- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 14

0

Jam delapan pagi, sebuah mobil sedan mini berhenti tepat didepan rumah. Terlihat dua orang berada didalamnya, seorang laki-laki berada didepan kemudi, sementara seorang perempuan duduk di kursi penumpang. Dia mendongak ke arah rumahku dari kaca penumpang yang terbuka, dan berteriak memanggilku.

Aku segera bergegas menghampiri mereka berdua, dan segera masuk ke kursi depan, disamping kursi kemudi.

“ayo berangkat” kataku

“oke” sahut Dion sambil menyalakan mesin mobil. Selanjutnya, mobil berjalan menjauh dari rumahku.

Sepanjang perjalanan, suasana hanya diisi dengan obrolan-obrolan ringan dan candaan. Sesaat mereka bisa berbagi keceriaan padaku, membuat pikiranku sedikit menjauh dari bayang-bayang rumah gantung. Candaan-candaan lepas dari Siska dan Dion, yang sekilas chemistry humoris mereka berdua seakan pas dan sesuai satu sama lain. Tapi semua berlangsung hanya sementara, sampai tiga puluh menit kemudian kami mulai memasuki area perumahan kotor, tempat deretan rumah-rumah tua –dan termasuk rumah gantung pastinya. Semua kembali terdiam, mengamati rumah-rumah berdinding lapuk dan berlumut di sisi kanan-kiri jalan. Rumah-rumah yang cukup tua karena ditinggal pemiliknya selama puluhan tahun. Tapi rumah paling ujung terlihat yang paling tua diantara semuanya. Rumah yang tak asing, karena sudah dua kali aku mengunjunginya.

Mobil berhenti tepat didepan halaman rumah gantung. Kami bertiga segera turun dari mobil. Suasana pagi itu masih segar. Matahari belum terlalu menyengat kulit kami saat kami berjalan melewati pekarangan rumah yang rimbun rerumputan tanpa satupun pohon tumbuh disekitarnya.

Aku berjalan paling depan, sementara Siska dan Dion berurutan dibelakangnku.

“seberapa tua rumah ini?” ucap Siska sambil memandangi rumah gantung

“entahlah” sahut Dion dibelakangnya “tapi konon sudah ditinggal pemiliknya pasca perang dunia dua” sambungnya sambil berbisik pelan

“ya, menurut masyarakat seperti itu” kataku sambil tetap fokus berjalan

Aku menginjakkan kaki di teras rumah gantung. Merasakan bunyi derit kayu yang semakin nyaring terdengar, tak seperti ketika aku pertama kali menginjaknya saat dengan Roy. Ya, mungkin kayu ini semakin hilang kekuatannya semenjak diinjak belasan anggota polisi dan wartawan beberapa hari lalu.

“beneran nih?” ucap Dion

“maksudnya?” sahutku

“apa benar ada rahasia lain?” ucapnya

“justru itulah yang aku ingin cari tahu, aku butuh kalian. Mungkin ada sesuatu yang menurut kalian aneh dirumah ini, yang luput dariku” ucapku sambil membuka pintu rumah, sekilas aku menengok ke belakang, melihat Dion mengangguk lirih kearahku.

Bau pengap dan debu-debu yang berterbangan langsung menghampiri kami sesaat aku membuka pintu. Ruang tamu yang cukup lebar, kini aku bisa melihat ruangan ini sangat terang benderang saat cuaca cerah. Cahaya matahari menyorot seluruh bagian ruangan dalam bentuk tak beraturan. Kuamati langit-langit ruangan sudah banyak berlubang, beberapa bahkan cukup besar sampai cahaya matahari yang masuk bisa menerangi tiga orang sekaligus yang berdiri tepat dibawah sinarnya.

“aku tidak yakin meteor pernah jatuh ditempat ini” ucap Siska lirih yang disambut dengan tawa kecil dari Dion.

“sssttt….ayo ke dalam, akan kutunjukkan ruangan yang bisa mengejutkan kalian” sahutku

“oke” ucap Siska

Kami bertiga berjalan lurus melewati ruang tamu berlubang menuju lorong yang sangat kotor didepan kami –yang juga terdapat banyak lubang diatapnya. Lorong itu terhubung lurus dengan “ruangan barang-barang bekas” yang masih terpasang garis polisi, terlihat beberapa meter tak jauh didepan kami. Sementara beberapa ruangan disamping kami sedikit lebih gelap didalamnya, bahkan bisa kukatakan tak ada satupun lubang didalamnya. Satu ruangan dengan ranjang lapuk yang kosong tanpa ada barang lain didalamnya kecuali debu dan sarang laba-laba sebagai interior tambahan. Sementara satu ruangan masih sama menyeramkannya saat kami bertiga mulai masuk kedalamnya. Hanya sedikit cahaya yang bisa merambat ke ruang ini –dan ruang satunya juga. Semua jendela yang ada dirumah ini, seperti yang kulihat saat berjalan melewati halaman luar malam itu, semuanya dipaku rapat menggunakan kayu. Sedikit beruntung kayu-kayu itu sedikit lapuk sehingga cahaya masih bisa merambat masuk melalui celah-celahnya. Meskipun kenyataannya disini sebagian besar cahaya justru masuk melalui pantulan sinar dari lorong luar ruangan.

“bawa senter?”” tanyaku

“tidak” sahut Dion

“sama” sambung Siska

Dion berjalan melewatiku, menghampiri jendela ruangan. Tangannya meraba-raba kayu lapuk yang menutup ruangan. Dan sesaat kemudian, dia mengepalkan tangannya lalu memukulkannya ke kayu-kayu didepannya. Dua-tiga pukulan langsung berhasil menghancurkan balok-balok kayu rapuh yang mulai bertebaran keluar jendela. Aku dan Siska hanya tertawa kecil melihatnya.

“tak ada yang akan memarahi kita” sahut Dion sambil ikut tertawa

“ya, cukup membantu daripada senter” ucapku

Ruangan kini sangat terang, seterang ruangan-ruangan lain yang atapnya berlubang. Cahaya kini bisa leluasa masuk melalui jendela yang kini terbuka lebar tanpa ada lagi penutupnya. Baru kusadari bahwa ruangan ini sebetulnya juga berlubang pada atapnya, yang entah kenapa semuanya ditambal menggunakan lakban-lakban hitam yang dipasang tak beraturan –dan bahkan beberapa terlihat tebal lapisannya, mungkin dengan pikiran yang penting tak ada cahaya yang masuk keruangan ini.
 Sementara sekarang ruangan ini mulai menampakkan wujudnya, lengkap dengan laci kotor, tali-tali yang tergantung beserta interior sarang laba-laba ditengahnya. Ruangan berwarna kelabu dengan beberapa lumut-lumut yang sudah terlihat lapuk dan pucat menghiasi dinding-dinding yang terkelupas lapisannya.

“astaga” ucap Siska lirih

“kau… pernah diruangan ini saat malam?” tanya Dion heran menatapku

“ya, cukup konyol memang” sahutku

Dion masih mengamati langit-langit dengan talinya, sementara Siska hanya berdiri didepan pintu, mengamati ruangan dengan seksama. Aku sendiri berjalan menghampiri laci. Terlihat sebuah miniatur mobil dengan posisi terguling berada dikaki laci, seperti bekas terjatuh. Tapi aku tidak menghiraukannya, karena tatapan mataku kini fokus menyaksikan dua boneka kecil diatas laci. Kedua boneka kotor dengan gaun kecoklatan dengan posisi saling terletungkup bertumpuk satu sama lain. Aku meraih kedua boneka itu.

“hey…lihat ini?” aku memanggil Siska dan Dion

“ada apa?” sahut Dion mendekat

“astaga” pekik Siska

“kalian pernah melihat yang seperti ini?” tanyaku

Siksa dan Dion hanya menggeleng, menyaksikan dua boneka aneh ditanganku. Boneka-boneka dengan senyum paling menakutkan, lebih menakutkan daripada boneka besar yang pernah mengikutiku. Senyuman kali ini lebih realistis dan sangat asli. Karena bukan hanya jahitan saja yang mengungkapkan senyumannya, melainkan gigi-gigi hitam yang juga dijahit didalamnya.

“boneka-boneka ini menyeringai” sahut Dion heran

“itu asli?” ucap Siska sedikit takut, tangan kanannya menyentuh halus mulutnya

“entahlah” sahutku

“sebentar, biar kulihat dulu” Dion mengambil kedua boneka dari tanganku. Dia mengamati baik-baik mulutnya, lau memegangnya pelan.

“kurasa ini gigi asli”sambungnya

“tunggu… keluarga Robert!” sahutku

“ya….sepertinya ini diambil dari makam keluarganya…. Entah dari istri atau anaknya” ujar Dion

“mungkin kita harus membawanya” sahut Siska

“membawanya pulang?” tanyaku kaget

“ya, aku punya teman yang bisa memastikan keaslian gigi itu” ujar Siska

Aku dan Dion saling berpandangan, “kurasa tak ada salahnya” ucap Dion lirih “sebentar, sepertinya aku punya kantong plastik yang cukup besar dimobil, cukup untuk memasukkan boneka-boneka ini atau barang lain yang akan kita temukan nanti” sambungnya sambil menyerahkan kedua boneka ketanganku. Selanjutnya, dia berjalan cepat keluar kamar, meninggalkanku dan Siska.

“kenapa kau ingin memeriksanya?” tanyaku memandang Siska

“kau bilang ingin mencari rahasia lain, sekalian saja kita cari semua rahasia disini tanpa terkecuali” sahut Siska mantap “kurasa kita harus berpencar” sambungnya

“kita akan cari sesuatu yang lain, tapi aku tidak setuju kalau berpencar” kataku

“kenapa? Bukankah akan lebih cepat kalau kita berpencar?” tanya Siska heran

Aku terdiam “itulah yang aku lakukan bersama Mia malam itu”

Siska hanya terdiam, wajahnya mulai menunduk secara perlahan. Selanjutnya, sebuah langkah kaki mulai mendekati kami dari luar.

“nih… bungkus pakai ini” Dion dengan cepat memasuki ruangan, membawa kantong plastik merah yang dikibas-kibasnya dari pintu ruangan.

Aku memasukkan kedua boneka kedalam kantong itu.

“kita harus mencari satu boneka lagi” sahutku

“boneka yang pernah kau maksud? Yang mengikutimu?” tanya Siska

“iya… entah kenapa boneka itu tak bisa ditemukan semenjak kejadian Roy” jawabku

“tunggu…boneka yang kau maksud itu lebih besar dari boneka ini bukan?” tanya Dion sambil mengikat kantong

“ya…”

“pakaiannya… umm… seperti warna kekuningan?” tanya Dion lagi sambil membetulkan kacamata dengan tangan kirinya

“ya, dia memiliki senyum yang khas dengan jahitan merah” kataku

“mungkin aku tadi melihatnya” sahut Dion

“Benarkah? Dimana?” tanyaku heran

“Cuma sekilas. Aku berlari menuju mobil, dan begitu aku akan membuka pintu kemudi, kulihat seperti ada boneka itu didalam, di kuris penumpang. Tapi begitu aku berhasil membuka pintu, boneka itu seolah hilang dalam sekejap. Kukira itu hanya pikiranku saja” ucap Dion sambil tertawa kecil

“tidak…boneka itu memang menyebalkan… kita ke mobilmu sekarang” kataku

Dion dan Siska hanya berpandangan. Tak kuberi jeda mereka berdua untuk berbicara sampai aku mulai menarik tangan mereka berdua keluar dari ruangan.

(bersambung)

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: