- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 7

0

 Tangan kiriku menggenggam erat boneka kotor berlumpur sementara tangan kananku mengayunkan senter ke rumput-berbatu di depanku. Rumput-rumput yang roboh membentuk sebuah jalan mengarah ke halaman belakang –yang kuciptakan kemarin malam. Terlihat banyak pula kayu-kayu lapuk berceceran dibalik rerumputan, sebagian seolah tertimbun di dalam tanah.

Baru kusadari pula bahwa halaman samping ini dulunya terdapat pagar kayu berkawat yang kini hanya tersisa patokan-patokan kayunya saja,dan itupun semuanya sudah lapuk. Beberapa patokan masih terlihat sedikit kawat-kawat berkarat yang menempel di ujungnya. Tapi sebagian besar bagian kawat sudah hilang, kemungkinan besar pasti dijarah.

Sementara dinding-dinding samping rumah terlihat sangat tua. Beberapa bagian bahkan hanya tersisa bata dengan retakan-retakan disana-sini. Semua jendela kayu yang terlihat lapuk dipalang dari luar menggunakan beberapa balok kayu yang dipaku disekelilingnya. Meskipun dipatok,kayu-kayu itu seperti lebih mudah dihancurkan. Setiap bagian jendela memiliki retakan yang bervariasi, bahkan sebuah jendela memiliki retakan dengan lubang yang cukup lebar. Aku bisa melihat sedikit cahaya bergerak-gerak dari lubang itu, cahaya senter yang berasal dari dalam rumah.

Sekitar delapan meter berjalan, aku telah sampai di halaman belakang rumah. Suhu dingin meresap melalui kulit-kulitku, menyaksikan beberapa baris pohon mangga yang hidup liar diantara rerumputan dan semak yang lebat. Kini kurasakan angin menghempas daun-daun pepohonan. Bunyi dahan-dahan saling bergesekan beriringan dengan suara serangga-serangga malam yang bersembunyi dibalik semak-semak.

Kuarahkan senterku kearah baris pohon mangga dari kejauhan. Suasana dan pemandangan yang sama dengan malam sebelumnya. Bukan sebuah ilusi, dan bukan sebuah bayangan. Aku mengucek kedua mataku berkali-kali, menyaksikan objek menggantung yang tak jauh dariku. Objek itu nyata.

Rasa penasaran masih berkecamuk dengan ketakutanku. Aku masih mematung, seolah menunggu sesuatu muncul dari balik pepohonan. Berharap tidak ada sosok menyeramkan yang tiba-tiba muncul menakutiku. Tapi tubuh yang tergantung iu seolah memanggilku. Aku menelan ludah secara perlahan, berusaha menelan rasa takut yang kurasakan. Jantungku berdegup kencang diiringi dengan tiap langkah mendekati objek tersebut. Senter terus terus kufokuskan, sementara mataku dengan waspada melirik kesemua sudut pepohonan.

Sekitar satu meter dari objek, sebuah angin cukup kencang menghempasku, menghempas dahan dan dedaunan, menghempas objek yang menggantung tak jauh dariku, membuatnya berayun-ayun dan berputar seratus delapan puluh derajat mengarah kearahku. Degup jantungku serasa meledak menyaksikan sosok yang tergantung. Roy.

Aku langsung berlutut menyaksikan apa yang kulihat, menjatuhkan boneka yang ada ditanganku. Aku mendongak keatas, berusaha meyakinkan diri bahwa sosok itu bukan Roy. Tapi aku tak bisa menyangkalnya. Sosok itu lebih mirip Roy, Roy yang menghilang beberapa hari. Tubuhnya tergantung sekitar satu meter dari atas tanah, kulitnya menghitam, membengkak, yang dari belakang hampir tak bisa dikenali. Lehernya merenggang akibat tali kekang yang mencekik dibawah dagunya. Matanya yang kosong melotot keatas, mendongak, sementara lidahnya menjulur keluar dan mulai menghitam. Membuatku tak kuasa melihatnya.

“inikah rahasia yang kau maksud?”

Pikiranku mulai bercampur aduk, rasa takutku kini mulai hilang seketika. Tapi itu tidak berlangsung lama, sampai sebuah suara tawa kecil menggema dikepalaku, mengembalikan rasa takut kembali merasuk tubuhku. Suara kecil, berasal dari boneka dibawahku. Aku langsung berdiri, memandang boneka dibawahku yang mulai menggeliat-geliat. Aku mundur perlahan, menyaksikan boneka itu mulai melayang, dengan tawa kecilnya yang khas. Boneka itu melayang mendekat kearah mayat Roy, sementara aku berjalan mundur menghindarinya.

“apa maumu?” kataku berteriak

Boneka itu terus tertawa

“hentikan” suaraku kian lantang

Tiba-tiba boneka itu berhenti tertawa.

“PERGI DARI SINI” suara yang cukup kencang ditelingaku dan tiba-tiba boneka itu terjatuh di atas rerumputan, disertai sebuah hembusan angin yang sangat kencang. Membuat mayat Roy mulai bergoyang hebat, berayun-ayun, dan disanalah aku melihatnya. Sosok itu mulai tampak dari balik mayat Roy, melayang diantara dahan-dahan yang bergesakan. Matanya yang merah penuh kebencian menatap kearahku, lidahnya yang panjang kini menampakkan taring dan suara menggeramnya.

Hembusan angin yang kedua sangat kencang menghampasku, disertai suara tangisan yang bercampur aduk dengan suara samar “pergilah pergilah pergilah” yang diucapkan berkali-kali dikepalaku. Membuatku harus menutup kedua mata dan telingaku, dan menjatuhkan senterku diatas tanah. Suara itu kian menggema, membuatku ketakutan. Ingin rasanya berteriak, tapi entah mengapa mulutku terasa terkunci.

Selanjutnya, sebuah suara teriakan mulai tedengar dikepalaku. Suara wanita, suara yang memaggil-manggil namaku. Suara itu seolah mendekat kearahku, yang dengan cepat berhenti seiring bunyi jatuh benda keras disertai erangan yang menyakitkan. Setelah itu, semua suara itu hilang, kubuka perlahan kedua mataku dan kedua telingaku. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhku, Kuambil senter dibawah kakiku, yang langsung kusorotkan kesekelilingku. Kulihat tubuh Roy masih bergoyang-goyang diatas dahan, sementara sosok dibelakangnya telah hilang. Kusorot pula tempat boneka menyeramkan tadi terjatuh,

“hilang” gumamku ketakutan, memandang rerumputan kosong-yang sebelumnya terdapat boneka diatasnya.

Suasana menjadi hening, tak ada angin, tak ada suara serangga malam dan suara yang terdengar hanya suara detak jantungku. Tidak, masih ada suara erangan lirih dikepalaku. Erangan yang semakin pelan dan baru kusadari bahwa suara itu berasal dari belakangku. Aku berbalik badan, menyorot sosok mengerang yang tak jauh didepanku. Erangan menyakitkan yang semakin lama semakin menghilang.

“Mia….” Teriakku. Spontan kujatuhkan senter diatas tanah dan dengan cepat kuhampiri sosok tak berdaya didepanku. Bertambah satu lagi temanku yang meregang nyawa di tempat terkutuk ini.

(bersambung)

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: