- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 9

0

Dalam remang-remang, aku bisa menyaksikan tubuh Mia yang tergeletak lemas dibawah lantai. Banyaknya cecerean oli dan paku serta keadaan Mia yang mengenaskan membuatku tidak berani mendekatinya. Aku hanya bisa menyaksikannya didepan pintu sambil menutup mulutku dengan ekspresi tak percaya.

“Mia…. Roy…” ucapku lirih, kebingungan.

Aku menoleh sejenak kebelakang, seolah tak percaya, tapi memang malam ini aku mengalaminya, aku menyaksikan Roy yang kaku jauh dibelakangku masih tergantung, sementara didepanku Mia dengan tubuh penuh paku. Tubuhku mulai lemas, menahan air mata yang seolah ingin menjebol permukaan mataku.

Tak ada waktu lagi, aku mengambil lagi senterku yang jatuh dihalaman, dan menyorotkannya mendekat kearah Mia. Kakiku berjalan awas sambil menyibakkan paku-paku yang berada disekeliling tubuhnya dengan kakiku. Kuraih tangan Mia, kulihat sebuah paku menancap di tengah lengan bawahnya. Tak ada denyut nadi. Tak ada detak jantung.

Aku menundukkan kepala sebentar, melepaskan sedikit air mata yang berhasil keluar dari mataku. Dengan napas yang panjang, tangan kananku menutup kedua mata Mia yang sedikit terbuka. Sementara tangan kiriku yang masih menggenggam tangan Mia mulai gemetaran. “Mia, maafkan aku” kataku lirih,

************

Beberapa menit kemudian, rumah gantung dipenuhi dengan wartawan dan belasan anggota polisi beserta petugas medis, yang mulai mengevakuasi mayat Roy yang mulai menggembung dan tubuh Mia yang masih bersimbah darah. Sementara aku hanya mengawasi dari tepi jalan, mengamati dari kejauhan ketika para medis melewati semak-semak halaman samping sambil memandu dua mayat beriringan.

“aku turut berduka kak” Ucapan Emi mengagetkanku dari belakang “aku hampir tak percaya dengan semua ini” sambungnya

Aku terdiam sejenak “ya, kenapa Mia harus ikut jadi korban?” ucapku lirih

“kasihan kak Mia” sahut Emi

Aku memandang wajah Emi

“Kak Mia sudah sangat sedih dengan kepergian kak Roy, tapi kini dia juga ikut pergi untuk selamanya” sambung Emi

“Em, Mia belum tahu nasib Roy”

“Maksud kakak?” tanya Emi

“Mia belum melihat Roy mati disana” ucapku sambil memandang kearah rumah gantung

“kak Mia belum melihat mayat kak Roy?” tanya Emi dan kubalas dengan sedikit anggukan.

Tak lama, sebuah mobil datang dan dua orang tua turun dari dalamnya. Mereka langsung menghampiri mayat-mayat yang berada di dalam ambulance dengan berurai air mata. Orang tua Roy. Mereka membuka penutup kain yang menutup tubuh mayat yang sudah menghitam. Terlihat tante Roy yang terkulai lemas dalam pundak suaminya, memandang mayat anaknya sambil berurai tangisan. Menyaksikan para medis yang menutup kembali kain penutup dan membawa mereka semua pergi menuju rumah sakit.

********

Aku berdiri dalam ruangan yang gelap, kulihat siluet seseorang berdiri tak jauh dariku. Roy. Dia tersenyum kearahku, kupanggil namanya. Tapi dia mulai berjalan menjauhiku. Aku mencoba mengejarnya, tapi dia semakin jauh, jauh dan semakin lama semakin menghilang. Tak lama, suara lirih menggema dalam kepalaku “ingatlah rahasianya, kau akan selamat”.

Aku terbangun ketika sebuah ketukan pintu depan rumah membuatku membuka mata. Kulihat jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku seharian tertidur karena kelelahan. Ya, setelah malam itu, esoknya aku disibukkan dengan interogasi dari kepolisian dan aku juga harus datang melayat ke rumah Roy dan Mia.
 Setelah itu semua, barulah aku bisa melampiaskan rasa kantukku dengan tidur seharian, walaupun terlihat cukup aneh dengan baju tidurku -yang masih berupa pakaian untuk melayat.

(Tok…tok…tok…)

Aku berjalan terhuyung-huyung menuju ruang tamu. Kuraih kenop pintu dan aku langsung membukanya.

“Kalian… ayo masuk…”

Tiga remaja masuk ke ruang tamu. Mereka adalah teman-teman kampusku -teman Roy dan teman Mia juga. Dion, seorang laki-laki bertubuh kurus dengan setelan kemeja yang kancingnya dibiarkan terbuka, menampakkan sebuah kaos biru bergambar penyanyi pop terkenal, yang pas dengan celana jeans yang dipakainya. Rambutnya lurus cepak, bermata sipit dengan kacamata minus terpasang didepannya. Seorang lagi, Edy, memiliki tubuh sedikit atletis dengan kaos hitam lengan panjang -dengan lengannya yang ditekuk sampai sikunya. Rambutnya yang sedikit botak tertutup topi merah yang dipakainya terbalik. Sedangkan Siska, merupakan sahabat dekat Mia. Postur dan tinggi badannya hampir sama dengan Mia, dengan setelan jaket dan celana jeans coklat ketat. Rambutnya yang berombak dibiarkan terurai dibelakang punggungnya.

“aku tadi meneleponmu” kata Dion mengawali pembicaraan

“maaf, aku hampir seharian tidak bisa bangun” ucapku lirih, masih lemas

“oke, aku tadi menemukan sesuatu” ucap Siska “kau sudah membaca koran pagi tadi?” sambungnya, aku melihat kedua tangan dibelakang pungungnya, dengan gulungan koran yang terlihat menyembul dibaliknya.

“apa kalian kira aku sempat membaca koran dengan pakaian seperti ini?” jawabku sambil tertawa lirih, yang disambut tawa juga oleh ketiganya.

“kau harus membacanya bung” kata Edy, mengambil koran dari balik punggung Siska.
 Dia membukanya, menunjukkanku sebuah headline berita yang dari judulnya sangat tak asing bagiku.

RUMAH GANTUNG MEMAKAN KORBAN LAGI

Aku menarik koran dari tangan Edy, dan mendekatkannya ke arah mataku. Kubaca paragraf per paragraf berita itu, berita yang bernarasumber dari cerita orang tua Roy, para kepolisian, dan yang pastinya dari saksi sepertiku. Semua cerita yang kualami dua malam berturut-turut terangkum dalam satu kolom besar berita yang terlihat memenuhi halaman pertama. Semua seolah terperinci, dari sejarah rumah, lalu kisah penemuan mayat olehku, hingga detail evakuasi mayat Roy dan Mia. Tapi ini tidaklah terperinci. Berita ini tidak membongkar satupun misteri dari boneka-boneka misterius yang bisa melayang, sosok gelap yang menghuni rumah itu, dan mimpi-mimpi yang berkeliaran dikepalaku -yang memang secara eksklusif tidak aku ceritakan kepada mereka.

Aku membacanya pelan, dan barulah kusadari sebuah penemuan hebat yang baru kutemui di berita ini. Tepatnya di dua paragraf terakhir.

“kasus ini menambah deretan kasus mengerikan dirumah itu. Beberapa tahun yang lalu publik sempat heboh dengan dua kasus penemuan mayat tergantung dilokasi yang sama. Kasus pertama menimpa seorang gadis belia, yang harus mengakhiri hidupnya dengan tragis. Tubuhnya ditemukan oleh temannya sendiri, tergantung disebuah kamar didalam rumah gantung. Tapi, justru kasus paling aneh terjadi beberapa minggu setelahnya. Ketika teman yang menemukannya tersebut juga ditemukan tewas dengan cara yang sama tergantung dikamarnya.” Aku berhenti sejenak membacanya, memandang sejenak kearah teman-teman yang terlihat serius mengamatiku.

“begitu juga dengan kasus kedua, seorang remaja pria yang depresi ditemukan oleh saudaranya sendiri tergantung dihalaman rumah gantung. Sama dengan kasus sebelumnya, kasus aneh juga menimpa saudara korban. Dia dianggap tidak waras setelah membunuh kedua orang tuanya. Sementara kasus pembunuhannya sampai sekarang menjadi perdebatan dikalangan hukum dan jurnalis, karena pelaku yang menyangkal atas perbuatannya.”

Aku berhenti membaca.

“apa maksudnya?” tanyaku lirih

“itulah yang kami ingin cari tahu” jawab Dion

“kami ingin menunjukkan fakta rumah itu kepadamu” sahut Siska

Aku melamun sejenak, membayangkan rumah gantung, mengaitkannya dengan mimpiku tadi dan berita-berita di koran. Tapi apa ada sesuatu yang terlewatkan? Apa rumah itu benar-benar terkutuk bagi siapapun yang berhubungan dengannya?

“ada yang bisa kau ceritakan kepada kami? Ayo cerita saja” kata Edy membuyarkan lamunanku

“Ed, kau tidak akan percaya dengan apa yang kualami”
 Edy tertawa kecil “tidak ada salahnya untuk bercerita” sahutnya

Aku menghela napas panjang, memandang wajah teman-teman yang serius menatapku, menungguku berbicara. Hingga seseorang memasuki ruang tamu, membuyarkan keseriusan mereka.

“kak, ini minumannya” Emi memasuki ruangan, membawa nampan berisi empat gelas minuman.

“terima kasih” sahut Siska, diiringi dengan senyum kecil dari Emi, setelah itu menjauh dari ruangan.

Dion mengambil segelas air diatas nampan, dan meminumnya. “aku berharap sesuatu yang buruk tidak menimpamu teman... “ ucapnya sambil menaruh kembali gelas keatas nampan.

“tidak, aku akan baik-baik saja” jawabku lemah, “tapi kurasa memang kalian juga penasaran dengan misteri rumah itu, ayolah mengaku saja” sahutku ketus, disertai tawa kecil yang serempak dari mulut teman-temanku

“sebenarnya, ada beberapa misteri yang tidak termuat disini” ucapku sambil memandang koran diatas meja

“benarkah?” sahut Siska

“ya, kalian hanya tahu cerita bahwa Roy menghampiriku, mengajak taruhan, dan berakhir di rumah gantung. Setelah itu, aku memberitahu Mia, dan kalian sendiri tahu kejadian setelahnya” aku menjelaskan

Siska hanya mengangguk pelan, sementara Dion dan Edy terlihat masih serius mendengarkanku. Aku memandang koran diatas meja, memandang potret rumah gantung yang difoto dimalam kejadian itu. Mataku memandang jeli setiap detail rumah, dan sebuah siluet dalam foto itu membuat mataku terbelalak.

“tunggu” aku meraih koran dan mendekatkan kearahku. Bulu kudukku mulai berdiri, aku mengamatinya dengan seksama, dan memang benar. Dion, Siska, dan Edy hanya berpandangan satu sama lain, dengan raut wajah heran.

“kalian lihat ini?” aku menyodorkan foto rumah gantung ditengah meja. Menunjuk sesuatu disamping rumah, sosok hitam, tinggi, bermata merah. Lidahnya menjulur panjang, namun sedikit buram karena kualitas cetak foto koran yang tak terlalu bagus. Tapi aku masih bisa melihat sorot matanya yang seolah menatap tajam kepada siapapun yang melihatnya. Aku tersenyum kecil, ya, akhirnya kau menampakkan wujud aslimu ke semua orang.

(bersambung)

 

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: