- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

PUTIH ABU-ABU DALAM DEBU

0
aku mungkin sampai lebih lama, jalanan macet parah. Bersihkan saja dulu, nanti aku bantu bereskan barang-barang”

Aku membaca pesan dari kakakku. Kuhirup napasku lebih dalam dan kumasukkan ponsel ke dalam saku celanaku. Namun apa yang kuhirup justru membuatku terbatuk-batuk, tidak sadar bahwa kini aku sedang berada didalam kepungan debu rumahan. Aku mengambil sapu yang kusandarkan di dinding disampingku, melanjutkan pekerjaan rutinku setengah jam yang lalu. Atau tepatnya hampir satu jam ketika aku pertama kali menginjakkan kakiku dirumah ini. Rumah dimana dulu kakakku sempat menghuni disini bersama nenek. Namun itu hanya sementara karena ketika lulus dari SMA, ia memilih tinggal bersama ayah dan ibu yang lebih dekat dengan tempat kuliahnya, apalagi saat itu nenek juga baru saja meninggal. Dan kini, aku berkesempatan untuk menghuni rumah kosong ini. Ya, walaupun aku merasa tidak terlalu rusuh karena kakakku yang tiap minggu selalu menyempatkan diri kesini hanya untuk sekedar bersih-bersih. Namun sebersih-bersihnya rumah kosong, tetap saja kegiatan menyapu dan membersihkan semua barang tetap menjadi ritual utama ketika baru menghuni.

Aku masih bergumul dengan debu-debu, membuat rambut-rambut yang kuikat rapi dibelakang leherku menjadi sedikit kasar. Hingga akhirnya tiba disaat sapuan terakhir, aku melayangkan sapuku dengan lebih keras ke halaman rumah, membuat rerumputan liar ikut terkena imbas debu-debu yang kusebarkan. Aku berjalan menuju dapur untuk menaruh kembali sapu yang kubawa. Namun dapur bukanlah tujuan utamaku. Aku berbalik menuju kamarku, atau tepatnya kamar kakakku dulu. Tanganku  meraih kemoceng yang terbungkus plastik berdebu disamping lemari kamar dan mulai membersihkan semua barang-barang didalam kamar. Ranjang, lemari, rak-rak buku, lukisan, jendela, bahkan kolong tempat tidur tidak luput dari kemocengku. Namun kegiatanku mendadak berhenti, ketika kulihat benda yang menarik perhatianku, dibawah kolong. Kuletakkan kemoceng diatas lantai, dan sambil meringkuk aku bergerak pelan memasuki kolong. Aku meraih sebuah buku kecil berwarna merah muda yang kotor, yang tersandar diujung dinding yang berhimpit dengan ranjang.

“RENA DIARY”

Buku diary milik kakakku. Ah, dia melupakannya. Atau mungkin buku ini tidak sengaja jatuh kedalam sana dan luput dari pindahan kakakku. Aku mengelus-elus sampul pinknya yang tebal dan bergambar bunga berwarna-warni. Buku yang cukup tebal namun memiliki lebar yang tak lebih dari sebuah buku tulis.

“Diary sahabatku, Diary temanku. Mari berbagi kisah”

Sebuah tulisan menarik dilembar pertama, membuatku penasaran untuk lebih jauh membacanya. Aku keluar dari kamar, berpindah menuju ruang tamu dan membanting tubuhku diatas sofa empuk yang mengepulkan sedikit debu tipis ke udara. Kubuka lembar per lembar tiap halaman kertas, memandang desain cantik diary milik kakakku. Diary yang ditulis dengan bolpoin warna-warni dan beberapa diantaranya terlampir sebuah foto yang distaples rapi di sudut kertas. Hingga tatapanku terhenti dihalaman yang cukup jauh, sebuah foto yang membuatku terhenyak dengan kata-kata yang sukup menyita perhatian. Aku penasaran, dan mulai kubaca beberapa halaman kedepan.

“Selasa, 23 Juli 2013. Hari pertama kenaikan ke kelas 11. Hatiku berdebar-debar, menyadari Kak Dodi kini kelasnya bersebelahan dengan kelasku. Kelas 12A, kita bertetangga… yeee….”

Aku menghitung lembar yang kulewati dari depan, dan kusadari aku melewatkan tiga puluh lembar. Namun aku membaca dihalaman yang tepat, karena aku kini tahu idola kakakku semasa SMA. Ya, Dodi. Aku semakin tertarik, kubuka lembar per lembar halaman selanjutnya. “Rabu, 24 Juli 2013. Jam istirahat, aku duduk didepan kelas dan tepat ketika Kak Dodi lewat didepan kelasku. Dia menoleh kearahku, dan saat itulah pertama kali aku melihat senyumnya yang indah. Ah, manisnya...”

“Kamis, 25 Juli 2013. Hari ini pembagian pengurus kelas dan piket. Aku gagal menjadi ketua kelas, dan entah kenapa Si Sihab yang jutek justru terpilih. Memang dia pintar, tapi aku tidak menyukai sikap cueknya. Dia orang yang kubenci dari kelas 10, dan entah kenapa aku bisa sekelas lagi dengannya”

Lembar berikutnya, sebuah foto bertiga dan kakakku berada disisi kiri. “Jum’at, 26 Juli 2013. Teman-teman baruku. Semoga kita bisa akrab, tapi sejujurnya aku masih kangen dengan teman-teman dekatku di kelas 10C, ah, seandainya mereka terpilih dikelas 11A”

Lembar-lembar berikutnya, kusadari tulisan sudah tidak bisa dibaca. Pena yang tertulis seolah luntur menghasilkan bayang-bayang tulisan yang mustahil aku membacanya. Namun beberapa halaman masih bisa kumengerti dari beberapa foto yang terlampir. Seperti foto upacara yang kuyakini upacara pertama di kelas 11, foto kucing coklat milik kakakku dulu yang mati beberapa bulan lalu karena sakit, foto bersama ketika aku dan orang tuaku yang memberi kejutan dihari ulang tahun kakakku. Aku yakin hari itu tanggal 12 September 2013. Hingga tiba di beberapa lembar berikutnya, tulisan sudah kembali terbaca.

“Sabtu, 28 September 2013. Aku berada dikantin bersama duo sahabatku, Amel dan Vivi. Kak Dodi berjalan disampingku sampai tiba-tiba dia tak sengaja menyenggol tanganku yang asyik makan mi. Dia meminta maaf padaku, tapi apesnya ada Sihab yang tak jauh dariku dan mulai mengeluarkan jurus memalukannya. Ciyeeeciyeeeee…. Astaga, aku malu bukan kepalang ketika semua teman-teman bersorak kearahku. Sialan si Sihab, tapi ada untungnya juga. Hehe..”

“Minggu, 29 September 2013. Aku diam-diam mengikuti Kak Dodi sepulang sekolah. Rumahnya sangat sederhana dan beberapa bunga mawar tumbuh dihalamannya. Oh iya, dia punya peliharaan kucing kecil yang imut.”

“Senin, 30 September 2013. Aku mampir kerumah ayahku, adikku Sinta sedang sakit dan aku menjenguknya. Aku tidak tahu kalau hidungnya sangat sensitif, dan dia jadi bersin-bersin saat aku membawakan seikat bunga untuknya. Maafkan kakak ya”

Aku tertawa lirih, ya, saat itu aku memang sakit dan kakakku berhasil membuat sakit yang kuderita semakin parah.

Selasa, 1 Oktober 2013. Aku tidak melihat Kak Dodi masuk kelas. Seperti ada yang kurang disekolah”

“Rabu, 2 Oktober 2013. Sebuah kabar mengejutkan, Kak Dodi ternyata dirawat dirumah sakit karena tertabrak motor saat berangkat sekolah kemarin . Apalagi kudengar dia koma.  Oh Tuhan, sembuhkanlah dia, cepat sembuh my love”

Lembar berikutnya, lembar yang cukup mengejutkanku di awal tadi. Sebuah foto pemakaman. Tulisan pena semua full warna hitam dan tak ada hiasan satupun. “Kamis, 3 Oktober 2013. Turut berduka cita. Kak Dodi sayangku, semoga kamu tenang dialam sana. Aku akan selalu mendoakanmu disini, bersama teman-teman dan guru kelas 11A. Aku adalah orang yang paling merindukanmu.”

“Jum’at, 4 Oktober 2013. Aku menangis seharian didalam kamar sepulang sekolah. Aku sangat kangen sosok Kak Dodi. Tak ada lagi semangatku disekolah, tak ada lagi sosok yang kuikuti sepulang sekolah, tak ada lagi tawa dan senyum manis lesung pipi yang indah. Semua hanya tingal kenangan”

Itu adalah lembar terakhir, karena selanjutnya hanya lenbar-lembar kosong tanpa tulisan yang kusam. Aku menutup buku itu pelan, ikut merasakan pahit manis kakakku semasa SMA yang tertuang didalam diary-nya. Aku bangkit perlahan dan menaruh buku itu diatas meja, sampai kulihat sebuah angkot berhenti tepat didepan rumah. Kulihat kakakku dengan senyuman manisnya turun bersama Kak Anto, suaminya yang baru saja menikah sebulan yang lalu.

Aku berdiri, mengambil buku diary milik kakakku diatas meja. Namun pikiranku terus melayang-layang membayangkan beberapa kata yang sebenarnya sangat ingin aku tulis dilembar terakhir diary. “Dear Kak Rena. Sinta tahu betapa pahitnya kisah cinta kakak di masa sekolah dulu. Sinta tahu apa yang dirasakan kakak, kepedihan kakak, terpuruknya kakak. Tapi itu dulu kak, jangan jadikan pengalaman pahit itu menjadi bumerang bagi kakak.” Aku berjalan menuju dapur dan memasukkan diary itu didalam kantung plastik. “Kakak sekarang memiliki Kak Anto yang tulus mencintai kakak. Dan maafkan Sinta karena membuang Diary milik kakak.” Aku ikat rapat-rapat plastik itu dan langsung kubuang ditempat sampah yang beberapa saat lalu  kupasang diujung ruangan. “Aku tidak ingin Kak Rena mengenang kembali masa lalu kakak. Sinta khawatir hubungan kakak jadi terganggu karena masa lalu kakak. Sekali lagi, maafkan Sinta ya Kak.”
*********************

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: