih kecil lagi dengan beberapa ruang mirip beberapa kamar. Ruang itu hanya meninggalkan sebuah ranjang kayu yang sudah lapuk. Aku berjalan lagi menengok ke ruang sebelahnya ketika kulihat bukan hanya sarang laba-laba dan sebuah ranjang didalamnya, melainkan juga empat utas tali tersimpul rapi tergantung diatas langit-langit. Tali kekang yang cukup besar untuk menjerat nyamuk atau serangga-serangga malam yang tak sengaja terbang melewati lubang jerat -yang kini telah dihuni sekelompok laba-laba ditengahnya. Laba-laba yang tak tahu akan sejarah kelam dari tali-tali besar yang mereka gunakan sebagai rumah itu. Tali-tali yang membunuh seluruh penghuni rumah ini. Tali-tali yang cukup besar untuk memasukkan leher seorang ayah, ibu dan kedua orang anaknya.

Baiklah, akan aku ceritakan sebuah kisah tentang rumah gantung.

*************
 Konon, rumah ini dulu dihuni oleh keluarga kaya. Keluarga itu memiliki sebuah perusahaan besar yang terkenal maju dimasanya. Tapi, sebuah krisis besar di perang dunia II membuat usahanya tersebut bangkrut dan terpaksa menjual semua aset-aset yang dimilikinya. Hutang-hutangnya semakin menumpuk tanpa ada penghasilan yang masuk ke rekeningnya. Sang ayah yang frustasi akhirnya memilih jalan yang cukup mengejutkan. Dia berkeyakinan bahwa dia harus mengurangi jatah uang untuk keluarganya. Sampai akhirnya, suatu hari ia menaruh obat tidur yang dia taburkan diatas makanan istri dan kedua anaknya saat makan malam. Bisa ditebak, istri dan kedua anaknya yang terbius obat langsung terkapar, hingga sang ayah yang sudah gelap mata membopong keduanya kedalam kamar. Di dalam kamar, sang ayah mencekik leher ketiganya hingga tewas. Lalu, dia membuat tali kekang diatas langit-langit dan menggantung mayat-mayatnya seolah mereka bertiga bunuh diri. Selanjutnya, skenario berjalan sempurna. Sang ayah memerankan perannya sebagai ayah yang ditinggal bunuh diri oleh keluarganya. Dia bebas dari segala macam tuduhan.

Hari berganti minggu, kepergian keluarganya tetap tidak mengurangi hutang yang ada. Malah kini tambah menumpuk. Beberapa kali dia mencoba mencari pekerjaan, tapi selalu ditolak, seolah dia mendapat sebuah kutukan. Rasa bersalah kepada keluarganya mulai terbayang. Rasa penyesalannya membuat dirinya menjadi tak waras. Semua orang mulai mengganggapnya gila. Besarnya penyesalan membuat pria itu membangun keluarga tiruannya sendiri, didalam kamarnya. Sebuah boneka besar yang dia anggap sebagai istri, dan dua boneka kecil sebagai anaknya. Dia bermain seolah-olah dia ayah yang pekerja keras. Meja-meja ditumpuk seolah menjadi tempat kerjanya. Lengkap dengan mainan-mainan mobil didepannya. Tiap hari dia melakukan hal yang sama. Bermain peran dengan boneka-boneka bisu, memainkannya dengan penuh gembira seperti seorang anak yang mendapatkan mainan baru dari orangtuanya. Hingga suatu ketika kakinya tak sengaja merobohkan tumpukan meja, dan dia terlihat sangat murung. Dia teringat akan kebangkrutannya dan usahanya yang hancur berantakan. Teringat dengan istri dan anak-anaknya yang dibunuhnya. Rasa amarah dan penyesalannya membuat tubuhnya beringas, marah dan menghancurkan meja-meja didepannya. Selanjutnya, dia membanting-banting ketiga boneka didepannya, membuat tiga simpul tali dan mencekik leher kapasnya. Kemudian dia menggantung ketiga boneka itu persis ditempat dia menggantung istri dan anak-anaknya. Dia menangis, meringkuk memandang boneka-boneka yang tergantung lehernya diatas langit-langit. Tiap hari dia memandang boneka itu dan berulang kali meringkuk meminta maaf, seolah boneka itu hidup. Boneka tetaplah boneka, dan orang gila tetaplah gila. Beberapa bulan kemudian, masyarakat dihebohkan dengan penemuan pria yang tergantung dikamar. Pria yang terlihat berantakan dengan otak tak waras. Tubuhnya tergantung persis disamping ketiga boneka yang juga tergantung sepertinya.

*************

Ya, itulah kemudian rumah ini mendapat julukan rumah gantung. Dan sekarang aku sedang berada didalamnya.....

(bersambung)

Lanjutkan Membaca

0 komentar:

THE TWIN

0

Kami berdua adalah saudara kembar cacat yang unik. Aku dan kakakku memiliki kelainan satu sama lain. Aku dilahirkan dalam keadaan buta, sedangkan kakakku dilahirkan dalam keadaan bisu. Sayangnya, sebuah kecelakaan menimpa kakakku saat masih kecil, sehingga dia kini tidak bisa berjalan dan hanya bisa duduk di kursi roda. Sedangkan aku, yang tidak pernah bisa melihat dunia menjadikan sifatku penuh dengan rasa takut, karena aku hanya bisa mengandalkan indra pendengaran. Aku tidak bisa mengetahui sesuatu yang baik dan buruk hanya melalui pendengaran.
Sebagai saudara yang dibesarkan bersama, kami belajar sebuah cara untuk berkomunikasi satu sama lain. Kakakku memakai sebuah lonceng kecil ditangannya, dan membunyikannya dengan isyarat yang terbatas saat kakakku butuh pertolonganku atau ingin berbicara denganku. Kami mengingat isyarat lonceng itu sebagai berikut :
- Satu bunyi lonceng berarti “iya, atau benar”
 - Dua bunyi lonceng berarti “tidak, atau salah”
 - Tiga bunyi lonceng berarti “tidak tahu”
 - Bunyi lonceng panjang dan cepat berarti kakakku ingin berbicara denganku.
Lain dengan ibuku, dia senang dengan cara komunikasi kami. Terkadang ibu juga bermain-main dengan kami , sesekali dia meniru komunikasi kami dengan versinya sendiri. Dia menggunakan sebuah tepukan tangan, agar membedakannya dengan sahutan kakakku. Tapi baitnya sama dengan kode isyarat milik kakakku.
Kebiasaan kami di malam hari adalah bersantai. Aku sering menyendiri di ruang tamu, mendengarkan radio. Sedangkan kakakku lebih suka memandang keluar jendela, memandang luas cakrawala di malam hari yang bertaburan bintang. Karena menurutnya hanya itulah yang bisa menghiburnya. Apalagi sekarang adalah musim panas, dengan langit yang cerah.
Tapi itu semua adalah sekilas masa lalu. Segalanya berubah total dan semua dimulai pada suatu malam, di akhir musim panas tahun lalu…..
*********
 Klingklingklingkling
“Ada apa kak? Kakak butuh sesuatu?” tanyaku
Kling Kling
“Kakak melihat sesuatu?”
Kling
“Apa itu ibu?”
Kling
“Apa yang dilakukannya? Apa dia kemari?”
Kling Kling
“Dia menjauh?”
Kling Kling
“Dia diam saja seperti biasanya?”
“Kling
“Dia terlihat senang?”
Kling
“Syukurlah, aku ikut senang”
*********
HARI BERIKUTNYA
Klingklingklingkling
“Kakak butuh sesuatu?”
Kling Kling
“Kakak melihat sesuatu?”
Kling
“Apa itu ibu?”
Kling Kling
“bukan ibu?”
Kling
“seseorang?”
Kling
“Apa yang dia lakukan? Apa dia mendekat ke rumah kita?”
Kling Kling
“Jadi, dia tidak ada hubungannya dengan kita?”
Kling Kling Kling
“Ya sudah”
Klingklingklingkling
“Ada apa? Apa dia menuju ke rumah kita?”
Kling Kling
“Dia menjauhi rumah kita?”
Kling kling
“Dia hanya mengamati kita?”
Kling
“Mengapa dia mengamati kita?”
Kling Kling Kling
“Dia perempuan?”
Kling Kling
“Oke, dia laki-laki, sekarang jangan dihiraukan. Kakak tutup saja tirainya”
 (bunyi tirai)
********
 TIGA HARI BERIKUTNYA
Klingklingklingkling
“Apa kakak butuh sesuatu?”
Kling Kling
“Kakak melihat sesuatu?”
Kling
“Apa itu ibu?”
Kling
“Aku sangat senang kak, apa dia kemari menemui kita? Aku sangat rindu dengannya”
Kling
“Astaga… apa ibu sudah sampai di rumah?”
Kling
“Apa ibu berjalan kemari?”
Kling Kling
“Kenapa? Ibu pergi?”
Kling Kling
“Jadi, ibu hanya memperhatikan saja?”
Kling
“Kenapa?”
Kling Kling Kling
“Apa dia terlihat senang?”
Kling Kling
“Sudahlah, jangan dilihat lagi kak. Itu membuatku ikut sedih”
*******
HARI BERIKUTNYA
“Kak…”
Kling
“Aku rindu ibu”
Kling
“Kakak tidak melihat ibu kemari?”
Kling Kling
Klingklingklingkling
“Ada apa? Apa kakak melihat ibu?”
Kling kling
“Bukan Ibu?”
Kling
“Yang kakak lihat itu, apa dia terlihat seperti orang baik?”
Kling Kling Kling
“Dia menghampiri kita?”
Kling
“Dia kerumah kita?”
Kling
(menuggu beberapa lama)
“Kenapa tidak ada ketukan pintu kak?”
Klingklingklingkling
“apa dia pergi?”
Kling Kling
“Ada apa? Dia tidak masuk?”
Kling
“Dia hanya mengamati kita?”
Kling
“Dia pasti punya rencana buruk”
Kling Kling Kling
“Hey, siapapun yang ada diluar rumah kami, kalau tidak ada urusan pergi saja dari sini” teriakku
(Hening)
“Apa itu membantu?”
Kling
“Syukurlah”
*******
LIMA HARI BERIKUTNYA
“Kakak…”
Kling
“bisa kakak putarkan radio untukku?”
Kling
(Suara radio)
Klingklingklingkling
“Ada apa kak? Kakak butuh sesuatu?”
Kling kling
“Kakak melihat sesuatu?”
Kling
“Apa ada tamu?”
Kling Kling
“Kakak melihat ibu?”
Kling
Klingklingklingkling
“Kenapa?Apa ibu kemari?”
Kling kling
“Ibu menjauh?”
Kling
Klingklingklingkling
“Apa ibu kembali lagi?”
Kling kling
“Ibu menjauh?”
Kling kling
“Kakak tidak melihat ibu?”
Kling
“Ada orang lain?”
Kling
“Apa dia ada urusan dengan kita?”
Kling kling kling
“Apa dia mendekat?”
Kling
(Hening)
“Tidak ada ketukan, apa dia orang yang sama yang mendekati kita beberapa hari ini?”
Kling
“Dan dia hanya memandangi kita?”
Kling
Klingklingklingkling
“Ada apa? Dia menjauh?”
Kling Kling
“Apa yang kakak lihat? Aku tidak mengerti”
(Bunyi seret kursi roda, kakak mendekatiku, menyambar tanganku. Menuntun jari telunjukku dan menempelkannya ke leherku lalu menggesernya pelan kesamping)
“Dia mengancam kita?”
Kling Kling Kling
“Dia sekarang memegang pisau?”
Kling Kling
Klingklingklingkling
“Dia membawa pisau?”
Kling Kling
“Dia pergi?”
Kling
*******
HARI BERIKUTNYA
Hari ini aku sangat kelelahan, membuatku tertidur dari sore. Aku terbangun tepat ketika suara ketukan pintu terdengar di depan rumahku. Kudengar seret kursi roda dilanjutkan dengan suara pintu yang berderit.
KLATAKKK……KLINGG….
“Kakak….?Suara apa itu?” aku terbangun
(Hening)
Aku berdiri, mengambil tongkat disebelahku, dan berjalan perlahan keluar dari kamar.
“Kakak?”
Kling
“Apa kakak terjatuh?”
(Hening)
Kling
“Kakak tidak apa-apa?”
Kling
“Syukurlah, siapa yang bertamu?”
Kling Kling Kling
“Tidak ada orang?”
Kling
“sudahlah kak, aku mau tidur lagi. Jangan menakutiku”
Kling
 (Bunyi seret kursi roda)
*******
 DUA HARI BERIKUTNYA
“Kakak..”
Kling
“Kenapa malam ini panas sekali? Bisa tolong hidupkan kipas anginnya?”
Kling Kling
“Kenapa? Kakak jauh dari kipas angin?”
Kling kling
“Apa kipas anginnya rusak?”
Kling
“Kipas angin murahan”
Kling
“Apa kakak melihat sesuatu yang bisa diceritakan?”
Kling kling
“Ya sudah, aku mau tidur saja”
******
HARI BERIKUTNYA
Aku mendengar ada bunyi langkah kaki, entah itu diluar atau didalam rumah. Aku segera mengecilkan volume radioku.
“kakak…”
Kling
“apa kakak melihat ibu?”
Kling kling
“Aku mendengar langkah kaki. Apa kakak mendengarnya?”
Kling kling
“Tapi aku yakin mendengarnya”
Kling kling kling
“Ini menakutkan, karena aku merasakan rumah ini semakin aneh”
Kling kling kling
********
HARI BERIKUTNYA
“Kakak…”
(Hening)
“Kakak…”
Kling
“apa kakak tidak melihat ibu? Sudah lama sampai terakhir kakak melihatnya, aku sangat rindu”
Kling
“Kak…. Bisa kakak hidupkan radio? Hanya itu yang bisa menghiburku”
Kling kling
“Kenapa? Bukankah kakak dekat dengan radio? Apa radionya kakak pindah dari sisi jendela?”
Kling kling
“Kenapa? apa radionya rusak?”
(Hening)
Kling
“Astaga… aku akan membeli yang baru besok”
******
HARI BERIKUTNYA
Aku membuka lemariku, membuka laci kecil didalamnya dan mengambil sebuah dompet.Aku merogoh isinya, dan membuatku sangat terkejut.
“kakak….”
(Hening)
“Kakak”
(Suara langkah kaki)
“Kakak”
(Hening)
“Kakak”
Kling
“Kak… ada orang lain menyusup kerumah kita… dia mengambil uangku… semuanya”
Kling kling kling
“Sungguh kak, aku tadi juga seperti mendengar langkah kaki dirumah ini, aku sangat takut kak”
Kling Kling ….. kling….. kling…….
(hening)
“Kak… aku tidak mengerti kodenya….apa tangan kakak terluka?”
Kling kling
“Apa kakak habis terjatuh?”
Kling Kling
“Kak… uangku hilang semuanya, aku harus menelepon polisi kak”
Kling Kling
“Kenapa? Apa kakak yang mengambil uangku?”
Kling
(Hening)
“untuk apa? Uang kakak habis?”
Kling
“Astaga… kakak belikan apa saja? Kita harus menunggu satu minggu lagi sampai uang bantuan selanjutnya sampai ketangan kita”
(Hening)
“Kak… apa kakak marah padaku”
(Hening)
“Kak…”
(Hening)
“Kak?Apa kakak marah?”
Kling kling kling (suara lonceng menjauh dari kamar)
(hening)
“Seandainya ibu disini, semua pasti tidak akan seperti ini”
******
HARI BERIKUTNYA
“Kakak…”
Kling
“kak… aku sangat kesepian, tak ada radio, dan kakak sudah jarang berkomunikasi. Seharian kakak hanya malam hari mengobrol denganku”
(Hening)
“apa kakak marah padaku?”
(Hening)
(Suara tawa tertahan)
“kakak…kenapa tertawa? Ada yang lucu?”
(Hening)
Kling kling
“apa yang membuat kakak senang? Apa kakak melihat ibu?”
Kling kling
“Kakak tidak melihat sesuatu? Aku berharap kakak melihat sesuatu yang bisa kakak bicarakan denganku”
Kling
“Kakak melihat seseorang?”
Kling
“Ibu?”
Kling kling kling
“Bukan ibu?”
(Hening)
Kling
“Dia mendekati kita?
Kling
“Akan ada tamu, apa dia sendirian?”
Kling
“Laki-laki?”
Kling kling
“seorang perempuan? semoga dia bisa membantu kekurangan kita”
Kling
(Suara ketukan)
(Hening)
“kakak… dia datang”
Kling
(Hening)
(suara langkah kaki)
“Kak… dia sudah masuk ke dalam rumah?”
(Hening)
(Bunyi pintu terbuka)
 (Bunyi teriakan)
Klingklingklingklantangklantangklingklingkling…brukkk….
“kakak…? Apa kakak terjatuh? Siapa tadi yang berteriak? Apa tamu kita berteriak? Tapi kurasa itu bukan suara perempuan kak”
(Hening)
“kak…jangan membuatku takut”
(Hening)
“Kak… apa ada sesuatu?”
(Hening)
“Kenapa hanya diam? Kakak tidak apa-apa?”
Kling
(Hening)
“Aku tadi mendengar teriakan. Apa kakak mendengarnya?”
Kling
“Siapa tamunya? Aku yakin teriakan tadi didepan pintu”
Plok
“Tunggu… itu ibu?”
Plok
“Ibu disini?”
Kling
Klingklingklingkling
“Ada apa? Apa ibu pergi?”
Kling
“Ibu… aku merindukan ibu…”
Plok
*******
Beberapa jam berikutnya, seluruh kepolisian mengunjungi rumahku. Mereka menjadikanku saksi (buta) atas sebuah kasus aneh dirumahku malam itu. Sebuah kasus yang tak bisa aku jelaskan. Seorang pria tak kukenal ditemukan mengenaskan tercabik-cabik didepan rumahku, sementara polisi menemukan kakakku menjadi mayat yang membusuk yang sudah terkubur beberapa hari dipekarangan rumah. Kakakku terbunuh sadis, lehernya hampir putus karena tebasan pisau. Entah kenapa kepolisian mengatakan bahwa semua hartaku juga habis , sehingga pejabat sosial kini menempatkanku dalam sebuah panti. Tak ada keluarga disini, tak ada bunyi lonceng, tak ada kakak dan ibu.
Lanjutkan Membaca

0 komentar: