- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG SEASON 2 : Part 3

0

Alfin dan Alex turun bersamaan dari sebuah angkot. Mereka mengamati suasana sekitar yang panas terik namun terasa sejuk karena banyaknya rerimbunan tanaman disekitar mereka. Mereka menelusuri jalanan aspal yang bergelombang. Rumah-rumah kosong disekitar mereka nampak coklat kehijauan diterpa angin siang itu yang terasa hangat. Kurang lebih satu kilometer berjalan, mereka berhenti tepat di sebuah rumah yang tak asing bagi mereka. Mereka berdiri agak lama disana, dan terlihat Alfin sibuk dengan handphone ditangannya.

“si Pras kemana sih? Apa kita yang sampai duluan?” gerutu Alfin

Tak ada sahutan dari Alex. Alex mulai berjongkok dibawah Alfin sambil bersandar pada dinding pagar rumah. Sesekali dia menguap, merasakan terpaan angin dan suara rindang pepohonan disekitarnya.

“Hendri jadi ikut?” ucap Alex lirih

“kayaknya tidak. Dia lagi bermasalah sama perutnya”

“huh, alasan lama” gerutu Alex

Mereka berdiam cukup lama disitu, hingga karena terik matahari yang semakin menyengat memaksa mereka berdua untuk pindah tempat, ke dalam rumah.

“lihat!” seru Alex sambil menunjuk ke arah rumah

Alfin pun menoleh ke arah yang dituju dan melihat pintu rumah yang terbuka. Sebuah bekas jejak terlihat timbul diatas lantai teras.

“apa mungkin Pras sudah didalam? Tapi mengapa dia tidak memberitahu kita?” ujar Alfin

“entahlah” sahut Alex

Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah. Namun baru saja masuk ke ruang tamu, Alfin tiba-tiba terdiam. Dia berdiri, mengamati lorong rumah yang terhampar didepan mereka. Teringat hari saat itu disana.

“kenapa?” Alex menoleh ke belakang, kearah Alfin yang berdiri terdiam cukup jauh darinya

Alfin hanya menggeleng pelan lalu berjalan menghampiri Alex. Mareka berdua pun berbelok ke ruangan yang tak asing begi mereka.

“hey, ada yang tidak beres disini” Alex berjalan mendekati jendela dan langsung membuka tirai kotor yang menutupinya. Terpaan tirai yang cepat, membuat udara disekitar mereka mendadak penuh debu yang menyesakkan. Alex mengibaskan tangan kanannya disertai batuk dan tangan kirinya refleks menutup hidung dengan bajunya, sambil menyaksikan keadaan luar jendela.

"ternyata tembok ini tidak menyatu dengan pagar ya, cuma bagian teras aja." ucap Alex dengan nada bicara tak jelas karena baju yang menutup mulutnya. Wajahnya memandang sebuah gang buntu yang memanjang hingga ke belakang rumah. Gang yang hanya memiliki lebar satu meteran dengan sisi depan rumah yang buntu tertutup tembok teras rumah. Rimbunnya rumput dan semak membuat gang itu seolah sebuah pagar baru yang melapisi luar rumah itu.

"Lex..." sahut Alfin lirih. Alfin langsung menoleh ke arah temannya.

“apa aku yang salah lihat atau memang terakhir kita kesini memang begini?” ujar Alfin sambil menunjuk ranjang tak jauh dari mereka. Raut wajah Alex berubah heran. Tangannya melepas baju yang menutup mulutnya. Mereka berdua terdiam, saling berpandangan.

“tidak, aku yakin disini ada sprei, tapi kenapa hanya tinggal kasurnya saja?” sahut Alex

Mereka berdua terdiam beberapa saat, mengamati kasur lusuh dan hampir hancur didepan mereka. Bekas jejak kaki juga terlihat disekitar ranjang, membuat mereka berdua mengamati kaki-kaki mereka, saling membandingkan untuk menemukan pemilik dari jejak disekitarnya.

“apa mungkin Pras melepas spreinya?”

“tapi buat apa?” sahut Alfin
 
Alex hanya menggelengkan kepalanya.

KRITT… KRITTT

Sebuah bunyi asing terdengar di luar ruangan.

Alfin dan Alex saling berpandangan.

“suara apa itu?” bisik Alfin mendekat kearah Alex

“aku juga tidak tahu” ucap Alex lirih sambil mundur sedikit ke arah jendela

“apa ada orang lain disini? Gelandangan mungkin?” sahut Alfin

KRITTT.. KRITTT

“Pras? Kaukah itu?” teriak Alex spontan

Tak ada sahutan. Suasana ruangan itu menjadi hening. Hanya terdengar suara angin dari luar jendela dan suara dari tenggorokan Alfin yang berusaha menelan ludahnya dengan susah payah.

“coba telfon Pras lagi, kalau memang dia tidak jadi kesini lebih baik pulang saja” ucap Alfin lirih

Alex menjawabnya dengan anggukan pelan. Tangannya mulai mengambil handphone dari sakunya, dan menekan sebuah panggilan terakhir didalamnya. Tak lama, sebuah suara dering ponsel menggema di seisi rumah. Nada dering Pras, dan tak lama kemudian nada tersebut hilang, berganti sebuah suara lirih dari handphone Alex.

“halo, Pras? Kamu dimana?” uap Alex

“kamu sudah didalam?” tanya Pras

“iya, kamu dimana?” Alex menekankan pertanyaannya

Tak ada sahutan balik dari Pras, dan kemudian panggilan terputus.

“KALIAN LANGSUNG SAJA KEBELAKANG, AKU ADA DI RUANG DAPUR. CEPAT KEMARI”

Sebuah teriakan terdengar dari luar ruangan.

“Oke, kami kesana” Alex balas berteriak

Alex pun mendorong tubuh Alfin untuk bergerak keluar ruangan. Alfin pun berjalan disamping Alex.

Mereka keluar dari ruangan dan menuju sebuah lorong rumah yang terdiri dari beberapa ruangan dikanan dan kirinya. Suasana rumah yang cerah membuat ruang-ruang didalamnya terlihat jelas. Dua ruang pertama kiri dan kanan, merupakan sebuah kamar tidur yang sekilas mirip dengan ruang yang mereka masuki sebelumnya. Ruang kedua kanan merupakan ruang kosong yang entah itu ruang apa. Tak ada barang apapun diruang tersebut. Ruang kedua kiri terlihat seperti kamar mandi dengan bak dan terlihat cermin yang menghadap keluar dan menghitam karena kerak. Ruang ketiga kanan dan kiri lagi-lagi terlihat seperti sebuah kamar tidur seperti kamar-kamar sebelumnya. Ruang keempat kanan adalah ruang yang terlihat seperti perpustakaan mini. Ruangan itu terlihat sempit hanya berisi rak-rak buku yang kosong dan penuh dengan sarang laba-laba didalamnya. Lorong itu berujung pada sebuah dinding dimana pada ujungnya terdapat ruangan lain di sisi kiri yang terlihat pintunya terbuka sedikit. Sebuah cahaya terang dari dalamnya memancar lebih terang ke arah lorong.

“dapur?” tanya Alex ke Alfin sambil menoleh ke ruang paling ujung

“mungkin” ujar Alfin sedikit ragu

Mereka berdua pun berjalan pelan ke arah ruangan.

“Pras?” teriak Alfin lirih

“iya, aku disini, kemari” terdengar sahutan dari dalam ruangan

Perasaan lega terpancar dari wajah Alex dan Alfin. Mereka pun berjalan mantap ke arah ruangan dan Alfin memegang gagang pintu untuk membukanya, ketika sesuatu aneh dari pintu itu tiba-tiba membuatnya harus mendorong pintu lebih keras. Kerasnya dorongan Alfin membuat sesuatu dibaliknya tiba-tiba berputar dan menyembul ke arah Alfin dan Alex dengan cepat. Membuat keduanya langsung melompat mundur kebelakang. Raut muka keduanya berubah terkejut. Ketakutan bercampur dengan emosi terpancar dari mata mereka. Seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Pras, teman yang mereka kenal selama ini. Tubuhnya tergantung, tersandar pada pintu. Matanya melotot. Mulutnya menganga dengan lidah sedikit menjulur keluar. Sebuah sprei melilit dilehernya, yang terikat pada sisi atas pintu, membuat tubuhnya tersandar pada tepiannya. Sebuah kursi jelek kecil terlihat tergeletak tak jauh dari kakinya. Alfin jatuh tersungkur, tak kuasa menahan emosi menyaksikan keadaan temannya. Alex yang lebih tegar hanya terdiam, termenung. Matanya menyaksikan dengan tajam kondisi mayat temannya. Ya, tubuhnya sudah terlihat kebiruan. Dia tidak mati dalam waktu dekat tadi. Bukan, bukan Pras yang menjawab handphone dan berteriak memanggil mereka. Alex dengan pelan menekan panggilan di handhonenya. Tak lama, sebuah dering terdengar nyaring di seisi ruangan. Alfin langsung berdiri dan mundur mendekat ke arah Alex. Namun Alex justru maju mendekat ke arah Pras, dan mendorong pintu dengan pelan, membuat tubuh Pras yang dingin bergerak mengikuti pintu yang terbuka. Bunyi nada dering masih terdengar. Pintu terbuka, menampakkan suasana dapur yang kotor dan penuh dengan debu dan jamur. Sebuah handphone terlihat berbunyi di atas meja dapur. Handphone itu bergetar dan sesekali bergerak memutar akibat getarannya. Namun sebuah objek didekatnya membuat gerakannya terhalang. Alex langsung mematikan panggilannya. Terlihat keringat dingin mulai membahasi keningnya, menyaksikan sesuatu yang lain yang membuatnya ketakutan. Handphone diatas meja, menempel pada sebuah boneka beruang dengan mata yang terbuat dari kancing baju. Terlihat ada bekas jahitan di perutnya. Dan boneka beruang itu kini ada dua saling berdampingan. Ditambah dengan satu boneka lagi yang lebih seram berada dibelakangnya. Sebuah boneka bayi besar dengan kulit berwarna coklat kehitaman. Rambutnya oranye dengan mata yang berwarna biru muda seakan menatap tajam ke arah mayat yang tergantung di  pintu. Mulutnya yang terlihat kecil menjadi sangat aneh dan menyeramkan ketika sebuah jahitan benang merah terlihat menutup bibirnya. Dan ada sesuatu yang tak asing ditangannya. Ya, mereka mengenalinya. Boneka itu memegang sebuah gumpalan nota milik Alfin dan mereka mengingat ada beberapa gigi didalamnya.

********

(bersambung)

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: