- See more at: http://yandyndy.blogspot.co.id/2012/04/cara-membuat-auto-read-more-pada-blog.html#sthash.JS2X70Q4.dpuf

RUMAH GANTUNG : Part 3

0

~~~ Beberapa jam sebelumnya ~~~

(Tok..tok..tok..)

(Tok..tok..tok..)

(cklek…)

Remaja muda bertubuh jangkung, beralis tebal dan rambut lurus berbelah samping berdiri didepan pintu. Matanya yang cekung dan berkantung terlihat kesan masalah diraut mukanya.

“Roy? Ada apa?” kataku menyapanya

“emmm…. Tidak apa-apa, cuma mau main saja” ucapnya lirih

“kebetulan sekali, aku sedang main video game di kamar, mau gabung?”

“dengan senang hati…. Beneran nih?” tanya Roy, terlihat senyum lebar menghiasi mulutnya.

“iyalah… daripada nongkrong diluar, nanggung masih jam enam sore”

Aku dan Roy masuk ke dalam kamarku. Ruangan kecil 2x2 meter, dengan sebuah spring bed, sebuah lemari pakaian, sebuah meja dengan CPU diatasnya, televisi LCD dengan set speaker dan video game PS2, dan poster-poster band lokal menghiasi dinding berwarna biru tua.

Kusuruh Roy untuk menuggu dikamar, sementara aku menuju dapur menghampiri adik perempuanku, Emi, yang berumur lebih muda dua tahun dariku. Dia sibuk memasak makanan untuk kami berdua. Ya, hanya ada aku dan adikku di rumah ini, sementara orang tuaku sedang asyik dengan urusan pekerjaan mereka diluar kota.

“hey… buatkan kopi dua gelas… nanti bawa ke kamar ya” kataku

Emi hanya memandang kecut kearahku, “buat saja sendiri sana, kalau mau menungguku masih lama” sahutnya

“ayolah… aku juga sedang sibuk… terserah masih lama pokoknya nanti buatkan” aku kembali menuju kamar, meninggalkan adikku yang masih menggerutu di dapur.

Di kamar, kulihat Roy hanya memandang televisi yang memperlihatkan ratusan penonton distadion yang membeku. Tak kupedulikan Roy, karena aku langsung menghampiri sebuah stik video game untuk melanjutkan permainan bola ku -yang masih menungguku untuk menekan tombol ‘start’.

“tumben?” tanyaku kepada Roy

Roy hanya terdiam “akhir-akhir ini aku kebingungan, banyak masalah yang menimpaku” ucap Roy menunduk, raut mukanya menciut

“entahlah…aku juga tidak tahu harus kemana” lanjutnya

“kenapa? Masih karena Mia?” tanyaku dengan posisi mata yang fokus memandang layar televisi.

“ya…” ucapnya lirih

“bukankah kalian sudah baikan?” tanyaku lagi

“tidak…aku sudah putus dengannya”

Aku menengok sejenak ke wajah Roy, mengernyitkan dahi seolah ada yang salah “bukankah minggu lalu dia sudah minta maaf padamu? Aku kira itu sudah beres”

“tidak …sampai aku lihat lagi dia bersama Benny berdua di kampus” kata Roy, nadanya sedikit penuh tekanan amarah, ”aku yang memutusnya” sambungnya.

Aku hanya diam memandangnya, memandang wajah Roy yang penuh kebingungan dan emosi.

“lupakan saja… aku mau main” sahut Roy mengalihkan perhatianku yang terpusat padanya.

“nih” ucapku memberikan stik player 2 kepada Roy

Menit-menit selanjutnya, kami bedua asyik bermain bersama. Mencoba menghilangkan rasa bingung dan kekalutan dari sahabatku, Roy. Tapi tidak sampai satu pertandingan berakhir, Roy mengucapkan sebuah kata yang membuatku terpicu.

“mau taruhan?” sahut Roy

Aku tertawa pelan, “masih mau bertaruh?… kau tak pernah menang dariku”

“hah, aku tidak takut” sahut Roy

“okelah… kali ini kau akan mentraktirku lagi” ucapku mantap

“tidak, kali ini kau yang mentraktirku” ucap Roy tertawa lirih, namun langsung berubah murung kembali “tunggu…. Dompetku tertinggal dirumah..” sambungnya

“lalu?” kataku dengan nada protes

Roy melirik ke arah tumpukan kaset game yang tak jauh didepan televisi. Tangannya langsung mengambil sebuah kaset yang tersembul diantara kaset-kaset lainnya. Kaset game horror survival berlatar sebuah rumah seram, dan penampakan-penampakan menyeramkan. Game paling mengerikan yang pernah aku koleksi.

Roy memandangku, seolah menungguku untuk memberi jawaban.

“apa?” tanyaku

“kau tahu rumah gantung?” ucap Roy

“ya, pernah dengar ceritanya… kenapa?”

“bagiamana kalau taruhannya di rumah gantung?”

“apa?” tanyaku lagi, kini nada protesku lebih menekan

“ya… yang kalah harus menguji keberanian di rumah gantung, berani?”

“tidak… kau bahkan tak tahu di mana pastinya rumah itu...keburu larut malam untuk menemukannya” kataku mengelak

“aku tahu tempatnya… beberapa hari lalu aku menemukannya. Ayolah, cuma mengitari saja. ” kata Roy merayu, “Kau akan mengetahui sebuah rahasia dirumah itu yang tidak diketahui orang lain” sambungnya

Aku terdiam sejenak, “rahasia? Rahasia apa?”

“entahlah itulah yang akan kita cari tahu” kata Roy memandang wajahku yang penasaran

“oke… kalau kau tidak lagi murung didepanku.. .aku setuju” sahutku

“setuju… tapi berjanjilah kalau kau kalah, kau akan melakukannya… janji?” Roy hanya tersenyum kecil

“baik… janji” kataku mengiyakan, “ Tapi hanya sampai pintu belakang” tambahku

“terserah,” sahut Roy

Akhirnya kami berdua memulai taruhan. Tapi kini aku sedikit mengalah, Roy memegang stik player 1, agar aku bisa memberinya kebebasan untuk mengatur jalannya permainan. Ya… meskipun itu dulu sudah pernah kulakukan, tapi dia tetap saja selalu kalah.

(cklek…)

“nih kopinya” Emi masuk ke dalam kamar membawa sebuah nampan berisi dua cangkir kopi, menaruhnya di atas meja.

Dia memandangku heran,menatap layar televisi sebentar, kemudian berbalik dan mengambil lagi secangkir kopi diatas nampan.

“mau kau bawa kemana kopi itu?” tanyaku sedikit lantang

“sepertinya kau hanya butuh secangkir” sahut Emi cuek

“taruh saja kembali” kataku sambil tetap fokus ke permainan

Emi dengan sedikit kesal menaruh kembali cangkir kopi ke nampan, langsung berjalan keluar dari kamar.

“huh.. pelit” sahutnya dari luar kamar.

Fokusku kepada Emi membuat kosentrasiku buyar. Aku kemasukan satu gol dari Roy. Selanjutnya, aku berusaha mengimbangi Roy, tapi sampai waktu habis skor tetap sama. 1-0. Aku kalah.

Sesuai kesepakatan, aku dan Roy mulai berkemas. Aku tidak mau terlalu malam berada dirumah gantung, karena waktu sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kami berdua berangkat dengan sebuah motor, dan tanpa beban masih bisa bercanda tawa sementara sebuah rahasia mengerikan sedang menantiku dirumah itu, menungguku untuk menguaknya ke permukaan.

(bersambung)

About the author

Menulis bukan sekedar hobi, tapi juga seni. Keep writing :)

0 komentar: