Alfin dan Alex turun bersamaan dari sebuah angkot. Mereka
mengamati suasana sekitar yang panas terik namun terasa sejuk karena banyaknya
rerimbunan tanaman disekitar mereka. Mereka menelusuri jalanan aspal yang bergelombang.
Rumah-rumah kosong disekitar mereka nampak coklat kehijauan diterpa angin siang
itu yang terasa hangat. Kurang lebih satu kilometer berjalan, mereka berhenti
tepat di sebuah rumah yang tak asing bagi mereka. Mereka berdiri agak lama
disana, dan terlihat Alfin sibuk dengan handphone ditangannya.
“si Pras kemana sih? Apa kita yang sampai duluan?” gerutu
Alfin
Tak ada sahutan dari Alex. Alex mulai berjongkok dibawah
Alfin sambil bersandar pada dinding pagar rumah. Sesekali dia menguap, merasakan
terpaan angin dan suara rindang pepohonan disekitarnya.
“Hendri jadi ikut?” ucap Alex lirih
“kayaknya tidak. Dia lagi bermasalah sama perutnya”
“huh, alasan lama” gerutu Alex
Mereka berdiam cukup lama disitu, hingga karena terik
matahari yang semakin menyengat memaksa mereka berdua untuk pindah tempat, ke
dalam rumah.
“lihat!” seru Alex sambil menunjuk ke arah rumah
Alfin pun menoleh ke arah yang dituju dan melihat pintu
rumah yang terbuka. Sebuah bekas jejak terlihat timbul diatas lantai teras.
“apa mungkin Pras sudah didalam? Tapi mengapa dia tidak
memberitahu kita?” ujar Alfin
“entahlah” sahut Alex
Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah. Namun baru saja
masuk ke ruang tamu, Alfin tiba-tiba terdiam. Dia berdiri, mengamati lorong
rumah yang terhampar didepan mereka. Teringat hari saat itu disana.
“kenapa?” Alex menoleh ke belakang, kearah Alfin yang
berdiri terdiam cukup jauh darinya
Alfin hanya menggeleng pelan lalu berjalan menghampiri Alex.
Mareka berdua pun berbelok ke ruangan yang tak asing begi mereka.
“hey, ada yang tidak beres disini” Alex berjalan mendekati
jendela dan langsung membuka tirai kotor yang menutupinya. Terpaan tirai yang
cepat, membuat udara disekitar mereka mendadak penuh debu yang menyesakkan.
Alex mengibaskan tangan kanannya disertai batuk dan tangan kirinya refleks menutup
hidung dengan bajunya, sambil menyaksikan keadaan luar jendela.
"ternyata tembok ini tidak menyatu dengan pagar ya, cuma bagian teras aja." ucap Alex dengan nada bicara tak jelas karena baju yang menutup mulutnya. Wajahnya memandang sebuah gang buntu yang memanjang hingga ke belakang rumah. Gang yang hanya memiliki lebar satu meteran dengan sisi depan rumah yang buntu tertutup tembok teras rumah. Rimbunnya rumput dan semak membuat gang itu seolah sebuah pagar baru yang melapisi luar rumah itu.
"Lex..." sahut Alfin lirih. Alfin langsung menoleh ke arah temannya.
“apa aku yang salah lihat atau memang terakhir kita kesini
memang begini?” ujar Alfin sambil menunjuk ranjang tak jauh dari mereka. Raut wajah Alex berubah heran. Tangannya melepas baju yang menutup mulutnya. Mereka berdua terdiam, saling berpandangan.
“tidak, aku yakin disini ada sprei, tapi kenapa hanya
tinggal kasurnya saja?” sahut Alex
Mereka berdua terdiam beberapa saat, mengamati kasur lusuh
dan hampir hancur didepan mereka. Bekas jejak kaki juga terlihat disekitar
ranjang, membuat mereka berdua mengamati kaki-kaki mereka, saling membandingkan
untuk menemukan pemilik dari jejak disekitarnya.
“apa mungkin Pras melepas spreinya?”
“tapi buat apa?” sahut Alfin
Alex hanya menggelengkan kepalanya.
KRITT… KRITTT
Sebuah bunyi asing terdengar di luar ruangan.
Alfin dan Alex saling berpandangan.
“suara apa itu?” bisik Alfin mendekat kearah Alex
“aku juga tidak tahu” ucap Alex lirih sambil mundur sedikit ke
arah jendela
“apa ada orang lain disini? Gelandangan mungkin?” sahut
Alfin
KRITTT.. KRITTT
“Pras? Kaukah itu?” teriak Alex spontan
Tak ada sahutan. Suasana ruangan itu menjadi hening. Hanya
terdengar suara angin dari luar jendela dan suara dari tenggorokan Alfin yang
berusaha menelan ludahnya dengan susah payah.
“coba telfon Pras lagi, kalau memang dia tidak jadi kesini
lebih baik pulang saja” ucap Alfin lirih
Alex menjawabnya dengan anggukan pelan. Tangannya mulai
mengambil handphone dari sakunya, dan menekan sebuah panggilan terakhir
didalamnya. Tak lama, sebuah suara dering ponsel menggema di seisi rumah. Nada
dering Pras, dan tak lama kemudian nada tersebut hilang, berganti sebuah suara
lirih dari handphone Alex.
“halo, Pras? Kamu dimana?” uap Alex
“kamu sudah didalam?” tanya Pras
“iya, kamu dimana?” Alex menekankan pertanyaannya
Tak ada sahutan balik dari Pras, dan kemudian panggilan
terputus.
“KALIAN LANGSUNG SAJA KEBELAKANG, AKU ADA DI RUANG DAPUR.
CEPAT KEMARI”
Sebuah teriakan terdengar dari luar ruangan.
“Oke, kami kesana” Alex balas berteriak
Alex pun mendorong tubuh Alfin untuk bergerak keluar
ruangan. Alfin pun berjalan disamping Alex.
Mereka keluar dari ruangan dan menuju sebuah lorong rumah
yang terdiri dari beberapa ruangan dikanan dan kirinya. Suasana rumah yang
cerah membuat ruang-ruang didalamnya terlihat jelas. Dua ruang pertama kiri dan
kanan, merupakan sebuah kamar tidur yang sekilas mirip dengan ruang yang mereka
masuki sebelumnya. Ruang kedua kanan merupakan ruang kosong yang entah itu
ruang apa. Tak ada barang apapun diruang tersebut. Ruang kedua kiri terlihat
seperti kamar mandi dengan bak dan terlihat cermin yang menghadap keluar dan
menghitam karena kerak. Ruang ketiga kanan dan kiri lagi-lagi terlihat seperti
sebuah kamar tidur seperti kamar-kamar sebelumnya. Ruang keempat kanan adalah
ruang yang terlihat seperti perpustakaan mini. Ruangan itu terlihat sempit
hanya berisi rak-rak buku yang kosong dan penuh dengan sarang laba-laba
didalamnya. Lorong itu berujung pada sebuah dinding dimana pada ujungnya
terdapat ruangan lain di sisi kiri yang terlihat pintunya terbuka sedikit.
Sebuah cahaya terang dari dalamnya memancar lebih terang ke arah lorong.
“dapur?” tanya Alex ke Alfin sambil menoleh ke ruang paling
ujung
“mungkin” ujar Alfin sedikit ragu
Mereka berdua pun berjalan pelan ke arah ruangan.
“Pras?” teriak Alfin lirih
“iya, aku disini, kemari” terdengar sahutan dari dalam
ruangan
Perasaan lega terpancar dari wajah Alex dan Alfin. Mereka
pun berjalan mantap ke arah ruangan dan Alfin memegang gagang pintu untuk
membukanya, ketika sesuatu aneh dari pintu itu tiba-tiba membuatnya harus
mendorong pintu lebih keras. Kerasnya dorongan Alfin membuat sesuatu dibaliknya
tiba-tiba berputar dan menyembul ke arah Alfin dan Alex dengan cepat. Membuat
keduanya langsung melompat mundur kebelakang. Raut muka keduanya berubah
terkejut. Ketakutan bercampur dengan emosi terpancar dari mata mereka. Seakan
tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pras, teman yang mereka kenal selama ini. Tubuhnya tergantung,
tersandar pada pintu. Matanya melotot. Mulutnya menganga dengan lidah sedikit
menjulur keluar. Sebuah sprei melilit dilehernya, yang terikat pada sisi atas
pintu, membuat tubuhnya tersandar pada tepiannya. Sebuah kursi jelek kecil
terlihat tergeletak tak jauh dari kakinya. Alfin jatuh tersungkur, tak kuasa
menahan emosi menyaksikan keadaan temannya. Alex yang lebih tegar hanya
terdiam, termenung. Matanya menyaksikan dengan tajam kondisi mayat temannya.
Ya, tubuhnya sudah terlihat kebiruan. Dia tidak mati dalam waktu dekat tadi.
Bukan, bukan Pras yang menjawab handphone dan berteriak memanggil mereka. Alex
dengan pelan menekan panggilan di handhonenya. Tak lama, sebuah dering
terdengar nyaring di seisi ruangan. Alfin langsung berdiri dan mundur mendekat
ke arah Alex. Namun Alex justru maju mendekat ke arah Pras, dan mendorong pintu
dengan pelan, membuat tubuh Pras yang dingin bergerak mengikuti pintu yang
terbuka. Bunyi nada dering masih terdengar. Pintu terbuka, menampakkan suasana
dapur yang kotor dan penuh dengan debu dan jamur. Sebuah handphone terlihat
berbunyi di atas meja dapur. Handphone itu bergetar dan sesekali bergerak
memutar akibat getarannya. Namun sebuah objek didekatnya membuat gerakannya
terhalang. Alex langsung mematikan panggilannya. Terlihat keringat dingin mulai
membahasi keningnya, menyaksikan sesuatu yang lain yang membuatnya ketakutan.
Handphone diatas meja, menempel pada sebuah boneka beruang dengan mata yang
terbuat dari kancing baju. Terlihat ada bekas jahitan di perutnya. Dan boneka beruang
itu kini ada dua saling berdampingan. Ditambah dengan satu boneka lagi yang
lebih seram berada dibelakangnya. Sebuah boneka bayi besar dengan kulit
berwarna coklat kehitaman. Rambutnya oranye dengan mata yang berwarna biru muda
seakan menatap tajam ke arah mayat yang tergantung di pintu. Mulutnya yang terlihat kecil menjadi
sangat aneh dan menyeramkan ketika sebuah jahitan benang merah terlihat menutup
bibirnya. Dan ada sesuatu yang tak asing ditangannya. Ya, mereka mengenalinya.
Boneka itu memegang sebuah gumpalan nota milik Alfin dan mereka mengingat ada
beberapa gigi didalamnya.
********
Author on #SosMed