- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 2

0

Mataku memandang keempat tali besar didepanku. Meskipun cukup tinggi, ujung jari telunjukku masih bisa menggapai tali itu, dan sedikit mengayun-ayunkannya. Kuikuti gerakan pelan tali itu, menyaksikan laba-laba yang mulai merayap cepat keatas tali yang lebih tinggi. Laba-laba itu merayap cepat diatas langit-langit dan terus merayap menuju ujung ruangan, tempat dimana senterku menerangi sebuah objek besar bersandar diujung tembok. Baru aku sadar bahwa masih ada sebuah laci dikamar ini. Sorot senterku menerangi tumpukan mainan diatas laci. Sebuah boneka yang cukup besar sementara sebuah miniatur mobil sedan biru usang terparkir dikakinya. Matanya terbuat dari plastik berwarna biru yang kotor, kulit kainnya yang kecoklatan penuh debu, dan gaun kuningnya seperti kain yang terciprat lumpur, yang sangat kusam. Mulutnya menampakkan senyuman dingin yang terbuat dari jahitan benang berwarna merah.

Terlihat pula dua boneka kecil menyembul dari belakangnya, mengintip seolah keduanya bersembunyi ketakutan melihatku, dari balik punggung boneka besar, mirip anak-anak yang berlindung ketakutan di balik punggung ibunya. Kuamati baik-baik mata buatannya yang berwarna biru, rambut-rambutnya yang lebih mirip sumbu kompor, dan terlihat pula disekitar lehernya seperti bekas guratan melingkar, membentuk noda kecoklatan.

(ciiiitttt…)

Sebuah decitan lirih membuatku terkejut. Decitan pintu yang perlahan menutup yang membuatku mengarahkan senter kearah pintu dibelakangku. Pintu itu bergerak pelan, membuat angin dingin merasuk ke leherku. Sebuah tawa mengambang terdengar di seluruh ruangan. Tawa mirip seorang anak, dari belakangku. Sontak aku berbalik dan kuarahkan senterku ke kumpulan boneka tadi sampai kulihat boneka yang paling besar mulai mengedipkan mata plastiknya.

Aku mundur perlahan, memastikan bahwa yang aku lihat tidaklah nyata. Tapi aku tak peduli nyata atau tidak, karena aku ingin segera keluar dari ruangan ini.

Aku berjalan cepat menyusuri ruang demi ruang, menyorotkan senter ke sudut-sudut gelap, mencari pintu tembusan ke halaman belakang. Hingga akhirnya aku tiba di sebuah ruangan yang sangat pengap, penuh dengan barang-barang rongsokan. Ruangan yang sebetulnya luas berukuran sekitar 5x5 meter, tapi banyaknya barang-barang disini membuat sudut-sudut menyempit dan hanya menyisakan bagian tengah ruangan untuk tempat berjalan. Dan dari ruangan seluas ini, hanya ada satu pintu kecil di ujung yang lain dariku. Baru kusadari pula bahwa semua barang dan perabot yang berada dirumah ini sebagian besar ditumpuk menjadi satu dalam ruangan sesak ini. Aku berjalan perlahan, menyorot tumpukan-tumpukan barang-barang yang ada disini. Kursi-kursi saling ditumpang-tindih secara terbalik, sebuah televisi 14” berlayar debu dan sarang laba-laba, roda-roda bekas sepeda yang ditumpuk diatas roda-roda mobil, alat-alat bangunan yang berbaur menjadi satu dengan alat-alat memasak yang sudah berkarat, sebuah lemari es kecil berkerak, CPU tanpa monitor, tumpukan jas usang, mainan –mainan kotor, tumpukan koran bekas, dan…. ada sesuatu diatasnya.

“bagaimana kau ada disini?” ucapku lirih

Barang itu duduk diatas ikatan koran, senyum tipis merahnya tetap terlihat kotor lengkap dengan gaun kuning berlumpurnya. Mata plastiknya menatap kosong kearahku, memantulkan sedikit cahaya dari senterku. Boneka usang itu hanya duduk sendiri, tanpa anak-anak yang ketakutan dibelakangnya. Dan lagi, kulihat matanya berkedip untuk kedua kalinya, disertai dengan alunan tawa halus anak-anak yang entah dari mana terngiang ditelingaku.

Perasaan aneh tiba-tiba merasuk menembus kulit-kulitku, membuat berdiri bulu-bulu halus di tengkuk dan lenganku. Keringat dingin mulai merembes dari pori-pori kulitku.Tak butuh lama, aku langsung berlari menuju pintu –yang kini berjarak dua meter dariku- dan kubuka gagangnya dengan keras.

(Klangg… Srakk…)

“sial”

Sebuah bola sepak dan botol berisi oli yang tak kuketahui keberadaannya dibawah pintu, terguling karena dorongan pintu yang keras, menumpahkan sebagian besar cairan oli yang licin diatas lantai -dan sebagian lagi menghiasi sepatuku. Sementara bola menggelinding cepat menabrak sekotak berisi paku payung yang membuat isinya berhamburan diseluruh lantai ruangan. Tak peduli dengan kondisi ruangan, aku langsung melangkah cepat keluar melewati pintu. Dan rasa lega merasuk ketika kini aku berdiri disebuah halaman yang penuh rimbun rerumputan dan pepohonan buah mangga. Kurasa ini adalah halaman belakangnya, ya… inilah garis finish.

(Srak….Srak…klak….)

Sebuah bunyi dari arah pepohonan mengejutkanku. Pepohonan gelap yang sepintas terlihat seperti bergoyang-goyang, tapi bukan karena angin, karena tak ada angin disini. Kuarahkan senterku kearah pepohonan, dan aku sangat terkejut dengan apa yang kulihat.

Kurogoh ponsel disakuku, mencari kontak bertuliskan ‘Roy’ dan menekan tombol panggil.

“ayo Roy… angkatlah”

Berkali-kali kucoba menelepon Roy, tapi yang terdengar hanya nada ringtone panjang, dan setelahnya hanya ada suara jawaban klasik khas operator "nomer yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar sevice area, cobalah beberapa saat lagi"

Aku terdiam memandangi objek dikejauhan, berharap Roy bisa membantuku disini.

"baiklah....akan kulakukan"

Aku memberanikan diri mendekati pohon itu. Menyaksikan pemandangan mengerikan dihadapanku. Semakin mendekat yang akhirnya kusadari ada sesuatu yang aneh, karena kini yang ada dihadapanku benar-benar mengerikan.

Aku langsung berlari menjauh halaman, berlari menuju samping rumah. Kudengar beberapa suara aneh mulai bergema dikepalaku, suara tawa berbaur dengan suara-suara benda jatuh yang sekilas kudengar dari dalam rumah. Kututup satu telingaku dengan sebelah tangan sementara tanganku yang lain memegang senter –yang menyorot ke tanah secara tak beraturan. Butuh perjuangan keras melewati halaman samping yang penuh rumput-rumput rimbun, semak berduri, dan beberapa balok-balok kayu yang tersembunyi diantara rerumputan. Sesekali kakiku menginjak batu-batu lancip yang bisa langsung kurasakan sakitnya. Dan akhirnya, aku berhasil sampai di perkarangan depan, tempat Roy menugguku, dia pasti akan tertawa melihat keadaanku.

“Roy… sial… aku tidak mau kedalam sana lagi Roy” teriakku sambil membungkuk kelelahan penuh keringat dan napas yang seperti tercekat. Aku menunggu Roy tertawa mendengar kata-kataku, tapi tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara napas beratku, dan degup jantungku yang semakin cepat.

“Roy… aku sudah selesai” lanjutku. Aku mendongak, memandang kesekelilingku, tapi tak ada siapapun disini. Berpikir bahwa Roy meninggalkanku?

“Roy” teriakku

“Roy… ini tak lucu, ini….”

Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, sebuah tepukan ringan mendarat dipundakku. Membuat jantungku kembali berdetak kencang karena kaget.

“apanya yang lucu?” ucap Roy

Tanpa pikir panjang, aku langsung menggandeng tangan Roy “sudah.. akan aku ceritakan di rumahku, yang penting aku mau menjauh dari rumah terkutuk ini” ucapku menyeret lengan Roy yang mulai dingin. Kulihat ekspresinya yang setengah puas, heran dan senang menatapku, seolah dia menang dua skor dariku.

(bersambung)

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: